Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 - Pengkhianat yang Sebenarnya.
Tidak peduli siapa ayah dan bagaimana dia mendapatkannya, keputusan Haura sudah bulat untuk menerima setitik nyawa dalam dirinya.
Dalam waktu tak sampai satu jam, Haura sudah mempertimbangkan rencananya ke depan. Tanpa mendramatisir keadaan, Haura yakin dia bisa bertahan tanpa mencoreng nama besar keluarganya.
Kebetulan dia memang akan terbang ke Bali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Haura yang begitu mencintai pulau Dewata tanpa pikir panjang menjadikan tempat itu sebagai pelariannya juga.
Ya, untuk sementara Bali adalah pilihan utama karena Haura tidak terpikirkan ke tempat lain untuk saat ini.
Karena itulah, tujuannya terbang ke Bali bukan hanya untuk bekerja, tapi juga menetap di sana. Entah sampai kapan, bisa jadi nanti semakin jauh lagi, Haura tidak tahu juga.
Akan tetapi, yang pasti saat ini dia akan menjalaninya dengan perlahan. Sebelum pergi Haura juga pamit baik-baik, walau memang belum terbuka dan menutupi niatnya, tapi setidaknya Haura sudah mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang untuk waktu yang cukup lama.
Dan sekarang, di sinilah dia berada. Tempat yang selalu menjadi tempat favoritnya sejak kecil. Begitu banyak tempat di dunia ini, tapi di hatinya Haura menempatkan Bali sebagai pemegang tahta tertinggi.
Mungkin karena kenangan keluarganya di tempat ini amat manis dan romantis. Sampai-sampai, sejak dahulu Haura memiliki impian bisa mengikat janji suci di Bali.
Dengan konsep pernikahan sederhana, tertutup dan hanya dihadiri oleh orang-orang terpenting dalam hidupnya. Namun, untuk saat ini sepertinya Haura harus mengubur mimpi indah itu sementara waktu.
Mengingat hubungannya telah kandas dan berakhir hancur. Bukan karena restu, bukan pula karena tidak sekufu, tapi hal lain yang lebih menyakitkan sampai membuat Haura membohongi kedua orang tuanya sebelum pergi.
Mengingat hal itu, sungguh Haura tidak kuasa menahan tangis tatkala mengingat pesan sang mama dan juga papanya sewaktu Haura angkat kaki dari rumah.
"Jaga diri baik-baik ... batasi pergaulanmu, terutama dari laki-laki!! Ingat itu."
"Betul kata Mama, bukan bermaksud overprotektif, tapi tidak ada salahnya hati-hati."
"Tuh, Papa laki-laki dan setuju dengan pernyataan Mama, berarti ini sudah valid, Ra!!"
"Tentu saja, karena Papa tahu bagaimana otak laki-laki, Mama."
Haura terisak, sakit sekali dadanya tatkala mengingat nasihat kedua orang tuanya. Tak bisa Haura bayangkan bagaimana jika mereka tahu bahwa anak perempuan yang begitu berharga di mata mereka telah hancur, juga ternoda.
Mirisnya lagi, tern-oda oleh pria beristri dan karena kesalahan diri sendiri yang membuatnya sampai terjebak sedalam ini. Sungguh sakit kepala Haura membayangkannya.
Bahkan hamparan laut dan sejuknya angin pantai di depannya seolah tidak bisa membuatnya tenang. Pikiran Haura masih tetap semrawut, persis seperti benang kusut.
Dia ingin berteriak, menegaskan kepada seluruh dunia dia tersiksa. Jika saja menghabisi diri sendiri itu tidak berdosa dan dapat menggugurkan dosa yang sudah-sudah, mungkin Haura tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.
Drrrt Drrrt Drrrt
"Siapa juga yang menelponku," gerutu Haura sembari menyeka kasar air matanya tatkala panggilan masuk di tengah kegalauannya.
Masih dengan mata mengembun, Haura melihat nama sang penelpon. Berharap bukan nomor tidak dikenal seperti yang sudah-sudah, jujur Haura sudah lelah memblokirnya.
"Abimanyu?" Kening Haura berkerut dan sedikit malas menerimanya.
Jika ditanya kenapa, sudah tentu karena dia masih tidak terima dengan saran kriminal yang Abimanyu berikan padanya tadi siang.
.
.
"Hallo," sapa Haura malas-malasan, kakinya sengaja memainkan pasir pantai sebagai cara mengalihkan perhatian.
"Kamu sudah di Bali?"
Sok perhatian, Haura memajukan bibirnya meski tanpa melontarkan kata-kata itu secara langsung. Kekesalannya pada Abimanyu masih begitu nyata, aneh memang padahal hanya karena beda pendapat saja.
"Ra, aku tanya ... jawab dong."
"Iya, sudah," jawabnya ogah-ogahan.
"Ck, benar-benar nekat, yang kamu pikirkan apa sih, Ra? Nekat pergi dalam keadaan begitu, sendirian?" tanya Abimanyu beruntun sebagaimana saudara tentu saja.
"Ya pikir aja sendiri aku sama siapa, sendirilah!!"
Terdengar Abimanyu menghela napas panjang. Kemungkinan menyayangkan keputusannya yang tetap nekat pergi tanpa berdiskusi lebih dulu.
"Ya sudah, sekarang katakan kamu dimana?"
"Sudah kubilang di Bali!! Tuli ya?"
"Iya tahu, Sayang, maksudku dimananya? Kamu pikir Bali itu gang? Jelas-jelas, Haura!!" ungkap Abimanyu tak kalah tinggi, kemungkinan dia tengah tersulut emosi.
Haura yang malas mengatakan dengan sedikit lebih detail dimana posisinya berada. Namun, agaknya informasi itu masih kurang sampai Abimanyu tetap bertanya.
"Kenapa lagi? Kan sudah jelas aku dimana, kenapa masih tanya?"
"Nginapnya dimana? Villa atau hotel apa? Kamar nomor berapa? Katakan sekarang!!"
"Ck, kamu ngapain sih? Banyak tanya, mau nyusul ke sini atau apa?"
"Memastikan saja, barangkali tidur di jalan raya," jawab Abimanyu yang lagi-lagi Haura tanggapi dengan helaan napas panjang.
Mulai kesal dengan pembicaraan yang dirasa tiada manfaatnya, Haura bermaksud memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, kembali tertahan tatkala pria itu memintanya untuk bertahan sedikit lebih lama.
"Tunggu sebentar!!"
"Apa lagi?"
"Kamu di pantai?"
"Hem, kenapa? Mau lihat ombaknya?"
"Pulanglah, sudah malam, Ra ... istirahat dan jangan banyak tingkah." Meski hanya via suaranya, ternyata Abimanyu tetap cerewet juga.
Haura menatap sekeliling, memang sebenarnya sudah malam, tapi dia belum memiliki keinginan untuk beristirahat. Selain itu, dia juga tidak punya keinginan untuk tidur malam ini karena takut setiap kali memejamkan mata.
Kendati demikian, dia tetap mengikuti perintah Abimanyu untuk kembali ke hotel walau cukup lama ditunda-tunda. Kurang lebih satu jam baru tergerak untuk meninggalkan tempat itu.
Seiring dengan langkah yang dia ambil, Haura berusaha untuk tidak seperti orang bodoh. Statusnya sebagai aktris dan juga bintang iklan ternyata cukup dikenali, tentu saja dia tidak mungkin memasang wajah murung.
Dengan dia yang pergi tanpa membawa asisten saja sudah cukup mengherankan. Apalagi sampai dengan wajah lemas seperti tengah banyak hutang.
Sebisa mungkin dia terlihat tetap menawan, tanpa peduli serapuh hatinya dan semerah apa mata di balik kacamata hitamnya.
"Apa yang perlu dipusingkan, duniaku baik-baik saja dan orang masih menjadikanku pusat perhatian ... semua ini tidak akan lama, paling jug_ heuh?" Langkah Haura seketika terhenti tatkala sadar siapa pria yang berdiri tepat di depannya.
Hanya terpisahkan beberapa langkah saja, hampir saja Haura menabrak punggung seseorang yang menjadi alasan dia angkat kaki dari rumah dan berencana menetap di Bali saat ini.
Dengan mata yang membulat sempurna, Haura menutup mulut sembari membatin dan mengutuk seseorang di dalam hatinya. "Dasar pengkhianat!! Pasti Abimanyu sekarang berada di pihaknya dan memberitahukan bahwa aku ada di sini."
.
.
- To Be Continued -
dan Sukses selalu thor....