Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 ~ Tumbal Kedua
Yuda sebenarnya enggan datang ke rumah duka, tapi Asih memaksa. Seperti janjinya, semua biaya ditanggung oleh mereka. Tentu saja karena ada imbalan dengan jenazah pakde Karto sebagai tumbal berikutnya.
Dalam tujuh hari ke depan, Yuda akan melakukan ritual dan mendapatkan banyak uang. Sebelum dia lakukan lagi hal yang sama enam bulan berikutnya.
“Asih,” bisik Yuda.
Asih menoleh dan mengernyitkan dahinya.
“Aku pulang, persiapkan barang untuk ritual. Hentikan ide gila anak-anak pakde kamu dengan mengadakan pengajian dan begadang di makam.”
“Iya,” jawab Asih.
Yuda bukan hanya mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk ritual tumbalnya, ia juga harus mencari kendaraan untuk mencuri jenazah. Karena jarak tempat tinggal Pakde Karto dan pemakaman dengan rumahnya, cukup jauh. Yuda butuh kendaraan, tidak mungkin menggunakan gerobak seperti sebelumnya.
“Kayaknya aku harus beli mobil. Untuk cari tumbal dan untuk aktivitas keluargaku,” gumam Yuda saat meninggalkan kediaman Pakde Karto.
Menjelang tengah malam, Yuda sudah tiba di pemakaman. Semesta mendukung karena suasana malam sangat sepi setelah hujan tadi sore.
“Ck, becek banget,” keluh Yuda saat menyusuri jalan pemakaman. “Bakal susah galinya lagi nih.”
Langkah pria itu terhenti di salah satu pemakaman yang masih basah, bukan sekedar basah karena guyuran hujan, tapi baru siang tadi pria yang masih kerabat dengan istrinya dikuburkan. Tidak ingin membuang waktu, gegas ia mencangkul gundukan tanah tersebut.
Belum Ada setengah jalan, bahkan baru berhasil menggali sebatas lutut. Yuda dikejutkan dengan suara burung, membuat bulu kuduknya merinding. Ia menatap sekeliling, gelap gulita hanya ada penerangan dari lampu darurat. Itupun ukurannya kecil, tidak mungkin ia membawa lampu yang besar dan terang benderang malah akan menjadi perhatian.
Pandangan Yuda tertuju pada pohon besar di pinggir makam, tidak jauh dari tempatnya berada. Bahkan ia sampai mengucek matanya. Sudah pasti tidak terlalu jelas karena minimnya pencahayaan.
“itu apa?” Pandangan Yuda mendapati sosok yang duduk di salah satu dahan pohon, meski tidak terlalu jelas, tapi siluetnya membentuk sosok perempuan. Jelas bukan perempuan biasa, mungkin sejenis kuntilanak atau kuntilemak.
Tidak ingin ketakutan mendera sampai mengacaukan profesinya, Yuda kembali fokus mencangkul. Mengabaikan suara mengikik karena ulah sosok perempuan di atas pohon. Meski rasa takut dan merinding hebat.
Akhirnya penggalian pun berhasil, jenazah sudah terlihat. Kafan yang tadinya putih sudah berubah, kotor dengan tanah kuburan. Kayu penyangga ia lempar ke atas, perlahan ia bopong jenazah tersebut. karena tanah sangat licin, tidak mungkin memanjat sambil membopong sosok yang sudah terbujur kaku. Yuda mengangkat dan agak melempar agar, jenazah bisa keluar dari lubang baru ia memanjat ke atas.
“Hah, gil4. Susah banget,” keluh Yuda sambil terengah dan mengusap keningnya. Pakaian, tangan dan kaki sudah sangat kotor.
Melihat kondisi kubur yang sudah digali tidak terbentuk dan percuma juga diperbaiki, Yuda pun berniat meninggalkan begitu saja. Ia bopong jenazah tadi menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari pagar pemakaman.
“Sudah tua dan kurus, tapi berat,” keluh Yuda.
Berjalan pelan karena bawaannya juga kondisi jalan setapak yang licin. Langkahnya terhenti karena mendengar namanya dipanggil. Tidak jauh dari belakangnya.
“Yuda.”
Terdengar lagi. Enggan menoleh meski langkahnya terhenti.
“Yuda.”
Khawatir yang memanggil memang manusia dan mengenalnya, Yuda pun memberanikan diri menoleh dengan pelan.
“Mau dibawa kemana tubuhku? Kembalikan Yud.”
Rasanya mata Yuda ingin melompat keluar, saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah di belakangnya mirip dengan pakde Karto. Mulutnya ternganga, tidak bisa berucap. Kedua lututnya gemetar, perlahan Yuda menatap wajah jenazah yang sedang ia bopong.
“Kembalikan!” suara teriakan tepat di telinganya.
Meski dengan langkah berat, Yuda melanjutkan niatnya. Tidak mungkin ia meninggalkan jenazah itu dan mencari lagi. waktunya sempit, belum tentu ada kesempatan seperti kali ini.
Brak.
