NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kegembiraan di Tengah Ancaman

Matahari bersinar cerah di atas desa, menambah keceriaan pasar tani yang baru saja digelar. Suara tawa dan gelak tawa memenuhi udara, menggantikan rasa cemas yang sempat menghinggapi warga desa. Ustadz Abdullah merasakan semangat yang tumbuh di antara mereka. Namun, di balik kegembiraan itu, ada bayangan gelap yang semakin mendekat.

Hari-hari berlalu dengan penuh aktivitas. Warga desa mulai membentuk kebiasaan baru, saling mendukung dan berbagi hasil panen. Pasar tani yang diadakan setiap bulan menjadi pusat perhatian, dan setiap kali mereka berkumpul, ada rasa syukur yang melimpah. Namun, Ustadz Abdullah terus merasakan firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ustadz, bagaimana menurutmu tentang cuaca belakangan ini?” tanya Rahman suatu malam saat mereka berbincang di teras masjid. “Aku mendengar dari beberapa tetangga bahwa kemarau ini bisa jadi lebih parah.”

Ustadz Abdullah mengangguk. “Ya, Rahman. Kita memang harus bersiap. Meski saat ini kita merasa bahagia, tidak ada salahnya kita tetap waspada. Kita perlu berdoa dan meminta perlindungan Allah agar dijauhkan dari bahaya yang mungkin mengancam.”

Di dalam hati, Ustadz Abdullah teringat akan ceramah-ceramahnya sebelumnya tentang tanda-tanda kedatangan Dajjal. Kesengsaraan yang dialami umat manusia adalah salah satu pertanda bahwa keadaan dunia tidak baik. Namun, ia tak ingin menyebarkan ketakutan. Ia lebih memilih untuk menanamkan semangat dan keyakinan di hati setiap orang.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar di atas desa, Ustadz Abdullah mengumpulkan warga untuk berkumpul di masjid. “Saudara-saudara, mari kita gunakan malam ini untuk berdiskusi dan merencanakan langkah-langkah ke depan. Kita tidak boleh lengah. Sambil kita bersyukur, kita juga harus siap menghadapi tantangan yang mungkin datang.”

Di tengah diskusi, Fatimah berdiri dan berbicara, “Ustadz, kami semua merasa senang dengan perkembangan saat ini. Namun, ada juga ketakutan di hati kami mengenai kelanjutan kemarau ini. Apa yang bisa kita lakukan agar kita tetap bertahan?”

Ustadz Abdullah menjawab dengan tegas, “Kita perlu terus berdoa dan saling membantu. Juga, kita harus memanfaatkan setiap sumber daya yang kita miliki dengan bijak. Mari kita diskusikan tentang cara mengelola air yang ada, dan jika perlu, kita bisa mencari cara untuk menampung air hujan yang tersisa.”

“Ya, kita bisa membangun sistem penampungan air di sekitar ladang kita,” sambung Rahman. “Jika kita bisa menampung air meski hanya sedikit, itu bisa sangat berarti.”

“Setuju! Kita juga bisa berkolaborasi dengan desa tetangga. Jika mereka juga merasakan dampak yang sama, kita bisa saling membantu,” tambah Fatimah dengan semangat.

Malam itu, semangat warga semakin membara. Diskusi mengalir dengan ide-ide brilian. Ustadz Abdullah melihat antusiasme yang luar biasa. “Kita harus bersatu, saudara-saudara. Kebangkitan desa ini bukan hanya tanggung jawab kita masing-masing, tetapi tanggung jawab kita bersama. Insya Allah, jika kita bersatu, Allah akan memberikan kita jalan keluar.”

Kegembiraan dan rasa optimis yang ada di hati mereka terasa seperti pelangi setelah hujan, namun bayang-bayang ancaman Dajjal dan kemarau panjang terus menghantui pikiran Ustadz Abdullah. Ia tahu, saat umat manusia semakin sibuk dengan kesenangan mereka, ancaman itu kian mendekat.

