DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM3
Aku dan mas Rama sudah menikah hampir satu tahun. Sebelas bulan tepatnya.
Aku, Alana, anak sulung dari dua bersaudara yang saat ini berumur 22 tahun.
Kami sudah yatim piatu sejak ibu meninggal sesaat setelah aku lulus SMA 4 tahun yang lalu. Ayah sendiri sudah meninggal waktu aku masih SD, dan adikku Bima masih TK. Ayah dan ibuku meninggal karena serangan jantung.
Semasa hidupnya dulu, Bapak adalah seorang buruh tani, sementara ibu hanya ibu rumah tangga yang menyalurkan hobinya yaitu membuat kue untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu menerima pesanan kue yang tidak rutin.
Ibu punya tangan ajaib. Bahan apapun yang diolah ibu akan menjadi masakan yang enak. Menu andalan ibu adalah pepes. Apapun bahannya, jika diolah menjadi pepes oleh ibu, kami akan makan dengan lahap Bapak sampai menambah nasi.
Dulu waktu aku masih batita, ibu selalu memasak sambil menggendongku. Saat aku sudah agak besar, ibu membiarkanku membantunya di dapur, meski seringnya hanya membuat berantakan, sehingga sekarang aku sudah akrab dengan berbagai masakan dan bumbu dapur.
Saat bapak meninggal, dengan mewariskan rumah dan sepetak sawah. Sejak bapak sakit, sawah tersebut disewakan ke orang dengan sistem bagi hasil. Hasilnya tentu tidak sebesar saat digarap sendiri. Sementara kebutuhan semakin bertambah dengan bertambahnya umur kami, tidak mungkin ibu terus meminta-minta ke saudara-saudara. Akhirnya ibu mulai serius berjualan kue. Ibu menjual kue-kue buatannya untuk menghidupi dan menyekolahkan kami.
Malam hari kami buat kue untuk paginya kubawa ke sekolah untuk dititip ke kantin sekolah. Dan setelah subuh lanjut lagi buat beberapa kue untuk dijajakan ibu dan dititip ke warung-warung kenalan di kampung.
Dulu saat bapak masih hidup, bapak dan Bima lah yang menjadi pencicip resep-resep baru percobaan kami. Seringnya resep percobaan ibu berhasil, meski kadang-kadang gagal juga sih.
Kalau gagal, bapak tidak akan bilang kuenya tidak enak atau bantet. Tapi pakai kalimat-kalimat saran yang tidak menjatuhkan mental.
"Kalau pandannya ditambah, mungkin akan lebih wangi, Dek."
"Tadi mas lihat coklatnya sampe ada yang luber gitu."
Kalau hasilnya enak, bapak akan makan sambil manggut-manggut dan memberikan jempolnya. Bima ikut-ikutan bereaksi seperti bapak. Dia mencontoh apa yang bapak lakukan.
Aahhhh jadi kangen bapak dan ibu.
Setelah lulus SMA, aku pingin melanjutkan kuliah, tapi karena tidak mau membebani paman dan bibi, jadi aku mencari kerja saja.
Bima juga masih butuh biaya sekolah. Aku pingin dia sekolah sampai jadi sarjana. Tidak apa-apa aku cuma lulus SMA. Dan untungnya diterima kerja di sebuah toko roti di kota. Jadi bisa mengobati rasa kangenku ke ibu. Kuanggap aku sedang membuatkan kue untuk bapak dan ibuku.
Saat ini Bima sedang kuliah dengan jalur beasiswa. Kuliahnya masih separuh jalan lagi. Sejak SMA, dia tidak pernah minta uang padaku, meski aku rutin mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya. Bima terbiasa mandiri karena menjadi satu-satunya pria dalam keluarga, dia merasa harus mandiri dan menjadi tulang punggung. Didikan bapak yang sangat sukses menurutku, meski melalui ibu. Sampai sekarang, rumah peninggalan almarhum bapak, kami sewakan dengan harga murah. Yang penting ada yang merawat rumah itu. Begitu juga dengan sewa sawah masih dilanjutkan.
Sementara aku dan Bima kos terpisah karena kami tinggal di kota yang berbeda.
Di toko kue ini awal mula aku ketemu mas Rama.
Kalau mas Rama adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Biasanya anak bungsu adalah anak yang paling dimanja. Tapi rupanya kondisi itu tidak berlaku untuk mas Rama.
