Semua orang menganggap Maira ahli berpacaran, padahal semua diketahui hanya berasal dari buku yang dibaca dan film yang ditonton. Rangga, lelaki yang dikenal dengan sebutan Casanova membuatnya jatuh hati. Ia mencoba menahan rasanya karena tak ingin terjebak dengan lelaki itu.
Apa jadinya jika Rangga sendiri yang datang mendekatinya karena merasa Maira ahli dalam hal asmara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sweet_Girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pinjaman dan Ancaman
Maira pun membuka dompet dengan tergesa-gesa. Yang ada hanya selembar uang lima puluh ribuan dan beberapa uang dua ribu. Uangnya tidak cukup untuk membayar frappe yang seharga seratus ribuan itu. Harganya sama dengan harga dua kali makan es krim dan buah-buahan di kantin. Maira merasa berat untuk menarik uang lima puluh ribuan itu keluar dari dompet.
Pemilik dan pelayan kafe itu menatapnya dengan sinis, meskipun mereka sudah tahu keadaan.
"Anda juga tidak punya kartu?"
"Tidak ada."
Maira sudah membuang semua kartu kreditnya sejak masuk universitas dulu untuk menghindari kalau-kalau ia gila belanja. Yang ada hanyalah kartu debit.
Maira memucat begitu merasakan tatapan dingin dari semua pengunjung yang ada di kafe terarah padanya. Bagaimana tidak, teman yang bersamanya tadi berlari keluar sambil menangis, sementara ia membuat keributan dengan meneriaki seorang laki- laki seperti ini, ditambah lagi aku kekurangan uang untuk membayar. Benar-benar situasi yang memalukan. Pria itu memang benar-benar mendatangkan kesialan.
Sementara itu, tanpa rasa iba Rangga malah melangkahkan kaki menuju pintu keluar kafe. Sebelum ia menghilang dari kafe, Maira menarik lengannya untuk memohon bantuan. Meskipun Maira merasa malu setengah mati, ia tetap harus memohon bantuannya, meski mengucapkannya dengan suara kecil.
"Bisa ... pinjam ... uang ...?"
Maira tidak percaya ia melakukan ini hanya karena lima puluh ribu rupiah.
"Apa?"
"To ... tolong pinjami aku uang ...."
"Aku tidak dengar."
Maira pun menatapnya dengan sinis dan kerutan di dahi. Melihatnya bertingkah seperti itu, Rangga menepis tangannya dan berniat untuk pergi. Maira menariknya kembali dan berkata dengan suara agak keras, "Tolong pinjami aku lima puluh ribu. Aku akan mengembalikannya besok."
"Mana bisa aku memercayai mahasiswa miskin sepertimu?"
Maira pun memelototinya lagi hingga akhirnya dia mengeluarkan lima lembar 10.000an dari dalam dompetnya.
"Bayar dengan bunganya."
"Dasar lintah darat."
Rangga menatap Maira tajam dan menarik uang yang sudah diberikan kepadanya tadi sambil berkata, "Kenapa kau berbicara tidak sopan pada seniormu seperti ini?"
"Kau duluan kan yang mempermainkanku?"
Maira lantas merampas uang itu dari tangannya dengan cepat lalu membayar frappe yang diminum tadi dan kabur dari kafe itu. Saking malunya, mungkin Maira tidak akan pernah kembali lagi ke kafe ini. Sialan! Tidak hanya di klub, tetapi setiap kali bertemu dengannya, kehidupan Maira pasti langsung berantakan.
"Ikut aku! "
Rangga menatap Maira curiga begitu mendengar ucapannya yang berani itu.
"Kau tidak mau uangmu kembali? Aku akan mengembalikannya setelah menarik uang dari ATM."
Untuk mempertahankan harga diri yang terakhir, Maira langsung melangkah menuju tempat penarikan uang 24 jam yang ada di depan kafe. Sebenarnya ia tak rela harus menarik uang. Namun itu jauh lebih baik, daripada harus merasa dipermalukan seperti tadi.
"Ada kembalian lima puluh tidak?" ucap Maira begitu keluar dari ruang ATM dengan lembar 100.000 yang masih baru.