Beberapa hari kemudian, saat Ustadz Abdullah sedang berkumpul dengan beberapa warga di masjid, seorang pendatang datang dengan wajah cemas. “Maaf, Ustadz. Saya baru saja mendengar berita buruk. Di desa sebelah, mereka sudah mengalami kekeringan parah. Tanaman mereka mati dan banyak yang tidak memiliki makanan.”

Warga langsung terdiam mendengar kabar tersebut. Ustadz Abdullah merasakan kehawatiran mulai merambat di antara mereka. “Apakah ada yang bisa kita lakukan untuk membantu?” tanyanya kepada pendatang itu.

“Mereka sangat membutuhkan bantuan, Ustadz. Makanan dan air adalah hal yang paling mendesak,” jawab pendatang itu.

Ustadz Abdullah berpikir sejenak, lalu berkata, “Mari kita kumpulkan sumbangan dari warga desa ini. Kita akan mengirimkan bantuan ke desa tersebut. Mereka adalah saudara-saudara kita. Kita tidak bisa membiarkan mereka menderita sendirian.”

Warga segera mulai berdiskusi untuk mengumpulkan makanan dan air. Dalam semangat kebersamaan, mereka mulai mengemas barang-barang yang bisa dikirimkan. Walaupun mereka sendiri sedang berjuang, solidaritas antar sesama menjadi kekuatan yang tak tergantikan.

“Ustadz, apakah kita tidak sebaiknya menyimpan makanan ini untuk diri kita sendiri?” tanya salah satu warga dengan khawatir.

Ustadz Abdullah menatapnya dengan tegas. “Tidak ada artinya kita selamat sendirian. Jika kita ingin mendapatkan berkah, kita harus berbagi. Mari kita doakan agar Allah membalas kebaikan kita.”

Hari itu, mereka bekerja sama dan mengumpulkan cukup banyak bantuan. Dalam hati, Ustadz Abdullah berharap bahwa tindakan ini akan membawa berkah bagi desa mereka. “Ingatlah, saudara-saudaraku. Saat kita bersatu dan berbagi, Allah akan memberikan kita jalan keluar dari setiap kesulitan,” ujarnya.

Setelah semua bantuan dikumpulkan, mereka mempersiapkan perjalanan menuju desa sebelah. Saat mereka berangkat, Ustadz Abdullah merasakan campuran rasa haru dan cemas. Mereka sedang menghadapi tantangan yang lebih besar dari sebelumnya, dan situasi yang semakin parah. Namun, ia yakin bahwa dengan saling mendukung, tidak ada yang tidak mungkin.

Kegembiraan mereka di pasar tani mungkin hanya sementara. Namun, di tengah semua itu, mereka telah menemukan kekuatan dan semangat untuk bertahan. Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan menuju desa yang membutuhkan, berdoa agar Allah senantiasa melindungi dan membimbing mereka.

Nafas Bacin di Tengah Keterpurukan

Hari-hari terus berlalu dengan tantangan yang semakin berat. Cuaca yang kering membuat situasi semakin mengkhawatirkan. Warga desa berusaha beradaptasi, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa rasa lapar dan haus mulai menghantui setiap langkah mereka. Salah satu dari mereka, Joni, adalah seorang pemuda yang dikenal ceria dan selalu optimis. Namun, saat ini ia merasa terpuruk.

Joni berusaha menahan lapar dengan segenap tenaga, namun perutnya terus keroncongan. Di tengah kerumunan warga yang sedang beraktivitas, Joni tampak lebih lemah dari biasanya. Nafasnya terengah-engah dan bau tak sedap keluar dari mulutnya. Ia tahu semua itu akibat kekurangan makanan dan air.

“Joni, kau kenapa?” tanya Rahman, salah satu teman dekatnya, saat melihat Joni duduk termenung di sudut masjid.

