Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Like A Family
"Stella, duduklah di sini!"
Aku melihat seorang wanita paruh baya yang sedang menata beberapa piring di atas meja makan. Wajahnya sangat ramah saat melihatku, sebuah senyuman di bibirnya, tatapannya begitu hangat, sontak aku merasakan kehadiran seorang ibu di sini.
Aku menghampirinya dengan gugup. Di sana, sudah ada Pak Jo yang duduk di salah satu kursi sembari menata bunga hydrangea biru di dalam vas bunga berbahan kaca. Sedangkan Andrew masih berada di kamarnya, entah sedang ada urusan apa.
"Nyonya, biar saya bantu!"
Kuulurkan kedua tanganku untuk mengambil alih piring yang ada di tangannya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak membiarkanku menyentuh piringnya.
"Sudah ibu bilang, kau duduk saja. Apa kamu tidak dengar? Dan pertama-tama, jangan panggil aku Nyonya, tetapi ibu!"
Nyonya Davis memberikan penekanan pada kata terakhir. Aku mengerti maksudnya, akan tetapi bagiku masih terlalu dini untuk menurunkan formalitas. Apalagi, aku dan Nyonya Davis—ibu kandung Andrew baru saja bertemu.
Meskipun mungkin saja Nyonya Davis sudah tahu banyak tentangku lewat Andrew.
"Baiklah Ny—maksudku, ibu."
Nyonya Davis hanya tersenyum simpul.
"T-tpi ibu, hidangannya masih banyak yang belum dipindahkan...." Aku melirik pada rak mini yang berada di samping meja, masih ada beberapa makanan yang masih belum dipindahkan, jadi aku berinisiatif membantu.
Namun, lagi-lagi aku ditolak.
Tak lama kemudian, aku mendengar Pak Jo berkata, "Stella, duduklah di sebelah sini!" Pak Jo menepuk-nepuk kursi yang ada di sebelahnya. Tidak seperti Andrew, Pak Jo terlihat masih memakai pakaiannya yang tadi ia kenakan—kemeja.
Aku tersenyum canggung, kemudian datang ke arahnya seraya berdoa dalam hati semoga Andrew segera datang kemari.
"Nyonya Davis, Anda memasak semua ini sendiri?" tanya Pak Jo.
Nyonya Davis menganggukkan kepala. "Tentu saja. Kau tahu sendiri 'kan, dulu ibu pernah bekerja di restoran, sama seperti Stella. Ah ... rasanya membosankan hidup di rumah seorang diri, terkadang aku merindukan kehidupan masa laluku!" katanya sembari tersenyum lebar. Matanya terlihat berbinar-binar saat bercerita, "sejujurnya, saat ibu mendengar cerita Stella dari Andrew, itu mengingatkanku pada kehidupan lampau. Jadi aku berkata padanya, 'Andrew, kapan kau bawa Stella menemui ibu?' dia bilang, 'ibu, Stella sibuk akhir-akhir ini!' katanya. Hah, bukannya yang sibuk itu dia sendiri ya? Ibu sangat kesal waktu itu, jadi ibu membuatnya berjanji untuk membawamu datang saat ibu ulang tahun."
Aku dan Pak Jo tertawa lebar. Aku sendiri tidak pernah menduganya, ibu Andrew sangat ramah, tidak seperti dugaanku sebelumnya. Sebelumnya, aku sangat khawatir akan bertemu dengannya. Bagaimana nanti jika beliau tidak menyukaiku? Bagaimana jika—bla bla bla, dalam sekejap dugaan itu menghilang begitu saja.
"Hahaha, dia itu memang terlalu banyak alasan, Nyonya!" sahut Pak Jo.
Nyonya Davis menjentikkan tangannya, sembari duduk di kursi bagian paling depan. "Nah, kau sendiri setuju bukan? Dia itu sungguh sangat menyebalkan. Meskipun dia adalah anakku sendiri, namun sifatnya tidak ada yang mirip denganku! Dia malah mirip dengan ayahnya, sangat pendiam. Ibu jadi bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa tahan dengan pria sepertinya?"
Aku tertawa kecil, semua ucapan Nyonya Davis memang benar. Tentu saja, beliau lebih tahu sifat Andrew dibandingkan denganku. Aku mungkin hanya tahu sebagian kecilnya saja. "Ibu benar. Tapi, meskipun Andrew terkesan pendiam, namun ia sebenarnya memiliki banyak kepedulian."
Pak Jo tiba-tiba saja terbatuk. "Ekhem, biar aku koreksi, memiliki sedikit kepedulian."
Kemudian, Nyonya Davis dan aku tertawa.
"Apa yang kalian bicarakan di belakangku?"
Andrew datang dari salah satu pintu ruangan, ia berjalan ke arah meja dan mengambil tempat duduk tepat di depanku.
Saat ia baru saja akan menduduki kursi berbahan kayu, ia melihatku sekilas.
"Hah, tidak ada apa-apa, kenapa kau percaya diri sekali?" sahut Nyonya Davis.
"Ibu ... berhentilah bercanda."
"Hey, bercanda apanya?"
Andrew tidak menjawab dan langsung duduk di hadapanku. Andrew meletakkan piring kosong di mejanya, setelah itu kembali berbicara, "Apakah Ayah tidak menelpon ibu hari ini?"
Nyonya Davis tertawa kecil, "Bagaimana mungkin dia menelpon, dia pasti masih sangat sibuk. Ibu dengar kesehatannya juga semakin membaik berkat Nyonya Pertama."
Andrew menghela napas. "Ibu tidak perlu memanggilnya Nyonya!"
"Andrew ... dia adalah ibumu juga!"
"Yah, ibu memang tidak tahu apa-apa."
"Kenapa? Apa kau kesulitan di sana?"