"Tidak ada. Kenapa dari tadi kau bicara dengan ketus?"
"Hmm, apa kau sadar kalau kau juga berbicara seperti itu dari dulu? Aku akan mengundurkan diri dari klub, jadi kalau lain kali kita berpapasan, anggap saja kita tidak saling kenal dan jangan menggunakan kalimat yang tidak sopan lagi. Anda mengerti, Tuan Rangga?"
Lalu, Maira masuk lagi ke toko 24 jam itu dan membeli tisu untuk mendapatkan uang pecahan lalu menyerahkan lima puluh ribu padanya. Namun, Rangga sama sekali tidak mau menerimanya. Tangan Maira yang tadinya sampai gemetaran karena mengulurkan uang yang tak kunjung diambil itu bahkan jadi mengeras seperti batu.
"Kau tidak mau?"
"Aku akan menerimanya kalau kau tidak jadi mengundurkan diri dari klub."
"Aku bilang aku tidak akan ke klub itu lagi!"
"Coba pikirkan sekali lagi. Nanti kau menyesal."
"Siapa yang menyesal? Astaga, kalau kau tidak mau, aku akan mengambil uang lima puluh ribu ini."
Begitu Maira akan memasukkan uang itu ke dompet, tangan besar Rangga pun langsung menjulur ke depan muka Maira. Tadi tidak mau, sekarang berubah pikiran lagi? Dasar, laki-laki ini benar-benar menyebalkan.
"Kau tidak ada kegiatan lain, kan?"
Maira menatap Rangga karena tidak mengerti arti ucapannya itu. Dia lalu menggenggam jempolnya dan tampak sedang mengukur panjang tangannya dengan tangan yang lain. Maira memucat seketika begitu memahami apa maksudnya.
Meskipun Maira ingin berkomentar, ia tidak tahu harus berkata apa tentang hal sevulgar ini. Sementara itu, dia masih tetap mengukur panjang jarinya dengan serius. Maira tidak berani melihat ke arah alat kelaminnya, bahkan tangannya saja pun tidak.
"A ... apa-apaan kau ini? Siang bolong begini!"
Rangga malah melihatnya dengan raut aneh.
"Apa yang aneh dengan mengukur panjang jari di siang bolong? Dulu yang mengukur panjang tangan laki-laki bahkan ukuran 'barang'nya di siang bolong seperti ini, siapa ya?"
"Tunggu! Itu kan karena ...."
Wajah Maira memerah karena tidak tahu harus berkata apa sementara dia berjalan dengan santai ke depan kulkas yang ada di depan toko 24 jam tadi, lalu dengan santai berkata, "Sepertinya, semua peraturan pasti memiliki celah ya. Jika dibandingkan dengan ukuran telapak tangan, milikku padahal jauh lebih ...."
Dia pun menghentikan kalimatnya dan berbalik pada Maira. "Yah, aku tidak perlu terang-terangan membahasnya, kan."
Dia memang pantas dipanggil Casanova. Bisa-bisanya dia membahas hal seperti ini tanpa rasa canggung sedikit pun. Kali ini pun Maira tidak bisa menepis kenyataan bahwa ia lagi-lagi dikagetkan olehnya.
Lalu, seolah teringat sesuatu, Rangga pun mengetuk kepalanya sendiri.
"Oh iya, aku lupa kalau ternyata aku juga sudah bercerita tentang hal ini pada anak-anak klub."
Entah apakah karena merasa lucu melihat raut wajah kaget Maira, dia pun tertawa penuh canda dengan mata sipit panjangnya itu.
"Padahal, anak-anak yang lain merasa lucu lho? Mereka bertanya dari mana aku tahu tentang hal ini, tapi aku hanya bilang kalau aku mengetahuinya dari seorang wanita, meskipun aku sudah mengenalmu. Aku akan merasa bersalah kalau misalnya aku bilang aku punya hubungan khusus dengan wanita itu, kan?"
Maira mendadak pusing, khawatir entah cerita apa saja yang sudah diceritakannya pada anak-anak klub selama ia tidak ke sana. Tanpa memedulikan tatapan tajam Maira padanya, Rangga masih tetap saja berbicara.