“Aku… aku lapar, Rahman,” jawab Joni lemah. “Sudah beberapa hari ini aku tidak mendapatkan apa-apa. Bukan hanya aku, kita semua dalam keadaan yang sulit.”

Rahman mengangguk. “Aku tahu. Kita semua merasakannya. Tapi kita harus tetap berjuang. Mari kita cari cara untuk mendapatkan makanan, mungkin ada petani yang masih punya sisa panen.”

Joni menghela nafas. “Bagaimana kita bisa meminta sisa panen jika mereka sendiri sudah kekurangan? Rasanya tidak ada harapan lagi.”

Dalam keadaan putus asa, Joni berusaha tersenyum, meski senyum itu tampak dipaksakan. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di ladang, setidaknya sedikit sayuran yang tersisa.”

Saat Joni berdiri, ia merasakan pusing. Nafasnya semakin berat, dan saat ia berbicara, nafsunya semakin menurun. Rasa laparnya membuat mulutnya terasa kering dan baunya menjadi semakin menyengat. Rahman menyadari betapa parahnya kondisi Joni.

“Joni, kita harus melakukan sesuatu. Mari kita pergi ke ladang dan coba lihat apakah ada yang tersisa. Jangan menyerah, kita bisa melewati ini bersama,” kata Rahman penuh semangat.

Mereka berdua beranjak menuju ladang dengan harapan. Dalam perjalanan, Joni terus merenung, “Kalau saja ada air, mungkin aku bisa merasa lebih baik. Nafasku terasa bacin sekali, dan ini sangat memalukan. Apa kata orang-orang jika mereka mencium bau ini?”

Sementara itu, warga lain juga mengalami hal serupa. Di masjid, terdengar bisikan-bisikan cemas. “Bagaimana jika kita tidak mendapatkan makanan? Bagaimana jika semua ini berlanjut? Kita akan kelaparan, dan siapa yang akan bertahan?” keluh seorang wanita tua.

Ustadz Abdullah, yang mendengar keluhan itu, segera mengumpulkan warga. “Saudara-saudara, meskipun kita sedang dalam kesulitan, jangan pernah kehilangan harapan. Ingatlah, Allah selalu bersama kita. Mari kita berdoa agar Dia memberikan kita jalan keluar dari semua ini.”

Warga berdoa bersama, mengangkat tangan ke langit, memohon pertolongan dan berkah. Namun, dalam hati mereka, rasa cemas dan lapar terus menggerogoti. Joni kembali ke rumahnya, tetapi kali ini dengan harapan baru. Bersama Rahman, mereka berencana untuk mencari sisa-sisa sayuran di ladang.

Ketika sampai di ladang, Joni mengamati sekelilingnya. Tanaman yang dulunya hijau kini layu dan kering. Hanya sedikit sisa-sisa sayuran yang dapat mereka temukan. Dengan semangat yang tersisa, mereka mulai menggali tanah, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakan.

“Joni, lihat!” teriak Rahman, menunjukkan seikat daun hijau yang tampak layu. “Ini masih bisa dimakan. Kita bisa memasaknya!”

Joni tersenyum lemah. “Ayo, kita ambil sebanyak mungkin.” Mereka berdua dengan cepat mengumpulkan sayuran yang tersisa, meski jumlahnya sangat sedikit.

“Ini mungkin tidak banyak, tetapi setidaknya bisa mengisi perut kita,” kata Rahman dengan nada optimis.

Saat mereka berusaha beranjak dari ladang, Joni merasakan kepalanya semakin berat. “Aku… aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan, Rahman,” ucapnya dengan suara pelan.

Rahman mengangkat bahu. “Kita harus terus berjuang. Jangan biarkan rasa putus asa menghentikan kita. Kita akan menemukan jalan keluar dari semua ini.”

Di saat yang sama, udara terasa semakin pengap. Beberapa orang di sekitar mereka mulai bergegas untuk pulang, terlihat tidak sabar dan lelah. Nafas mereka pun terengah-engah, dan tak sedikit yang nafsunya bau bacin akibat kelaparan yang berkepanjangan.