Sebagai anak bungsu, justru nasibnya paling mengenaskan dibanding dua saudaranya yang lain.
Mas Rama sudah terbiasa bekerja sejak kecil. Sejak hampir lulus SMP tepatnya. Mulai dari penjaga warnet sampai tukang sapu di toko elektronik, dilakoninya setelah pulang sekolah. Bapak, ibu, dan kakak-kakaknya tidak ada yang tahu. Tidak ada yang peduli tepatnya. Justru yang memberinya nasihat adalah orang tua bang Dono. Orang tua bang Dono berjasa banyak dalam pendidikan mas Rama. Mas Rama pernah bilang, kalau ada kesempatan suatu saat nanti, dia pasti akan membalas hutang budinya.
Sebelum bekerja di pabrik yang sekarang, mas Rama bekerja sebagai staff di perusahaan tour and travel di ruko samping toko kue tempatku bekerja. Bosnya langganan kue di toko bosku untuk acara-acara kantornya maupun acara pribadi, dan biasanya mas Rama yang disuruh ambil pesanannya.
Karirnya di agen travel itu dimulai sebagai office boy karena hanya lulusan SMA, meski nilainya memuaskan. Katanya mau melanjutkan kuliah tapi dilarang oleh ibu. Padahal mas Rama dapat beasiswa. Entahlah kenapa ibu sampe segitu teganya ama mas Rama.
Bos mas Rama melihat kejujuran dan kegigihannya sampai beliau mendidik dan ajari mas Rama untuk menjadi staff ticketing.
Kantornya dekat dengan toko kue tempatku bekerja. Dari situlah kami dekat dan akhirnya menikah.
Tapi sayang, karena pandemi kantor itu harus tutup. Pak Imran, bos mas Rama yang merekomendasikan mas Rama ke pabrik temannya, tempat sekarang mas Rama bekerja. Pak Imran sebenarnya sayang harus melepaskan karyawan seperti mas Rama, tapi, kondisi memang tidak memungkinkan untuk tetap menggaji mas Rama.
Mas Rama ini orang yang mudah disukai sebenarnya, makanya aku heran kalo orang tuanya sendiri membencinya, terutama ibunya. Pria hangat, cerdas dan bertanggung jawab yang tidak pernah mengeluh dalam kondisi apapun.
Kakak-kakak mas Rama yaitu Mas Raga dan mbak Raya sendiri sebetulnya tidak membenci suami ku. Tapi juga tidak bisa bilang menyayangi dan besikap hangat selayaknya saudara kandung. Mungkin terbiasa melihat perlakuan ibu ke mas Rama. Dan kata mas Rama mereka juga dilarang untuk berbaik-baik ke mas Rama.
Aku hanya bertemu keluarga mas Rama dengan lengkap beberapa kali saja. Salah satunya waktu pernikahan kami. Mas Raga sekalian mudik bersama keluarga kecilnya.
Mendengar cerita mas Rama dan melihatnya sendiri selama hampir satu Kehidupanku tahun ini, aku bertekad tidak akan membedakan anak-anakku nanti. Dan pokoknya nanti akan kudukung mereka untuk terus sekolah atau berkarir sesuai yang mereka mau.
Tahun ini mas Rana berumur 26 tahun. Dia menikah denganku saat berumur 25 tahun, sementara aku masih berumur 21 tahun saat itu.
Aku tidak bercita-cita muluk, hanya ingin keluargaku bahagia dan sehat, pernikahanku langgeng.
Sekarang setelah pindah ke kontrakan, rasanya lebih bebas. Nanti aku akan minta ijin mas Rama untuk buka usaha di rumah. Siapa tahu warisan ibu yang berupa resep-resep masakan dan kue bisa membawa peruntungan untukku dan keluarga.
Kulihat ada kesempatan di kontrakan kami ini, karena penghuninya kebanyakan karyawan pabrik alias pegawai, dan warteg baru ada di depan kalau kami keluar gang.
Sementara posisi kontrakan ini ada di perempatan kampung.
Rencanaku pagi akan kujual menu sarapan, dan mungkin akan kuselipkan kue-kue dijualanku.
Aku berharap pilihan yang ku ambil ini akan membuka ladang rezeki untukku.
*
*
Jangan lupa subscribe ya readers 😬
akhirnya ya rama 😭