Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tegang
Setelah mengirim pesan itu, Rani menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi oleh informasi yang baru saja ia terima dari Adinda. Pernikahannya dengan Dimas hanyalah hasil dari rasa berhutang budi, dan suaminya masih mencintai wanita lain bernama Kayla. Belum lagi fakta bahwa Adinda entah bagaimana berada di dalam tubuhnya.
"Bagaimana aku bisa menghadapi Dimas sekarang?" bisik Rani pada dirinya sendiri.
Seolah menjawab pertanyaannya, Rani merasakan kehangatan aneh menyebar di dadanya. Ia bisa merasakan kehadiran Adinda di dalam dirinya, memberikan kekuatan dan keberanian.
Dengan tekad baru, Rani bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kafe. Udara segar di luar sedikit membantu menjernihkan pikirannya. Ia harus kembali ke kantor dan menghadapi Dimas, tapi bagaimana caranya bersikap normal setelah mengetahui semua ini?
Dalam perjalanan kembali ke kantor, Rani merasa seolah ia sedang bermimpi. Orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, namun ia merasa terasing, seolah berada di dunia yang berbeda. Sesekali ia merasakan dorongan lembut dari dalam dirinya, seolah Adinda sedang meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
Setibanya di gedung kantor, Rani menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Ia berjalan menuju lift, jantungnya berdebar semakin kencang seiring dengan naiknya angka lantai yang dituju.
Pintu lift terbuka di lantai tempat ruang rapat berada. Rani melangkah keluar dengan langkah yang ia usahakan terlihat mantap. Dari kejauhan, ia bisa melihat Dimas berdiri di depan ruang rapat, wajahnya menunjukkan kekesalan yang jelas.
"Dari mana saja kau?" tanya Dimas dingin saat Rani mendekat.
Rani berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. "Maaf, aku tadi tidak enak badan. Perlu waktu sebentar di toilet."
Dimas menatapnya tajam, seolah mencari tanda-tanda kebohongan. "Kau tahu betapa pentingnya rapat ini. Jangan buat alasan."
Rani mengangguk lemah. "Maafkan aku. Itu tidak akan terulang lagi."
Untuk sesaat, Rani melihat kilatan emosi yang aneh di mata Dimas. Apakah itu rasa bersalah? Atau mungkin... penyesalan? Namun secepat kilatan itu muncul, secepat itu pula menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang biasa.
"Masuk," perintah Dimas singkat, membuka pintu ruang rapat.
Rani melangkah masuk, merasakan tatapan tajam dari para peserta rapat yang lain. Ia mengambil tempat di samping Dimas, berusaha tidak gemetar saat pria itu duduk di sebelahnya.
Selama sisa rapat berlangsung, Rani berusaha keras untuk fokus. Namun pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Adinda. Ia mencuri pandang ke arah Dimas, bertanya-tanya apakah pria itu sedang memikirkan Kayla saat ini.
Ketika rapat akhirnya selesai, Rani merasa seolah berjam-jam telah berlalu. Dimas bangkit dari kursinya, memberikan anggukan singkat pada peserta rapat lainnya sebelum berjalan keluar. Rani mengikutinya dalam diam.
Di lift, keheningan yang canggung menyelimuti mereka berdua. Rani bisa merasakan ketegangan yang menguar dari Dimas, tapi ia tidak berani memecah kesunyian.
"Kita perlu bicara," ujar Dimas tiba-tiba, suaranya datar dan tanpa emosi.
Rani merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat. "Baik," jawabnya pelan.
Mereka berjalan menuju parkiran dalam diam. Dimas membuka pintu mobil untuk Rani, sebuah gestur yang biasanya akan membuat Rani senang. Namun kini, knowing the truth, it felt hollow.
Selama perjalanan pulang, keheningan yang mencekam menyelimuti mobil. Rani melirik Dimas yang fokus menyetir, bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan pria itu. Apakah ia sedang memikirkan Kayla? Ataukah ia merasa bersalah atas pernikahan mereka yang didasari hutang budi?
Setibanya di rumah, Dimas langsung berjalan menuju ruang kerjanya. "Temui aku di sini setelah kau ganti baju," ujarnya singkat sebelum menutup pintu.
Rani berjalan ke kamar mereka dengan langkah berat. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan kehadiran Adinda semakin kuat.
"Apa yang harus kulakukan, Adinda?" bisik Rani.
Sebuah perasaan hangat menyebar di dadanya, seolah Adinda sedang memeluknya. Rani merasa lebih tenang, lebih siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah berganti pakaian, Rani berjalan menuju ruang kerja Dimas. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk.
Dimas duduk di belakang meja kerjanya, wajahnya terlihat lelah dan... sedih? Ini pertama kalinya Rani melihat ekspresi seperti itu di wajah suaminya.
"Duduklah," ujar Dimas, menunjuk kursi di depan mejanya.
Rani duduk, jantungnya berdebar kencang menantikan apa yang akan Dimas katakan.
"Rani," Dimas memulai, suaranya terdengar berat. "Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
Rani menahan napas, apakah Dimas akan mengakui tentang Kayla?
"Aku..." Dimas terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku minta maaf."
Rani terkejut. Ini pertama kalinya ia mendengar Dimas meminta maaf.
"Aku tahu aku bukan suami yang baik untukmu," lanjut Dimas. "Aku... aku menikahimu bukan karena alasan yang benar."
Air mata mulai menggenang di mata Rani. "Aku tahu," bisiknya.
Dimas menatapnya terkejut. "Kau tahu?"
Rani mengangguk pelan. "Aku tahu tentang hutang budimu pada ayahku. Dan... aku tahu tentang Kayla."
Wajah Dimas memucat. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Itu tidak penting," jawab Rani. "Yang penting adalah, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Dimas terdiam lama, matanya menatap jauh ke luar jendela. "Aku tidak tahu, Rani. Aku... aku masih mencintai Kayla. Tapi aku juga tidak ingin menyakitimu lebih dari ini."
Rani merasakan hatinya hancur, tapi anehnya, ada juga rasa lega. Akhirnya semua kartu telah terbuka di atas meja.
"Dimas," ujar Rani lembut. "Kita tidak bisa melanjutkan ini. Kita berdua tahu bahwa pernikahan ini dibangun di atas dasar yang salah."
Dimas mengangguk pelan. "Kau benar. Tapi apa yang harus kita lakukan?"
"Mungkin... mungkin sudah saatnya kita mengakhiri semua ini," jawab Rani, suaranya bergetar. "Kau berhak bahagia dengan Kayla, dan aku... aku berhak menemukan kebahagiaanku sendiri."
Air mata mulai mengalir di pipi Dimas, sesuatu yang tidak pernah Rani lihat sebelumnya. "Maafkan aku, adinda. Aku benar-benar minta maaf."
Rani bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Dimas. Ia mengulurkan tangannya, yang disambut Dimas dengan erat.
"Kita akan melewati ini bersama," ujar Rani. "Mungkin bukan sebagai suami istri, tapi sebagai teman."
Dimas mengangguk, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. "Terima kasih, Rani. Kau jauh lebih baik dari yang pantas kudapatkan."
Saat mereka berpelukan, Rani merasakan kehadiran Adinda semakin kuat. Ia tahu, apa pun yang terjadi selanjutnya, ia tidak akan menghadapinya sendirian.