Akhirnya jenazah berhasil dimasukan ke dalam mobil, bahkan pintu dibanting oleh Yuda. Pernah merasakan keluarganya sukses dan bukan hal aneh dengan kemampuan mengemudi. Saat masih berjaya, orang tuanya memiliki dua mobil yang dipakai untuk menjalankan usahanya.
Mengemudi dengan cepat, ia harus memindahkan jenazah ke ruangan tempat ritual. Baru separuh perjalanan, Yuda dikejutkan dengan bunyi di atas mobil. seperti benda jatuh. Tidak mungkin ia harus berhenti, itu hanya gangguan. Lewat kaca spion Yuda melihat sosok duduk di atas mobil, dengan kaki terjuntai ke bawah.
“Fokus Yuda, dari pada kamu yang jadi tumbal.”
Saat tiba di rumah, Yuda kesulitan membuka pintu dan memindahkan jenazah. Tidak mungkin ia berteriak meminta bantuan Asih. Karena istrinya sudah bersembunyi di kamar dan mengamankan Gita agar tidak melihat aktivitas orang tuanya mencari rezeki, juga karena takut dengan gangguan akibat pesugihan yang mereka lakukan.
Dengan susah payah, tumbal kedua sudah terbaring di dipan. Yuda sempat mengganti pakaian yang sudah kotor tidak jelas, lalu duduk di depan meja persembahan melakukan ritual.
***
Sejak subuh Asih sudah sibuk membersihkan kekacauan yang dibuat Yuda. Tanah kuburan mengotori lantai rumah mulai dari beranda sampai ke ruangan rahasia. Bahkan mobil disewa pun tidak kalah kotor. Tidak ingin meninggalkan jejak dan kecurigaan, Asih pun turun tangan. Bahkan mencuci mobil sewaan yang kotor sampai ke bagian dalam.
“Ck, kalau bukan demi uang, mana mau aku begini. Diteror tiap malam, mana harus merawat makam di belakang,” keluh Asih sambil membanting ember yang sudah kosong dan kotor.
“Pagi-pagi sudah ngomel,” ujar Yuda.
“Gimana nggak ngomel, kotor banget Mas. Capek aku bersihkan sendiri. Dibiarkan, bisa-bisa orang curiga sama kamu.”
Yuda melemparkan kantong plastik berisi tumpukan uang.
“Obat capek.”
Asih yang tahu kantong itu berisi uang hasil ritual suaminya, langsung mengambil kantor dan menatap sekeliling. Khawatir ada yang melihat dan segera dibawa masuk.
“Dasar perempuan, kalau sudah lihat uang. Lupa sama masalahnya.”
***
Tumbal kedua sudah dipersembahkan, selama tujuh hari Yuda akan mendapatkan hasil dari pesugihan yang dilakukan. Tiap malam selama tujuh hari itu, ia harus melakukan ritual. Malam ke enam saat itu melakukan ritual, jam sebelas malam saat ia memulai.
Yuda sedang merapal mantra dengan mata terpejam, merasakan meja di depannya bergetar. bukan hanya meja, tapi dinding dan atap rumahnya. Ia pun membuka mata, apa mungkin terjadi gempa. Tatapannya menatap sekeliling ruangan, masih bergetar dan ada angin bertiup menjatuhkan barang-barang yang ringan juga hawa ruangan mendadak panas. Bukan tanda kehadiran iblis yang ia sembah, tapi apa ia pun tidak tahu.
“Ada apa ini,” gumam Yuda. Khawatir jika itu memang gempa, ia pun keluar ruangan. Nyatanya tidak merasakan apapun di luar ruangan. Kembali ke dalam, suasana masih sama.
“Ritualku ditolak,” ujar Yuda. “Apa yang salah,” ujarnya lagi sambil memperhatikan dan memeriksa perlengkapan dan sesajen yang ada.
Sayup-sayup ia mendengar suara lantunan ayat suci meski belum lancar dan cepat.
“Gita.”
Yuda menuju kamar Gita. Putrinya sedang membaca ayat kursi sambil berbaring di ranjang.
“Gita,” pekik Yuda saat membuka pintu.
“bapak,” sahut Gita yan terkejut dengan suara Yuda.
“Sedang apa kamu?”
“Besok ada tes hafalan ayat kursi, aku sedang menghafal.”
Yuda mengusap wajahnya. Rumahnya tidak boleh melakukan ibadah, termasuk juga lantunan ayat suci selama masih dalam atap yang sama. Hampir saja ia gagal dan berbalik menjadi tumbal, karena ulah putrinya.
“Kamu tidur, berhenti menghafal atau Bapak hentikan sekolah kamu.”
“Bapak kok gitu?”
“Makanya tidur, nggak usah baca ayat tadi atau apapun.”
Brak.
Yuda menutup pintu kamar Gita dengan kencang, Asih yang mendengar teriakan Yuda pun terjaga.
“Mas, ada apa?”
“Temani anakmu, jangan sampai dia ngaji. Ritualku hampir gagal.”
“Hahh.”