Malam tiba, dan Joni dan Rahman berkumpul dengan warga lainnya untuk memasak sisa sayuran yang mereka temukan. Aroma sayuran layu yang dimasak menambah rasa lapar di perut mereka. “Ini memang tidak sebanding dengan makanan yang kita makan sebelumnya, tetapi setidaknya kita bisa bertahan malam ini,” kata Rahman.

Namun, saat mereka menghabiskan makanan itu, suasana seketika menjadi hening. Nafas bacin dan kelaparan semakin menyelimuti seluruh ruangan. Ustadz Abdullah yang melihat kondisi itu berusaha menenangkan semua orang. “Ingatlah, saudara-saudara. Kesulitan ini hanyalah ujian dari Allah. Kita harus tetap sabar dan berdoa. Jangan pernah kehilangan harapan.”

Kata-kata ustadz seakan menguatkan kembali semangat mereka. Namun, rasa lapar dan kehausan masih terus menghantui, membuat setiap detik terasa berat. Dalam keadaan tertekan, Joni menyadari bahwa mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh desa.

Di dalam kegelapan malam, mereka berdoa bersama, meminta agar Allah memberikan mereka kekuatan dan keberanian. “Ya Allah, berikanlah kami makanan dan air, agar kami bisa bertahan,” ucap Joni dengan penuh harap, meski di dalam hatinya masih ada rasa cemas.

Dalam kesunyian malam, harapan akan datangnya hari yang lebih baik tetap menyala. Mereka percaya, meski saat ini dunia tampak suram, Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang. Dengan tekad yang kuat, mereka siap menghadapi tantangan selanjutnya.

Makin Bacin di Tengah Keterpurukan

Hari-hari semakin sulit bagi Joni dan warga desa lainnya. Setelah menemukan sedikit sayuran, mereka merasa senang meski tidak cukup untuk mengisi perut. Namun, rasa lapar tidak kunjung reda, dan bau tak sedap dari nafsu yang menumpuk semakin menguat. Semakin banyak orang yang tidak bisa menahan lapar, dan suasana menjadi semakin tegang.

Joni, yang sedang duduk di sudut masjid, merasakan perutnya semakin keroncongan. “Rasa lapar ini tak tertahankan,” gumamnya pada diri sendiri. Ia teringat saat-saat ia bisa menikmati makanan enak bersama keluarganya. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

Di sebelahnya, Rahman duduk dengan wajah lesu. “Joni, aku semakin tidak tahan. Nafasku ini… bacin sekali! Mungkin karena perutku kosong,” katanya sambil mengeluh.

“Bukan hanya kau, Rahman. Semua orang di sini pasti merasakannya. Kita harus mencari cara untuk mendapatkan makanan yang lebih banyak,” balas Joni, berusaha tetap optimis meski suara hatinya penuh dengan keraguan.

Di luar, beberapa warga mulai berkumpul, membicarakan kelaparan yang mereka alami. “Aku tidak bisa lagi berdiam diri. Kita perlu pergi ke desa tetangga untuk mencari makanan,” seru salah satu warga.

“Apakah kalian yakin bisa? Bagaimana kalau kita tidak menemukan apa-apa?” sahut yang lain dengan nada pesimis.

“Lebih baik kita berusaha daripada hanya menunggu mati kelaparan di sini!” jawab warga itu penuh semangat.

Warga lain mengangguk setuju. Meskipun rasa takut menyelimuti hati mereka, keinginan untuk bertahan hidup lebih kuat. Joni pun ikut serta dalam rombongan yang berencana pergi ke desa tetangga. Mereka mengumpulkan beberapa perbekalan yang tersisa, meskipun itu tidak banyak.

