Savira tidak sengaja bertemu dengan seorang pemuda. Dia menolongnya sampai membiarkan dia tinggal di rumahnya. Namun, seiring waktu berjalan, dia merasakan hal berbeda dengan pemuda ini. Hingga benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya.
Namun, mengetahui jika pemuda yang dia tolong ternyata bukanlah orang biasa. Dia adalah seorang pewaris utama dari Perusahaan besar tempatnya bekerja.
Bagaimana setelah ini? Savira hanya merasa dibohongi oleh pemuda itu. Apa dia akan memaafkannya? Atau mungkin segala rintangan akan membuat dia menyerah begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khawatir Sama Aku?!
Akhir pekan ini, Savira hanya berdiam di rumah. Sedang menikmati pagi yang cerah di halaman rumah sambil menyiram tanaman.
"Dia kok belum pulang ya"
Bergumam pelan, lalu segera menggeleng cepat karena ingat siapa yang dia pikirkan saat ini. Tanpa sadar dia malah memikirkan tentang Shandy. Padahal dia sendiri sudah meyakinkan dirinya untuk tidak memikirkan tentang pria itu. Tapi seperti hati dan pikirannya sedang berkhianat pada dirinya sendiri.
Savira berlalu ke teras depan rumah ketika tugasnya menyiram tanaman sudah selesai. Savira duduk di teras dengan menatap halaman rumahnya. Jarang sekali bisa menikmati saat seperti ini semenjak dia bekerja.
"Vir, ayo sarapan dulu. Kakak udah bikin sarapan" teriak Mena dari dalam Rumah.
Savira segera beranjak dari duduknya, berjalan masuk ke dalam rumah. Entah kenapa dia merasa aneh karena kali ini mereka hanya berdua sarapan di rumah ini. Bahkan sejak makan malam saja, Savira mulai merasa ada yang hilang. Sudah hampir dua minggu pria itu tinggal disini, dan Savira seolah mulai terbiasa dengan keberadaannya.
Sampai hari menjelang siang, Shandy masih belum kembali. Padahal kemarin dia hanya bilang semalam saja tinggal di rumah temannya itu. Tapi sampai sekarang dia masih belum juga kembali.
Savira duduk di atas tempat tidur dengan menatap keluar jendela yang tepat menghadap halaman rumahnya. Melihat jalan di depan rumah, setiap ada kendaraan yang lewat dia berpikir itu adalah Shandy yang kembali.
"Aduh Vira, kenapa harus seperti ini? Kenapa terus memikirkan anak itu" ucapnya sambil mengacak rambutnya sendiri. Kesal dengan dirinya sendiri yang terus memikirkan tentang Shandy.
Tok tok..
Suara ketukan pintu membuat Savira langsung mendongak, dia cepat turun dari atas tempat tidur dan berlari keluar Kamar. Benar saja, Shandy baru saja masuk setelah dibukakan pintu oleh Kak Mena. Savira langsung menghampirinya dengan tersenyum tanpa sadar.
"Pulang juga Shan?"
"Menungguku pulang?" ucap Shandy sambil menatap Savira dengan lekat. Melihat itu, membuat Kak Mena langsung berlalu ke kamarnya. Tidak ingin mengganggu dua orang ini.
Savira menggeleng pelan, dia duduk di sofa untuk menghindari tatapan lekat Shandy. "Enggak. Ngapain juga gue nunggu lo pulang. Lagian kalo lo gak pulang lagi kesini, juga bagus kok. Kan dari awal juga gak tinggal disini"
"Oh, hatiku sakit sekali mendengar ucapanmu itu" ucap Shandy dengan memegang dadanya sendiri, menunjukan ekspresi wajah yang tersakiti.
Savira langsung cemberut, tahu Shandy sedang menggodanya sekarang. Melihat Shandy yang menghampirinya dan ikut duduk disampingnya, Savira sedikit menggeser tubuhnya. Namun, Shandy marah memegang tangannya dan menarik Savira sampai terjatuh dalam pelukannya sekarang.
"Shan, apaan si? Lepasin gue"
"Sebentar aja Kak, aku benar-benar sedang butuh pelukan untuk bisa tenang" lirih Shandy.
Savira langsung terdiam dan tidak lagi berontak dalam pelukan Shandy. Dia mendongak dan menatap pria itu yang memeluknya. Wajah Shandy terlihat lelah sekali.
Dia seperti banyak sekali masalah?
"Shan, lo gak papa?" tanya Savira.
Shandy semakin erat memeluknya, bahkan dagunya sudah berada di puncak kepala Savira. Terdengar hembusan nafas berat.
