NovelToon NovelToon
Setitik Pelita Di Kegelapan

Setitik Pelita Di Kegelapan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Askara Senja

Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.

Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.

Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keteguhan yang Tersisa

Pagi datang dengan cepat, seakan waktu tak pernah memberi kesempatan bagi Nayla untuk benar-benar beristirahat. Meskipun tubuhnya lelah, hatinya dipenuhi rasa tanggung jawab yang lebih besar. Tugas kuliah yang harus dikerjakan, pekerjaan sampingan di kedai kopi yang harus diselesaikan, serta tanggung jawab merawat orang tuanya yang sakit membuatnya merasa seperti terjebak dalam pusaran waktu yang terus berputar. Namun, Nayla tidak bisa menyerah.

Hari itu, Nayla kembali berangkat lebih awal. Setelah menyiapkan sarapan sederhana untuk Raka dan ayahnya, ia bergegas menuju kampus. Pikirannya penuh dengan jadwal kuliah yang padat dan daftar pekerjaan rumah yang menunggu. Namun, dalam hatinya, ada kekhawatiran besar—ibunya, yang kondisinya semakin memburuk, dan ayah yang meskipun secara fisik kuat, tak lagi mampu membantu banyak.

Tiba di kampus, Nayla bergegas menuju kelas yang sudah dimulai. Tapi, pikirannya masih terbagi. Beberapa kali, matanya melirik ponsel di tasnya, menunggu pesan dari Raka atau kabar tentang keadaan ibu. Saat dosen masuk dan memberikan materi kuliah, Nayla berusaha fokus, namun terkadang matanya melayang, teringat pada wajah ibu yang pucat di tempat tidur. Keinginan untuk segera pulang dan berada di sisi ibu semakin kuat, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap menjalani kehidupannya yang normal—seperti mahasiswa lainnya.

Pukul dua siang, setelah kuliah berakhir, Nayla langsung menuju kedai kopi tempatnya bekerja. Di sana, ia harus menghadapi pelanggan yang kadang-kadang sulit, serta jam kerja yang terkadang membuat tubuhnya hampir ambruk. Namun, bagi Nayla, pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang ia perlukan untuk membayar biaya rumah sakit ibu dan kebutuhan sehari-hari mereka.

Di tengah hiruk-pikuk kedai kopi yang ramai, Nayla mendapati dirinya tidak bisa fokus sepenuhnya. Ketika ada kesempatan, ia cepat-cepat mengecek ponsel, melihat apakah ada pesan dari Raka atau ayah. Rasa khawatir tentang ibu yang semakin lemah selalu menghantui setiap detik yang ia habiskan di sana.

"Hei, Nayla!" seru Maya, temannya yang bekerja di kedai kopi bersamanya. "Kamu kelihatan capek banget. Ada masalah apa?"

Nayla tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kelelahan di wajahnya. "Enggak apa-apa, Maya. Hanya saja banyak yang harus diurus. Ibu lagi sakit, dan Ayah… dia enggak bisa bekerja lagi."

Maya mengangguk, mengerti dengan situasi Nayla. "Kamu nggak sendiri, kok, Nayla. Kalau butuh bantuan, bilang aja. Kamu jangan terus-terusan dipush gitu, nanti malah jatuh sakit."

Nayla merasa terharu mendengar perhatian Maya, meskipun ia tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan peran yang ia jalani dalam keluarga. "Terima kasih, Maya. Tapi, aku harus terus berjuang. Enggak ada pilihan lain," jawab Nayla dengan suara yang agak parau.

Maya tidak banyak bicara setelah itu, tapi senyumnya yang tulus memberikan sedikit ketenangan dalam hati Nayla. Mungkin, di luar sana masih ada orang-orang yang peduli, meski ia merasa begitu kesepian dalam perjuangannya.

Sesampainya di rumah pada malam hari, Nayla mendapati Raka sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga. Ayah duduk di dekat ibu, membaca koran yang sudah usang. Pemandangan itu adalah pemandangan yang hampir setiap hari ia temui, namun malam itu, ada sesuatu yang terasa berbeda.

“Apa kabar ibu, Raka?” Nayla bertanya, meletakkan tas di meja.

Raka menghela napas. "Kondisinya nggak banyak berubah, Kak. Masih seperti itu. Aku terus kasih obatnya, tapi..."

Nayla merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa kondisi ibu tidak membaik, meski mereka berusaha sekuat tenaga. "Aku tahu, Raka. Aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab Nayla, mencoba menenangkan adiknya. "Kita harus sabar. Semoga ibu diberi kekuatan."

Tiba-tiba, ayahnya mengangkat wajahnya, menatap Nayla dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. “Nayla,” suara ayah terdengar lebih pelan dari biasanya, “sudah cukup kamu yang berjuang sendirian.”

Nayla merasa terkejut mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia selalu berusaha menutupi beban yang ia rasakan, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, saat ayah berkata begitu, ada rasa kehilangan yang begitu mendalam di dalam dirinya. "Ayah, aku nggak bisa lepas dari semua ini. Kita butuh biaya untuk pengobatan ibu, dan aku nggak bisa mengandalkan siapa pun selain diri aku sendiri," jawab Nayla, suaranya bergetar.

Ayah menundukkan kepala, seperti menahan sesuatu yang ingin ia katakan. “Aku tahu, Nayla. Tapi kamu harus berhenti menanggung semua ini sendiri. Aku memang tidak bisa bekerja, tapi ada cara lain untuk membantu. Kamu harus lebih bijak dalam memilih jalanmu.”

Tapi Nayla tahu, pada titik ini, tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain terus berjuang. Ia merasakan betapa beratnya peran yang harus ia jalani, namun ada tekad yang semakin kuat di dalam hatinya. Ibu membutuhkan biaya untuk pengobatannya, dan keluarga ini sangat tergantung pada apa yang bisa ia hasilkan.

"Jika aku tidak berjuang, siapa lagi yang akan melakukannya?" Nayla berkata dalam hati.

Malam itu, saat semuanya sudah terlelap, Nayla duduk di meja kecil di ruang tamu. Ia menatap surat-surat yang berisi tagihan rumah sakit ibu dan angsuran lainnya. Semua itu membuatnya merasa semakin terjepit, namun ia tahu bahwa tak ada jalan lain selain bertahan.

Ia memejamkan mata, mengingat kembali semua perjuangan yang telah ia lalui selama ini. Setiap pagi yang dimulai dengan rasa cemas, setiap malam yang diakhiri dengan rasa lelah yang tak terungkapkan, namun semua itu tak mampu meruntuhkan semangatnya. Nayla tahu, hidupnya tidak akan pernah mudah, tetapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri—ia akan berjuang sampai titik darah penghabisan demi keluarganya.

Sebelum menutup matanya, Nayla berdoa, berharap agar kekuatan yang luar biasa diberikan kepadanya. Untuk ibu, untuk ayah, dan untuk adiknya, ia akan terus berusaha. Karena pada akhirnya, meskipun beban begitu berat, ada satu hal yang tak akan pernah bisa direnggut darinya: cinta yang tulus kepada keluarganya.

1
Nancy Nurwezia
emang ayahnya kemana
Padria Haleda
semangat author
Linda Ruiz Owo
Setiap adegan makin bikin penasaran, jangan berhenti thor!
Asseret Miralrio
Mantap nih cerita, semoga author terus semangat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!