Saat berjalan, Joni merasakan hawa panas dan kering yang membuatnya semakin dehidrasi. Nafasnya semakin berat, dan setiap hembusan nafas membawa aroma tak sedap dari mulutnya yang bacin. “Apa yang akan terjadi jika kita tidak menemukan makanan di desa itu?” pikirnya. Ketika berpikir seperti itu, ia melihat wajah-wajah putus asa di sekelilingnya.

Di tengah perjalanan, mereka melewati kebun yang sudah mati. Ranting-ranting pohon tampak kering dan daunnya rontok. “Lihatlah betapa parahnya keadaan di sini,” ujar Rahman. “Kita semua merasakannya. Kita butuh air, kita butuh makanan, kita butuh harapan!”

“Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan. Nafas ini makin bacin, semakin sulit untuk berbicara,” keluh Joni, mencoba menahan rasa lelahnya.

Akhirnya, mereka tiba di desa tetangga setelah berjalan jauh. Namun, saat mereka sampai, harapan mereka mulai pudar. Desa itu tampak sama suramnya dengan desa mereka. Banyak rumah yang kosong, dan orang-orang terlihat letih dan kelaparan. “Apa kita harus terus mencari?” tanya Rahman dengan nada pesimis.

“Sepertinya tidak ada harapan di sini. Bahkan mereka pun tidak memiliki makanan yang cukup,” jawab Joni, kecewa. “Kita harus kembali.”

Saat mereka memutuskan untuk pulang, perut Joni semakin keroncongan. Rasa lapar menyiksanya, dan ia tidak bisa berhenti berpikir tentang makanan. Dalam perjalanan pulang, aroma tak sedap dari nafas mereka semakin menyengat. Banyak yang mengeluh karena semakin lapar dan haus.

“Lihat, kita semua semakin bacin. Bahkan, aku bisa mencium baunya sendiri,” Rahman berkata sambil tersenyum kecut.

“Ini semua karena kelaparan,” balas Joni sambil menahan tawa. “Kalau begini, kita mungkin harus mengganti nama desa kita jadi ‘Desa Bacin’!”

Seluruh rombongan tertawa, meskipun tawa itu dipenuhi kepedihan. Tawa adalah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan untuk menghilangkan ketegangan. Namun, saat itu juga mereka merasa sangat sedih karena situasi yang terus memburuk.

Setibanya di masjid, mereka menemukan beberapa warga lain yang masih berkumpul. “Kita butuh rencana. Kita harus berdoa dan mencari cara untuk mendapatkan makanan lebih banyak,” kata Ustadz Abdullah. “Saya tahu keadaan ini sangat sulit, tetapi janganlah kita putus asa.”

“Ustadz, perutku ini sudah bacin sekali. Aku tidak tahan!” seru salah satu jamaah dengan nada hampir menangis.

Ustadz Abdullah berusaha menenangkan semua orang. “Ingatlah, Allah selalu mendengar doa kita. Kita harus bersatu dan berusaha. Mari kita berdoa bersama,” ajaknya, berharap doa bisa menjadi penguat di tengah kelaparan yang menyiksa.

Warga mulai berkumpul dan mengangkat tangan, berdoa dengan penuh harapan meskipun nafsu lapar semakin menumpuk. Dalam doa itu, mereka berharap agar Allah memberikan mereka keberanian, makanan, dan air yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.

Setelah berdoa, Joni dan Rahman kembali duduk di sudut masjid. “Kita harus lebih sabar. Suatu hari, semua ini akan berlalu,” ucap Joni dengan semangat yang mulai padam. Namun di dalam hatinya, ia berdoa agar Allah segera memberikan jalan keluar dari kesengsaraan ini.

Di malam yang sunyi, saat kelaparan dan kehausan masih menghantui, mereka tidak bisa menghilangkan rasa cemas. Nafas bacin mereka masih tersisa, seolah menjadi tanda bahwa perjuangan ini belum berakhir. Mereka tahu, untuk bertahan hidup di dunia yang semakin kelam ini, harapan dan kerja keras adalah dua hal yang tidak boleh hilang.

1
arfan
semangat up terus bos
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!