Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjelang Kelahiran
Menjelang kelahiran bayi kami, Alka datang ke rumah Eyang. Tentu saja Riko sendiri yang menjemputnya ke Lampung. Seringkali aku Takjub dengan keluarga ini. Di tengah tumpukan utang ke Bank, dan rencana Eyang Kakung yang akan pensiun, mereka masih saja berfoya-foya.
Bukan kali pertama Alka datang. Saat usia kandunganku empat dan tujuh bulan, bertepatan dengan syukuran bayi, Alka juga menginap di sini beberapa hari. Setiap Alka pulang, segala macam perlengkapan dan kebutuhan Alka, di bawanya dari Jakarta. Termasuk pampers.
Pampers. Ya maksudku diapers. Di usianya yang sudah lima tahun ini, Alka masih menggunakan popok sekali pakai itu. Menjijikan, jangan sampai anakku yang segera lahir itu mengalami hal yang sama.
Setiap Alka datang, atau setiap Eyang Kakung pulang, kami selalu jalan-jalan ke Mall. Entah untuk makan, belanja pakaian, atau mengikuti semua kemauan Alka. Anak itu, yang bukan hasil dari pernikahan, tetap diberikan kasih sayang yang berlimpah di keluarga ini.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Eyang Putri ketika melihatku bersiap pergi ke toko bayi terdekat. Aku memang berencana pergi sendiri menggunakan becak, sebab toko bayi tersebut hanya berjarak 500 meter dari gerbang pemukiman ini.
“Mau beli perlengkapan bayi Eyang, sedikit saja sih, sayang kalau banyak-banyak.” Jawabku kemudian. Rencananya, tabungan yang kusimpan hasil hadiah pernikahan dari Krisna, akan kugunakan sedikit untuk membeli keperluanku dan calon bayiku.
“Nih, ini buatmu, pakai saja!” Eyang menyelipkan uang dengan lembaran berwarna merah dan itu dirasa cukup tebal.
“Ya ampun Yangti, ini banyak banget!” Aku menghitungnya dan ternyata ada dua puluh lembar.
“Sudah pakai saja semua, kalau kurang minta lagi ya!” Eyang berlalu sambil menjawabku. Ia menuju dapur dan membuat minuman.
“Alhamduliah, makasih banyak ya Yangti!”
Aku bergegas membuka pintu dan mencari tukang becak yang biasa mangkal di pertigaan. Aku bersyukur dengan uang yang diberikan Eyang ini. Tapi, apa ini tidak berlebihan? Bukankah seharusnya Eyang melunasi dulu utang-utang yang ada?
Sudah lama aku tidak menghubungi Intan. Temanku yang satu itu mungkin sibuk sehingga dia tidak juga menghubungiku.
“Assalaamualaikum Intan, apa kabar?”
Sebuah pesan singkat kukirimkan padanya, sambil berjalan menuju toko pakaian terdekat.
“Waalaikumsalam. Hei, ke mana aja sih? Aku sehat, Alhamdulillah.”
“Aku lagi hamil, Tan. Bentar lagi lahiran. Keluargamu gimana?”
“Alhamdulillah, sudah mau lahiran? Kok gak ngabarin? Sejak kamu ngelayat waktu itu, lama banget kan, banyak cerita Na. Sejak ayahku meninggal, ibu juga sakit-sakitan. Jadi, aku harus bagi waktu antara ngurus suami, anak, dan ibuku.”
“Ya ampun, ibumu sakit apa?” Aku membalas sambil duduk sebentar di bangku depan toko pakaian tersebut. Rasanya, usia kehamilan yang semakin tua ini membuat napasku ngos-ngosan.
“Biasa, sakit tua. Untung suami aku pengertian, dia juga sering bantuin ngurus anak kalau aku capek.”
Sejenak aku merenung, andai saja Krisna bisa seperti itu.
“Syukurlah kalau gitu, Tan. Aku lanjut dulu ya, lagi beli keperluan calon bayi. Kapan-kapan mainlah ke Jakarta!”
“Oke Na, semoga lancar ya lahirannya dan sehat-sehat emak juga bayinya.”
“Thanks, Tan. Aamiin.”
Hubunganku dengan Anita memang tidak terlalu dekat seperti dulu. Sejak menikah, aku lebih fokus pada Riko dan keluarganya.
Sambil memilih beberapa pakaian bayi, aku teringat dengan Krisna. Di mana dia sekarang?
“Raina!” Seseorang memanggilku dan aku segera menoleh ke samping. Perempuan seusiaku dengan seorang anak perempuan berambut ikal di sampingnya.
