Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab4. Pandangan Yang Salah
Bab 4: Pandangan yang Salah
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dapur, memantulkan cahaya hangat di meja kayu yang dipenuhi bahan-bahan sarapan. Maya sedang sibuk menyiapkan roti panggang dan secangkir kopi ketika Arman masuk, masih mengenakan piyamapiyama tidurnya.
"Selamat pagi, Maya," sapanya dengan senyum khas yang menambah ketampanannya.
Maya menoleh sejenak, mengangguk. "Pagi, Arman. Kau bangun pagi hari ini. Nisa masih tidur?"
Arman mengangguk sambil mengambil gelas dari rak. "Ya, dia kelelahan setelah lembur tadi malam. Saya tidak ingin mengganggunya."
Maya tersenyum tipis. "Kau suami yang pengertian. Nisa beruntung memilikimu."
Ucapan itu meluncur begitu saja, tapi Maya segera menyadari nada hangat yang tak seharusnya ada dalam suaranya. Ia buru-buru mengalihkan perhatian dengan menyajikan kopi di atas meja. Namun, kata-katanya sudah tertinggal di udara, menggoreskan sesuatu di benak mereka berdua, hanya mereka yang tau makna tersebut.
Arman duduk di meja, memperhatikan Maya yang kembali sibuk dengan sarapannya. Ada sesuatu tentang wanita itu yang sulit dijelaskan—cara ia bergerak, ekspresi wajahnya yang tenang, atau mungkin hanya auranya yang memancarkan kedewasaan.
Ia menggelengkan kepala pelan, mencoba menepis pikiran itu. "Jadi, Maya, apa rencanamu hari ini?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana.
Maya mengangkat bahu. "Tidak banyak. Mungkin aku akan pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Kau ingin ikut?"
"Kalau Maya tidak keberatan, tentu saja," jawab Arman spontan.
Sejam kemudian, mereka berdua berjalan di pasar tradisional yang ramai. Maya dengan cekatan memilih sayuran segar, sementara Arman membawa kantong belanjaan di tangannya. Banyak penjual yang melirik mereka dengan senyum ramah, beberapa bahkan mengira mereka pasangan.
"Saya kira itu suami Anda, Bu," kata seorang penjual sambil tersenyum.
Maya terkejut, tetapi dengan cepat tertawa untuk menutupi rasa gugupnya. "Oh, tidak. Dia menantuku," jawabnya sambil melempar pandangan ke Arman yang ikut tersenyum sopan.
Namun, dalam hatinya, Maya merasakan sesuatu yang mengganggunya. Pandangan orang-orang di pasar membuatnya sadar akan hubungan ini. Tidak ada yang salah dengan belanja bersama, tetapi kehangatan yang ia rasakan di dekat Arman mulai terasa seperti sesuatu yang terlarang.
Di sisi lain, Arman juga mulai merasa bingung. Kedekatannya dengan Maya seharusnya sebatas rasa hormat sebagai menantu. Tapi mengapa ia merasa nyaman, bahkan menikmati momen-momen kecil bersama mertuanya?
Hari itu berakhir dengan normal, tetapi malamnya, pikiran Maya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ketika ia berbaring di tempat tidur, tatapan Arman saat di pasar kembali terlintas dalam benaknya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—hangat, penuh perhatian—yang tidak ia temui selama bertahun-tahun sejak suaminya meninggal.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke depan cermin. Maya memperhatikan bayangannya sendiri, mencari alasan mengapa ia merasa seperti ini. "Ini hanya perasaan sesaat," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.
Namun, semakin ia mencoba menepis, semakin jelas ia merasakan sesuatu yang tumbuh di antara mereka. Maya mulai takut, bukan hanya pada perasaannya, tetapi juga pada kemungkinan bahwa Arman mungkin merasakan hal yang sama.
Di kamar lain, Arman juga gelisah. Ia memikirkan mertuanya—cara Maya tersenyum, bagaimana ia berbicara, dan kehangatan yang ia rasakan di dekatnya. Pikiran itu salah, ia tahu itu. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin kuat bayangan Maya menguasai pikirannya.
Pandangan-pandangan yang salah ini, meski belum berwujud nyata, mulai membuka jalan bagi konflik yang akan segera datang. Tanpa mereka sadari, sesuatu yang tak seharusnya tumbuh telah mulai mengakar di dalam hati mereka.