Terjerat Cinta Casanova
Sabtu malam yang indah, Maira duduk sambil sedikit menahan laju feromon yang sudah menggebu-gebu untuk mewujudkan tujuan akhir itu. Namun, ia tidak tahu apakah karena nafsu feromonnya yang terlalu kuat atau terlalu rendah, para lelaki yang ada di hadapannya itu seolah tidak merasakan apa-apa. Maira menyimpulkan hal ini setelah memperhatikan bahwa tak satu pun dari keempat lelaki yang datang untuk menjadi calon pasangan cinta memalingkan mata ke arahnya.
Hampir keempatnya menjatuhkan mata pada Cika yang berada di sebelah Maira. Lebih tepatnya lagi, mereka menjatuhkan pandangannya ke kaki mulus di bawah rok mini dan belahan dadanya yang mengundang. Tidak hanya karena ia mengenakan T- shirt dengan V-neckline dan bra B-cup, tetapi setiap kali ia menggerakkan badannya, belahan dadanya juga turut terlihat. Jujur saja, cara para pria itu mencuri pandang dengan hati-hati
Setiap kali belahan dadanya terlihat adalah hal yang menarik untuk ditonton. Meskipun mereka sudah berkamuflase untuk menutup-nutupinya, mereka tetaplah seekor pejantan jika dihadapkan dengan instingnya. Lalu Maira, yang berada dalam kedudukan lebih tinggi dari mereka, adalah pemberi keputusan. Karena itulah, meskipun menyadari kalau Maira adalah objek yang tidak menarik bagi mereka, ia masih tetap duduk di situ.
Sudah sewajarnya seorang manusia menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ia lakukan. Hal ini adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang yang biasa-biasa saja seperti Maira. Ia tidak pernah merasa marah atau tertekan setiap kali melihat Cika. Karena ia tahu, sekalipun ia mati dan dihidupkan kembali, tetap saja tidak akan bisa secantik dia. Meskipun demikian, Maira sedikit cemburu padanya.
Alasan pertama mengapa Maira tidak bisa menjadi seperti Cika ada hubungannya dengan garis keturunan. Dari segi proporsi badan, jika ia yang bertubuh gemuk ini berani mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Cika, setidaknya Maira harus terlahir dengan sedikit mirip seperti yang dimiliki Rapunzel di wajahnya.
Alasan kedua, Maira memiliki sifat yang sangat tidak hati-hati. Sekalipun memiliki tubuh tinggi dan langsing, ia tetap tidak akan mengenakan rok mini yang hanya menutupi bagian bokong seperti itu. Karena, seandainya ia menemukan uang yang jatuh di pinggir jalan, Maira tidak akan bisa mengambil karena pasti harus tidur telentang untuk mengambilnya.
Karena itulah, sedari awal Maira sudah memutuskan untuk mundur dari posisi bersaing dengannya dan menikmati pertunjukan antara Cika dan para lelaki itu. Sama sekali bukan hal yang buruk. Maira sama sekali tidak merasa kecewa karena di hadapannya masih ada secangkir kopi dan alunan musik lembut yang bisa dinikmati sembari menyaksikan pertunjukan yang ada di hadapannya. Rasa kopi di kafe itu memang tidak enak, tetapi ia sangat menikmati pilihan musik yang diputar.
Lagi ... ada objek yang menarik dipandang mata.
Kalau tidak salah, namanya adalah Rangga. Maira hanya mendengar sekilas saja ketika ia memperkenalkan dirinya tadi. Yah, sebenarnya ia tidak mendengarnya sekilas saja, tetapi mendengarkannya dengan serius. Hal itu dikarenakan penampilan lelaki yang satu itu tampak jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keempat lelaki yang ada.
Layaknya mereka yang hanya memperhatikan Cika, Maira pun menjatuhkan pandangan kepada orang itu saja. Jika melihat situasi itu, ia seolah melihat apa yang dimaksud dengan konsep kecantikan yang universal dan objektif.
