Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Pagi hari datang dengan suara mesin ketik tua yang berderit-derit di ruang kantor “Red-Eye Detective Agency.” Siti, seorang wanita muda dengan rambut digulung rapi dan mengenakan rok selutut khas era 70-an, mengetik laporan untuk klien yang selesai kemarin. Wajahnya serius, tapi ada garis senyum tipis di ujung bibirnya yang menyiratkan bahwa ia lebih pintar dari sekadar "sekretaris biasa."
Bagas masuk dengan langkah lambat, rokok kretek terselip di antara jarinya, menghamburkan asap yang membuat ruangan semakin sumpek. Ia langsung duduk di kursinya tanpa melihat ke arah Siti, menaruh amplop merah tua di meja, dan mulai menatap kosong ke dinding seakan ada teka-teki tak kasatmata yang hanya ia yang bisa lihat.
Siti melirik sekilas, lalu kembali mengetik dengan tenang. Namun, rasa ingin tahunya, seperti biasa, tak bisa dibendung lama-lama.
“Dari mana, Pak Bagas?” tanyanya ringan sambil tetap memandangi mesin ketik, pura-pura tak terlalu peduli.
“Dari dunia yang penuh utang,” jawab Bagas, suaranya dingin dan dalam, tanpa memandang Siti.
Siti berhenti mengetik, melirik amplop merah tua di meja Bagas dengan alis terangkat. “Utang? Bapak juga mulai berbisnis kredit sekarang?”
Bagas tersenyum kecil. Ia tahu Siti terlalu pintar untuk sekadar menduga-duga. “Semalam, seorang nyonya datang membawa masalah besar. Suaminya tewas, dan katanya bukan kecelakaan.”
Siti berdecak pelan, lalu melipat tangannya di depan dada, seakan sudah tahu arah pembicaraan ini. “Kok bisa seorang suami jatuh dari tangga lalu dibilang bukan kecelakaan? Kalau dilihat dari sudut yang lebih… domestik, biasanya cuma dua pilihan: ceroboh atau terlalu mabuk.”
Bagas menatapnya sebentar, pandangan penuh makna yang mengisyaratkan bahwa yang dihadapi kali ini jauh lebih dari sekadar ‘domestik’. “Ada amplop merah ini di dekatnya. Kata-katanya cuma satu: ‘Utang’.”
Siti terdiam, lalu mengangguk pelan. “Jadi, kita mulai dari mana?”
“Rumahnya. Aku ingin tahu bagaimana cara seorang pria berumur bisa ‘jatuh’ tanpa ada tanda-tanda jelas di tempat kejadian,” jawab Bagas, menyelipkan amplop itu ke saku jasnya. “Aku juga perlu tahu, siapa saja yang menyimpan dendam padanya.”
Tanpa banyak bicara lagi, Bagas berdiri dan mengambil topi tuanya yang tergantung di pintu. Siti menghela napas dan meraih tas tangannya, siap ikut ke lapangan, meski dalam hatinya sering bertanya-tanya mengapa ia harus selalu terlibat dalam kasus aneh seperti ini.
---
Di Rumah Pak Ramelan
Rumah Pak Ramelan berdiri megah di kawasan elite kota, namun ada kesan muram yang merambati dindingnya. Pagar besi berkarat dan pohon-pohon tinggi yang menjulang menambahkan nuansa angker yang membuat siapa pun yang lewat akan enggan melihat dua kali.
Di depan pintu, seorang penjaga rumah tua menyambut mereka, wajahnya terlihat letih dan tak ramah. Bagas melirik penjaga itu sesaat, lalu menggumam, “Penjaga yang bekerja terlalu lama, mungkin lebih tahu dari yang dia mau bicara.”
Siti hanya mengangkat bahu, mencoba menahan senyum. Ia tahu cara Bagas bekerja; kalimat-kalimat sinisnya biasanya berhasil membuat seseorang berbicara lebih banyak dari yang mereka inginkan.
“Pak Bagas, kita langsung lihat tempat kejadiannya?” tanya Siti setelah mereka disambut masuk ke dalam rumah.
Bagas mengangguk. Kamar tempat Pak Ramelan ditemukan terletak di lantai atas, dengan tangga kayu yang kokoh namun berderit setiap kali dipijak. Di puncak tangga, Bagas berhenti sejenak, memperhatikan susunan ruangan dan letak jendela. Ia menunduk, menyentuh pegangan tangga, seolah mencari jejak yang tak terlihat oleh mata orang biasa.
“Bagas,” suara Siti memecah keheningan. “Kenapa kamar ini terbuka lebar, padahal menurut penjaga, Pak Ramelan orangnya sangat tertutup?”
Bagas menatap jendela kamar yang setengah terbuka, menimbang sesuatu dalam diam. Kemudian ia mendekati meja samping ranjang, memperhatikan asbak yang berisi rokok yang masih utuh. Sesuatu tampak aneh.
“Ini bukan rokok biasa,” ucapnya pelan sambil mengangkat batang rokok itu. “Orang yang meninggalkan ini, ingin kita melihatnya.”
Siti mengernyit, lalu meraih sebuah benda dari meja — sebuah korek api berlogo “Miracle Club,” sebuah tempat hiburan malam yang terkenal di kota itu. “Pak Ramelan jarang keluar malam, apalagi ke tempat seperti ini.”
Bagas hanya tersenyum tipis. “Justru karena itu. Orang seperti dia jarang menginjakkan kaki ke tempat yang bisa memancing masalah.”
Siti tertawa kecil. “Masalah datang tanpa undangan, ya, Pak?”
Bagas hanya mengangguk pelan. “Miracle Club… sepertinya kita punya tempat yang harus dikunjungi malam ini.”
---
Kembali ke Kantor
Sore harinya, mereka kembali ke kantor dengan beberapa petunjuk yang sudah tersusun dalam kepala Bagas. Siti duduk kembali di depan mesin ketik, sambil menatap Bagas yang sedang menghisap rokoknya dengan mata yang terpaku pada amplop merah itu.
“Pak Bagas, menurut saya, ada yang nggak beres di sini. Jelas ada pihak lain yang ingin menutupi sesuatu,” ucap Siti sambil menggelengkan kepala. “Rasanya semua ini tidak mungkin cuma urusan utang biasa.”
Bagas memandang Siti, ekspresi wajahnya dingin seperti biasa. “Utang, Siti, bukan soal uang saja. Terkadang, utang terbesar seseorang adalah harga diri dan dendam masa lalu.”
Siti mendesah pelan, lalu menatap Bagas dengan senyum setengah mengejek. “Kalau Bapak terus bicara dengan bahasa filsuf begini, klien bisa-bisa berpikir dua kali untuk menyewa kita.”
Bagas tertawa kecil, tawa yang hanya terdengar sekali-sekali dan singkat. Ia melempar pandangan kosong ke arah jendela, memandang kota yang mulai tenggelam dalam senja.
“Bersiap, Siti. Malam ini kita akan menyusuri jejak utang yang sudah lama mengendap. Siapkan baju yang cukup untuk masuk klub.”
Siti mengangguk patuh, meski dalam hati berbisik, “Ini sepertinya bukan malam yang akan menyenangkan.” Tapi ia tahu, setiap kali Bagas mengungkap misteri, sesuatu yang lebih besar selalu menanti mereka di ujung cerita.
---
Semangat.