"Cuma lagi capek aja, jadi tolong biarin aku meluk kamu sebentar"
Akhirnya Savira hanya diam saja dalam pelukan Shandy. Entah kenapa dia merasa jika pria ini memang sedang banyak masalah. Terlihat penuh beban berat dari wajahnya. Dengan perlahan tangan Savira terangkat dan menepuk punggung Shandy. Mencoba untuk menenangkan Shandy sekarang.
"Kalo lo ada masalah, bisa cerita sama gue"
Shandy tersenyum tipis mendengar ucapan Savira barusan. Dia melerai pelukannya dan menatap Savira dengan lekat.
"Khawatir sama aku?"
Savira langsung melengos, memalingkan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. "Ya, kalo khawatir juga bisa 'kan? Sesama manusia bisa saling mengkhawatirkan"
Shandy hanya terkekeh saja, dia mengacak gemas rambut Savira. Gadis itu langsung berteriak kesal, karena Shandy yang mengacaukan rambutnya.
"Aku mau mandi dulu"
Savira hanya menatap Shandy yang berlalu dari sana. Entah kenapa dia tiba-tiba tersenyum.
*
Shandy sedang berada di halaman rumah malam ini dengan ponsel yang menempel di telinga. Sepertinya hal penting yang dia bicarakan, karena terlihat dari wajahnya yang serius. Savira hanya bisa menatap dari kaca jendela kamarnya, tanpa bisa mendengar percakapan apa yang Shandy bicarakan.
"Gue bakal datang ke pertemuan itu, sepertinya masih ada yang disembunyikan. Gue harus tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan. Lo simpan dulu berkas itu, Lang. Oh ya, untuk rekaman cctv di Perusahaan, apa udah lo urus?"
"Tenang saja Shan, gue udah minta orang cctv untuk menghapus rekamannya secara permanen, jadi tidak akan ada yang tahu kalo kita menerobos masuk ke dalam ruangan Paman Ahsan"
Sekarang yang masih harus Shandy selidiki adalah tentang Paman Ahsan yang inginkan dia sebagai jodoh putrinya. Padahal disini Shandy bukanlah anak pertama, dan Kakaknya saja masih belum menikah. Seharusnya sang Kakak dulu yang menerima perjodohan ini.
"Shan, mungkinkah kalo Paman Ahsan ingin lo jadi jodoh putrinya karena...."
"Gue juga mikir hal yang sama, Lang. Cuma masih mencoba untuk mencari tahu alasan yang sebenarnya. Seharusnya dia gak tahu tentang keadaan gue. Kalo memang dia tahu, dan semua yang dia lakukan karena keadaan gue, berarti dia hanya ingin Perusahaan menjadi milik anaknya"
"Itu sudah jelas, karena memang yang dia incar adalah Perusahaan"
Shandy menutup sambungan telepon setelah selesai berbicara dengan Gilang. Dia menghela nafas pelan mengingat percakapannya dengan GIlang barusan. Dia memegang dadanya sendiri, sekarang malah merasa semakin bingung dengan keadaan ini.
"Seharusnya Kakek tidak memberitahu keadaan gue yang sebenarnya pada Paman Ahsan. Tapi sepertinya memang Paman Ahsan sudah terlanjur tahu"
Shandy masih ingat jika Kakek hanya meminta keluarga saja yang mengetahui keadaannya ini. Tapi apa mungkin Paman Ahsan mengetahui semuanya? Entahlah, dia jadi bingung sendiri sekarang.
"Ah udahlah, bikin pusing aja. Pokoknya gue gak bakal menerima perjodohan ini. Lagian gue gak mau menikah sama cewek itu. Lebih baik gue menikah aja sama Savira"
Shandy langsung melirik ke arah jendela Savira, terlihat masih menyala lampu kamarnya. Shandy berjalan ke arah jendela kamar Savira itu. Mengetuknya pelan.
"Cepat tidur, besok bekerja. Aku sudah selesai teleponnya kok. Mengkhawatirkan aku ya" ucap Shandy, dia tersenyum dan langsung berlalu dari sana.
Sementara Savira yang berada di dalam kamar, langsung tersenyum dengan wajah memerah. Dia membenamkan wajahnya di bantal karena merasa malu sendiri, telah kepergok memperhatikan Shandy.
"Aaa.. Gue malu banget"
Shandy kembali masuk ke dalam rumah dan siap untuk tidur di sofa seperti biasa. Tapi dia benar-benar tidak bisa tidur sekarang, karena terus memikirkan tentang Paman Ahsan.
Keadaan gue gak boleh jadi kelemahan keluarga gue.
Bersambung
Semangat Shandy 💪💪💪💪💪