Dia sama sekali tidak tampak setua umurnya. Wajahnya sangat mulus. Maira lebih tertarik pada pria yang memiliki wajah bertekstur kasar daripada pria yang berwajah mulus dan bersih. Namun, banyak juga wanita yang tertarik pada pria berwajah mulus dengan daya tarik tersendiri.
Wajahnya bukan sekadar tampan, melainkan juga memiliki pesona misterius. Yang pertama adalah kening yang indah dan garis hidung yang menempel dengan indah itu tersusun rapi serta pas di wajahnya. Cukup dengan hal ini saja, dia sudah lulus sebagai seorang lelaki tampan. Meski begitu, matanya tidak memiliki lipatan kelopak mata sehingga dia tampak seperti orang yang kasar dan angkuh, terlebih lagi caranya menatap orang juga sedikit aneh.
Sedari tadi, dia melirik Cika berkali-kali dan bersikap sinis terhadap ketiga pejantan yang lain. Bisa dikatakan kalau dia bertingkah sama seperti Maira. Meskipun kekesalannya sama, ia masih memiliki kebebasan tersendiri. Dia tidak sama seperti Maira yang tidak punya sisi menarik sejak lahir, dia masih mendapatkan kompensasi dengan menikmati pandangan setiap wanita yang melirik dirinya.
Sudah jelas bahwa dia menyadari dirinya adalah seorang lelaki yang menarik. Berkali-kali mata Maira dan matanya bertemu pandang, dan sebanyak itu pulalah ia memamerkan senyum misteriusnya. Meskipun Maira kesal dan sadar bahwa senyumannya itu tidak berarti apa-apa, jantungnya tetap berdegup setiap kali ia melakukannya.
"Kak?"
Sisil, salah satu gadis lainnya yang juga duduk di sebelah Maira menepuk pundaknya pelan. Seketika, pandangan semua orang yang duduk di meja itu mengarah padanya. Seketika itu pula wajah Maira memucat dan jantungnya terasa berhenti berdetak karena dipikir tepergok sedang mengamati Rangga.
"Sepertinya ponsel Kakak berdering."
Gadis itu langsung menunjuk tas yang berada di sebelah Maira dengan matanya. Maira tidak menyadari entah sejak kapan ponsel di dalam tasnya bergetar dan berbunyi.
Begitu ia mengangkatnya, terdengar suara seorang pria yang masih muda. "Halo, apa benar ini ponsel milik Nona Amaira?" Suaranya yang lembut dan menyegarkan itu membuat gadis itu sedikit gugup hingga kemudian terdengar 'Ck!' dengan kesalnya. Ternyata, pria yang menghubungi bukan mencarinya melainkan Cika.
"Mohon tunggu sebentar, Cika ada di sebelahku. Ini kuberikan padanya ya."
Beberapa waktu yang lalu, Maira bergabung dalam klub bernama Movie Nest. Sepertinya, Cika juga bergabung dengan klub itu. Cika tampaknya tidak mencantumkan nomor ponselnya dalam formulir pendaftaran sehingga mereka menghubungi Maira yang adalah teman satu angkatannya.
"Nomor yang bisa dihubungi? Ah, baiklah ... nol delapan ...." Karena Cika mengecilkan suaranya, para lelaki yang dikuasai instingnya itu pun melebarkan telinga bagaikan Sommers untuk mendengarkan suara Cika dengan teliti dalam keheningan. Entah kenapa, daerah sekitar meja bagaikan dialiri keheningan yang aneh dan yang terdengar hanya suara Cika yang sedang membacakan nomor ponselnya.
Mereka mendadak serius menajamkan telinga seolah kesulitan mendengar dan terlihat seperti sedang mengulurkan pena dan memo sambil memohon Cika menuliskan nomor ponselnya. Namun, suasana itu tiba-tiba berubah. Bahkan, Maira pun berpikir kalau ada kesalahan dalam pendengarannya.