"Sedikit."
"Sudahlah, mari kita makan saja!"
Aku mulai melihat beberapa hidangan yang ada di atas meja. Semua itu adalah masakan yang tidak aku ketahui namanya. Namun, aku melihat sashimi dan beberapa olahan ikan lainnya yang terlihat mirip dengan masakan Jepang. Ini aneh, Nyonya Davis yang menyiapkan semua itu, beliau sendiri juga yang memasaknya. Kemudian, saat aku melihat wajahnya sekali lagi, aku menyadari bahwa wanita paruh baya itu memang memiliki wajah orang Asia. Rambutnya lurus dan hitam, matanya berbentuk almond, agak sipit, dan bewarna hitam, sama seperti Andrew.
Saat Pak Jo dan Andrew mulai mengambil beberapa lauk pauk dan memakannya, aku bingung harus mengambil yang mana terlebih dahulu. Karena semua hidangan itu benar-benar terlihat asing.
Tak lama kemudian, aku mendapati Nyonya Davis meletakkan dua gulungan nasi di piringku. Kalau tidak salah itu adalah sushi. Kurasa.
"Ini ...?" tanyaku.
"Itu sushi. Apa kau tidak pernah makan sushi sebelumnya?"
Aku menggelengkan kepala kecil. Nyonya Davis tersenyum geli. "Yah, tidak apa-apa. Sekarang kau bisa mencobanya!"
Aku menganggukkan kepala kaku. Bagaimana aku bisa mencobanya? Di sini tidak ada sendok atau garpu. Hanya ada batang bambu yang biasa digunakan oleh orang-orang Asia Selatan. Dan aku tidak tahu bagaimana cara memakainya meskipun aku sudah memegangnya.
Begitu aku melihat Pak Jo, Andrew, dan Nyonya Davis yang pandai menggunakan sumpit, aku merasa bingung karena tidak tahu cara menggunakannya.
Tapi, jika aku makan menggunakan tangan, itu terlihat tidak etis.
Alhasil, aku tetap bersusah payah menangkap satu buah sushi itu dengan sumpit meskipun aku tidak yakin dengan caraku memegang sumpit.
"Nona Stella ... kamu tidak bisa menggunakan sumpit ya?" tanya Pak Jo tiba-tiba.
Nyonya Davis kemudian menanggapi, "Ya Tuhan, Stella! Mengapa kamu tidak bilang? Sebentar, biar ibu ambilkan garpu di dapur!"
"Terimakasih, Nyonya!"
"Ibu!"
"Maaf ibu," ralatku. Segera setelahnya, Nyonya Davis pergi ke dapur.
Dengan hati-hati aku meletakkan sumpit itu kembali ke atas piring. Aku merasa tidak enak, karena aku, Nyonya Davis jadi kerepotan. Dan aku tidak punya pilihan lain selain menuruti segala perkataannya alih-alih membantah. Kurasa itu adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang.
Di samping itu, Pak Jo terlihat terburu-buru saat makan, mungkin dia memiliki rencana setelah ini. Kemudian, aku menatap Andrew, berbeda dengan Pak Jo, dia justru makan dengan tenang. Saat aku memperhatikannya makan, tiba-tiba dia menatapku dengan muka datar, aku segera mengalihkan pandang sebelum aku kembali menatapnya yang kini terlihat sedang menahan tawa.
"Dasar, memegang sumpit saja tidak bisa!" katanya sembari menangkap sebuah sushi di piringku menggunakan sumpit miliknya. Lalu, dia mendorongnya tepat di depan mulutku yang terkatup.
"Huh?"
"Buka mulutmu!"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, dan melihat Pak Jo yang sedang menahan tawanya.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat sembari menutup mulut dengan tangan. Bukannya tidak ingin, aku hanya merasa cemas karena Pak Jo bersama kami. Dan, bagaimana jika Nyonya Davis datang dan melihat kami?
"Buka mulutmu, Stella...."
Dia memang tidak suka mengalah. Aku tidak bisa menolaknya lagi. Secara perlahan, aku mulai menurunkan tanganku dan membuka mulut. Dengan cepat, dia memasukkan sushi itu ke dalam mulutku seraya menarik sumpitnya kembali.
Sebentar, bukankah yang barusan itu sangat memalukan? Di sini masih ada Pak Jo dan pria itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresinya yang berubah ceria saat melihat Andrew. Sedangkan Andrew bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal Andrew baru saja menyuapiku dengan tangannya sendiri. Aku merasakan detak jantungku berdegup semakin kencang karena perlakuannya. Aku mengunyah makanan yang ada di dalam mulutku dengan perlahan, sejujurnya rasa makanan ini sangat enak.
Apalagi, ini adalah pertama kalinya Andrew menyuapiku. Dalam beberapa tahun terakhir kami berpacaran, dia tidak pernah memperlakukanku lebih dari ini, dan hari ini adalah pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Meskipun dia mungkin hanya berniat untuk membantuku makan.
"Johan, apakah persiapan rapat untuk besok sudah selesai?" Dengan mudah ia mengganti topik pembicaraan.
"Ya, bos. Semuanya sudah siap. Anda bisa langsung memeriksanya di surat elektronik."
Andrew menganggukkan kepala. "Jam berapa rapatnya dimulai?"
"Jam satu siang, Bos. Setelah ini saya akan segera kembali ke kantor."
"Baiklah ...."
"Tapi Nona Stella ...?"
"Biar aku yang mengurusnya."
Apa maksud Andrew? Dia pasti akan membiarkanku pulang juga kan setelah ini?
Tak lama kemudian, Nyonya Davis kembali sembari membawa beberapa sendok dan garpu, aku mengambil salah satu dari mereka dan mengucapkan terimakasih.
...CHAPTER END...
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/