“Dini?” Aku setengah tak percaya bertemu dengan Dini di toko dan di daerah ini.
“Ya ampun Naa … ke mana aja? Kangen banget gue!” Dini memeluk tubuhku dan mengecup kedua pipiku. Rasanya seperti mimpi. Bertemu dengan Dini, serasa berada dalam kenangan bersama Krisna.
“Ini Andin?” Aku meraih anak perempuan yang usianya sebaya dengan Aksa. Andin dan Aksa teman sepermainan. Meski mereka jarang bertemu, tetapi mereka terlihat cocok jika bermain bersama.
Dini mengangguk dan membiarkanku memeluk Andin. Kuusap kepalanya, lantas Dini mengusap perutku yang semakin membesar.
“Gimana kabar lu? Udah lama kagak cerita. Sambil melihat ke arah pintu luar, Dini bertanya dengan penuh selidik. Ia seolah ingin memastikan kalau kehidupanku baik-baik saja.
Kami memang teman dekat, sangat dekat. Dini adalah teman satu kantor ketika dulu aku bekerja dengan Krisna. Aku yang menjadi stafnya dan menjalin hubungan asmara dengannya, hanya Dini yang tahu semua itu.
“Baik, Din. Alhamdulillah. Lu sama siapa dan ngapain jauh-jauh ke sini?” Aku melirik Dini yang membawa bungkusan cukup besar.
“Beli kado, tapi gak mau di mall. Tahu sendiri kan, Andin pasti pengen ini itu kalau dibawa ke mall. Ini kado buat cucunya Pak Herman. Lo inget gak? Kadiv Transportasi yang sekarang jadi direktur logistik di kantor pusat. Rumahnya kan deket sini.” Dini menjelaskan dengan suara pelan. Kami berjalan menuju kasir karena aku harus membayar belanjaanku yang tidak begitu banyak.
“Diantar suami?” Tanyaku lagi sambil menyerahkan uang cash ke tangan petugas kasir.
“Iya, tapi dia gak bisa lama-lama. Dari sini gue mau nengok Pak Krisna. Ups!”
“Pak Krisna? Kenapa dia, Din?” Rupanya Dini keceplosan membicarakan rencananya soal menengok Krisna. Sepertinya dia tidak ingin aku mengetahui kabar terbaru soal Krisna. Aku sendiri, dengan spontan merespon kalimat terakhir Dini tanpa banyak pertimbangan. Seharusnya, perempuan yang sudah menikah dan sedang hamil ini tidak patut menanyakan mantan kekasihnya pada orang lain.
“Hemm, Na. Lu gak apa-apa kan? Gue mau bilang tapi lu janji ya gak akan kenapa-napa. Lu kan lagi hamil.”
“Enggak apa-apa, Din. Yaelah, dia kan cuma masa lalu gue. Sebagai teman aja sih gue pengen tahu kabarnya.”
Dini menatapku sekali lagi lalu menggiringku ke luar toko.
“Pak Krisna kanker, Na. Sudah stadium 3.”
Seketika aku merasa lututku lemas. Kabar terakhir dari dia yang mengatakan kalau dia sakit, itu pun tidak aku tanggapi. Rasa menyesal dan sedih menyelimutiku seketika.
“Gue ikut!” Tanpa pikir panjang, aku mengatakan hal itu pada Dini. Aku mungkin akan membuat alasan agar Riko tidak marah.
“Jangan, Na! Gak baik buat kehamilan lu. Gue pasti kabarin kalau ada apa-apa.”
“Tapi, Din. Gue mau lihat!” Mataku mulai berkaca-kaca. Aku kembali teringat dengan semua kebaikan Krisna di masa lalu. Aku ingat dia begitu peduli pada Aksa dan keluargaku.
“Na, Raina! Come on, nanti Riko gimana? Dia pasti nyariin lu kan? Nanti gue disalahin juga. Lagian Na, di sana pasti ada istrinya.”
“Memangnya kenapa dengan istrinya, Din? Aku kan gak ada hubungan apa-apa sama Krisna sekarang?”
“Gue paham. Tapi, situasinya gak pas. Istrinya Krisna pernah nanya soal lu ke gue. Tar deh ceritanya. Ponsel lu dari tadi geter terus tuh, gue harus pergi. Oke?”
Tanpa menunggu jawabanku. Dini memeluk dan mencium kedua pipiku. Dia dan putrinya lantas bergegas menaiki Avanza berwarna hitam. Kendaraan beroda empat itu menghilang dari pandangan, tetapi bayangan Krisna semakin jelas di ingatan.