"Enam sembilan enam sembilan. Baiklah, sampai ketemu besok." Cika mengakhirinya dengan ramah. Sembari tersenyum lebar ia pun berkata pada Maira, "Mereka bilang besok adalah pesta penyambutan anggota baru, Kakak juga diajak datang. Omong-omong, aku tidak tahu kalau Kakak juga bergabung dengan klub itu."
Berbeda dengan pakaian yang dikenakannya, Cika adalah pribadi yang ramah dan lemah lembut. Teman-teman satu angkatan yang lainnya memanggil Maira 'kakak' untuk sekadar formalitas, tetapi menggunakan bahasa santai terhadapnya. Meskipun demikian, Cika tetap menggunakan bahasa sopan terhadapnya. Sejujurnya, Maira merasa tidak nyaman dengan bahasa sopan itu. Terlebih lagi di tempat perjodohan seperti ini, ia tampak seperti seseorang yang jauh lebih tua dan merupakan penjaga dari gadis-gadis itu.
Entah ini keberuntungan atau kesialan, pria-pria yang ada di hadapannya itu lebih tertarik pada hal yang lain ketimbang mempertanyakan usia Maira yang para gadis itu panggil 'kakak' berulang kali.
"Apa benar nomornya enam sembilan enam sembilan?" ujar pria berkacamata yang tampak menakutkan, jelek, dan berperawakan kasar, tetapi tampak seperti keturunan kedua dari keluarga ningrat itu. Dengan polosnya, Cika menoleh ke arah pria itu dan mengangguk. Seketika itu juga Maira menahan tawa, dan senyuman aneh pun muncul dari para pria yang duduk di hadapannya. Cika dan kedua gadis lain masih belum bisa memahami situasi itu dan hanya menunjukkan ekspresi bingung.
Sepertinya, para pria merasa lucu akan tingkah para gadis itu sehingga mereka menaikkan nada suaranya dan dengan bangga berkata, "Wah, sangat mudah untuk diingat ya. Enam sembilan enam sembilan... nomor itu bukan nomor yang bisa didapatkan oleh semua orang lho."
"Hahaha! Apa kau menyogok penjualnya ketika membeli ponsel itu? Dulu aku berkali-kali memohon untuk mendapatkan nomor seperti itu, tapi tidak diberikan juga lho."
"Hmm, benar-benar nomor yang bagus, enam sembilan enam sembilan. Jaga nomor itu baik-baik. Mungkin kelak kau bisa menjualnya dengan harga mahal."
Para pria itu tertawa terkekeh-kekeh sembari berkata macam- macam. Namun, Cika yang tidak tahu apa-apa tentang itu membelalakkan matanya yang berlensa kontak sembari berkata, "Apa nomor ini sebagus itu?"
Para pria itu tampak berusaha keras untuk menahan rasa geli akan ucapan Cika. Seolah mengerti akan kepolosannya, mereka pun terus membicarakan hal yang hanya mereka saja yang tahu apa maksudnya.
"Tentu saja. Ditulis juga gampang kan? Enam sembilan enam sembilan."
"Aku juga sangat ingin melakukan enam sembilan enam sembilan. Dek Cika, mau tidak melakukan enam sembilan enam sembilan denganku?" Seketika, meja kami pun dipenuhi pembicaraan mengenai 69. Mereka pun semakin menjadi-jadi dan keasyikan setengah mati begitu melihat para gadis yang lain memiringkan kepala mereka karena masih belum mengerti juga.
Melihat situasi sudah seperti ini, Maira tidak bisa tinggal diam dan hanya menjadi penonton. Sebelumnya ia memang mengatakan bahwa golongan darah A yang penakut sepertinya sangat benci untuk tampil di hadapan orang lain. Lagi pula, ia tidak memiliki kedekatan khusus dengan Cika. Namun, karena cara para pria itu merendahkan kaum wanita sangat tidak menyenangkan, ia memutuskan untuk angkat bicara. Mereka bertingkah seolah hal-hal seperti itu hanya diketahui oleh mereka dan membanggakan bagi mereka.
"Tunggu dulu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments