Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
"Sudah, Sayang. Jangan kamu sesali keputusan Jemmy yang mundur!" hibur Mama Lila pada putrinya, setelah Jemmy tidak menyanggupi permintaan mahar dari Papa Mirza.
Ya, Jemmy memilih mundur dan tidak mau memperjuangkan Medina karena merasa tidak sanggup jika harus belajar membaca tahlil. Dia yang dibesarkan di keluarga yang tak mengenal ajaran agama, tentu saja merasa kesulitan. Selain itu, Jemmy juga merasa jika keluarga Medina yang agamis hanya akan mengekang kebebasannya dengan berbagai aturan yang ada.
"Maaf, Din, aku enggak bisa memenuhi permintaan papa kamu," bisik Jemmy, setelah beberapa saat berpikir.
"Lagi pula, pandangan keluarga kita dalam menyikapi kehidupan ini berbeda. Keluargamu sepertinya memiliki aturan-aturan yang enggak mungkin dapat aku jalankan. Begini enggak boleh, begitu enggak boleh. Pegangan tangan aja, kamu enggak pernah memperbolehkan. Benar, 'kan?"
Jemmy berbicara seraya menatap protes Medina. Gadis yang sejak masih duduk di bangku sekolah sudah dia pacari dan masih berlanjut hingga saat ini, meski Medina dikabarkan dekat dengan beberapa teman laki-laki.
"Semua-muanya, dikaitkan dengan hukum dan ajaran agama. Kayak enggak ada kebebasan dalam hidup. Berbeda dengan keluargaku yang bebas, tanpa aturan yang mengikat," imbuh kekasih Medina itu.
Medina menghela napas panjang, mendengar perkataan panjang lebar dari Jemmy.
"Jika papamu mengubah permintaan maharnya, mungkin aku akan memperjuangkan kamu, Din," lanjut Jemmy.
'Mungkin?' batin Medina, sendu.
"Nak, Dina. Jangan diem saja seperti ini, dong, Sayang. Mama jadi ikutan sedih, nih." Suara Mama Lila berikutnya, mengurai lamunan panjang Medina.
"Eh, enggak, kok, Mam. Dina enggak sedih. Dina hanya kecewa saja sama Jemmy."
"Benar, Sayang. Dari sini, kamu bisa menilai sendiri bukan, keseriusan Jemmy padamu? Jika Jemmy benar-benar mencintaimu, dia pasti akan memperjuangkanmu, Nak. Meski harus bertaruh nyawa sekalipun. Apalagi, ini hanya soal belajar. Mudah saja 'kan bagi orang yang mau?"
Mama Lila masih menghibur dan memberikan wejangan pada sang putri di kamar putri bungsunya itu. Sementara di ruang keluarga, obrolan hangat yang diwarnai canda, dan tawa masih berlangsung. Dan tema obrolan kali ini, tak jauh-jauh dari perjodohan.
Tentu saja saat ini yang menjadi pusat perhatian adalah Hamam. Karena hanya dia yang ada di sana. Sementara Medina masih mengurung diri di dalam kamar.
"Santai aja, Kak Hamam. Aksa yakin, sebenarnya Dik Dina itu hanya malu aja mengakui perasaannya pada Kakak. Jika memang dia tidak memiliki ketertarikan pada Kak Hamam, tidak mungkin, lah, dia asal menyeret Kakak lalu memperkenalkan pada Papa. Bukankah begitu, Pap?"
"Tunggu-tunggu! Menyeret? Menyeret bagaimana maksud Bang Aksa?"
"Itu, loh, Om Bal ...." Aksa lalu menceritakan kejadian sewaktu di ndalem Kyai Umar. Pemuda itu menceritakan dengan detail. Mulai dari awal kedatangan Medina yang langsung memperkenalkan Hamam sebagai kekasih, hingga keterkejutan Medina ketika mengetahui jika ternyata Hamam adalah putra sang kyai.
Mendengar cerita Aksa, Om Iqbal yang tadi bertanya, tertawa terbahak. Begitu pula dengan keluarga lain, yang baru mengetahui cerita awal mula perjodohan Medina dengan Hamam. Sementara Hamam hanya senyum-senyum saja
"Kena batunya juga si Dina. Dina pasti berpikir bahwa dia akan dapat mengelabui papa kalian dan mengira jika kang santri yang dibawa, akan membantu menyukseskan rencananya dengan menuruti semua keinginan Dina."
"Emang begitu rencana dia, Om. Sudah dapat ditebak, akal-akalan si Dina," timpal Aksa.
"Akal-akalan apa? Dina enggak merencanakan apa-apa, kok," sahut Medina, yang baru muncul bersama sang mama. Gadis itu pun cemberut, menatap sang abang.
"Lalu, yang waktu itu, apa?" Aksa menatap sang adik dengan senyuman jailnya.
"Udah dibilang juga, kalau waktu itu Dina khilaf! Masih aja Bang Aksa enggak percaya! Ya, udah! Bodo amat, mau percaya apa enggak!" Medina menatap geram pada sang abang.
"Bang, sudah! Jangan diledekin terus adiknya!" Sang mama memperingatkan dengan lembut.
Mama Lila kemudian mengajak sang putri untuk duduk di dekat keluarga Kyai Umar. Perbincangan yang mulanya santai, kini terdengar serius karena membahas pertunangan antara Medina dan Hamam yang sudah direncanakan.
"Jadi, bagaimana, Sayang? Apakah kamu menerima pinangan dari Nak Hamam?" tanya Papa Mirza, setelah putra bungsu Kyai Umar menyampaikan sendiri dengan gamblang maksud hatinya.
"Sebenarnya, ini terlalu cepat, Pap. Seperti yang pernah Dina katakan waktu itu. Tapi, ada satu hal lagi yang sebenarnya juga mengganjal di hati Dina yang ingin Dina tanyakan langsung pada Kang Hamam."
"Iya, Dik. Tanyakanlah," sahut Hamam seraya menatap Medina dengan lekat.
"Kenapa Kang Hamam langsung mau aja sama Dina, padahal kita belum saling mengenal, dan belum pernah saling bertegur sapa?"
bersambung...
🌹🌹🌹
Nah, tuh ... kenapa, Gus?
Buat kalian yang sudah hadir, thx alot, yah.. jangan lupa, ulasan bintang limanya di sini 👇
satu lagi, biar malaknya enggak nanggung 😄🙏
di sana kan ada kolom iklan, tuh... nah, ditonton, yah, iklannya agar aku lebih bersemangat 😉👌