"Oh iya, karena itulah, aku bilang kalau nanti kau yang akan menceritakan kelanjutannya. Tapi, aku juga tidak tahu entah gosip apa yang akan merebak soal dirimu."
"Apa maksudmu?"
"Kalau sudah begini, satu-satunya cara menghilangkan gosip itu adalah dengan mengatakan kalau kau mengenal wanita itu dan menjelaskan bagaimana kau mengetahui hal itu. Dengan begitu, mereka pasti akan percaya kalau kau memang mengenal orang yang menceritakan hal itu dengan baik, kan?"
Ya, logikanya memang benar. Meskipun nasi sudah menjadi bubur, Maira masih tetap menyesali tindakan yang membahas soal posisi 69 dengan lantang di hadapan kaum pria waktu itu. Ditambah lagi, ia tidak bisa berkata apa-apa mengingat orang yang bernama Casanova ini ada di sana waktu itu. Dia benar-benar pintar menjebak Maira.
"Jadi, ini yang kau maksud aku akan menyesal jika tidak datang ke klub lagi?"
Casanova menatap Maira sambil mengernyitkan alisnya.
"Kau mau mengancam akan membeberkan namaku karena sudah tahu siapa namaku kan? Huh! Ternyata kau jauh lebih menarik dari yang kupikirkan."
"Aku tidak pernah bilang kalau aku mengancammu, tapi kalau kau merasa seperti itu, berarti itu benar kan? Lagi pula, yang merasa terancam itu kan kau."
Maira menatap Rangga yang tidak tahu malu itu. Namun, ia tidak tahu ada pesona apa di matanya sehingga entah mengapa ia sama sekali tidak membencinya. Malahan, Maira jadi terpesona akan daya tarik anak nakalnya itu.
Sebenarnya, Maira memang tidak pernah lagi ke klub, tetapi selalu mendengar semua cerita yang terjadi di klub dari mulut Cika. Dan jika Cika mulai bercerita tentang Rangga, tanpa sadar Maira langsung membuka telinga lebar-lebar. Namun sayangnya, Cika sangat jarang bercerita tentang Rangga. Kalau dipikir-pikir, Cika itu benar-benar mengerikan karena dia sama sekali tidak pernah menceritakan rasa sukanya pada Rangga, meskipun dia berniat untuk mengutarakan perasaannya pada Rangga.
"Tapi, apa alasanmu mengancamku seperti ini?"
"Apa?"
Mendadak Maira merasa berdebar-debar dan muncul sedikit harapan di hatinya begitu melihat raut terkejut di wajah Rangga yang di luar dugaan itu. Dia ingin menahan Maira karena menganggapnya istimewa. Dan dia menyadari kalau Maira ada di dalam hatinya. Yah, sedikit banyak Maira berimajinasi kalau dia akan berkata seperti itu.
Memang, Maira sadar bahwa ia tidak perlu sampai merasa malu dan kaget kalau orang yang bernama Rangga ini menyukainya karena Maira tahu dia orang yang seperti apa. Maira pun tidak mungkin melepaskan cita rasa pria bugar seperti dia begitu saja. Tidak mungkin ada wanita yang tidak berdebar jika melihat orang seperti dia kan?
Di tengah situasi dan kondisi yang memalukan seperti ini, Maira mencoba untuk mengesampingkan pikiran-pikiran aneh yang muncul di benaknya.
"Sebenarnya, apa tujuanmu mengancamku untuk tetap datang ke klub?"
Bilang saja kalau dia sedikit menyukai Maira kenapa sih? Jika memang iya, Maira tidak akan berkata banyak dan langsung datang ke klub lagi. Namun kalau tidak, ya sudah. Lagi pula, Maira sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari klub. Kalau tidak, ia mungkin akan sedikit malu. Namun kalau Maira benar-benar merasa malu, ia bahkan tak akan sudi untuk melangkah ke ruang pertemuan mahasiswa. Dan tentu saja, Maira akan merasa sangat kecewa.
Maira menatap Rangga dengan perasaan tak keruan.