Nuka, siswa ceria yang selalu memperhatikan Aile, gadis pendiam yang mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Nuka menawarkan payungnya, berharap bisa melindungi Aile dari dinginnya rintik air. Suatu hari, di bawah payung itu, Aile akhirnya berbagi kenangan masa lalunya yang penuh luka, dan hujan pun menjadi awal kedekatan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aolia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang kekhawatiran
Lapangan basket sore itu dipenuhi dengan teriakan teman-teman Nuka yang semangat mendorong bola, tapi bagi Nuka, semua suara terdengar seperti dengung jauh yang tidak jelas. Kakinya bergerak secara otomatis, mencoba mengikuti irama permainan, namun pikirannya terperangkap dalam bayangan terakhir yang ia lihat di rumah sakit—pertengkaran Aile dengan keluarganya.
“Ayo, Nuka! Fokus!” teriak salah satu temannya dari pinggir lapangan. Nuka hanya mengangkat tangan, berusaha tampak normal, meskipun di dalam, pikirannya terasa berat. Bola basket memantul di depannya, namun seketika itu juga ia melewatkannya, gagal menangkap umpan yang datang tepat ke arahnya.
“Seriusan, bro? lu lagi nggak fokus ya?” Tanya Reno, salah satu teman satu geng Nuka, yang biasa ceria tapi kini menatap Nuka dengan kebingungan.
“Sorry,” jawab Nuka singkat, mengusap keringat di dahi meski udara sore itu tidak terlalu panas. Ia tahu alasan sebenarnya: pikiran tentang Aile dan keluarganya yang masih memenuhi kepalanya. Kejadian di rumah sakit itu membuatnya terus bertanya-tanya, terutama setelah melihat bagaimana Aile pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Namun, sekarang Aile sedang ikut olimpiade, dan Nuka hanya bisa menahan kekhawatirannya. Tidak ada cara untuk mengejar atau menanyakan langsung—ia harus menunggu Aile kembali.
Permainan berakhir, dan Nuka tidak ingat kapan terakhir kali ia bermain seburuk ini. Setiap kesalahan yang dibuatnya di lapangan hanya menambah frustrasi. Ia menghempaskan tubuhnya ke bangku di tepi lapangan, mengambil handuk kecil yang sudah lembap oleh keringat. Pikirannya terus terbang ke Aile.
“Kamu ngelamun terus, Nuka,” suara lembut namun ceria menyapa di sebelahnya. Cewek yang menyukainya, Dinda, duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan senyum khasnya yang selalu cerah. “Ada apa? Biasanya kamu jago banget di lapangan.”
Nuka hanya menggeleng pelan, tidak benar-benar ingin berbicara. “Nggak ada apa-apa, Din.”
“Oh ya? Kalau mau cerita, aku di sini,” lanjut Dini dengan ceria. Tapi Nuka hanya tersenyum kecil, terlalu lelah untuk menjelaskan apapun. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah menunggu Aile kembali.
***
Sore itu, langit mulai berubah menjadi warna jingga ketika Nuka sedang duduk di depan kelas, menunggu Aile selesai olimpiade. Hatinya masih gelisah, tapi ia tahu dia harus bertemu Aile. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai tak sabar, sampai akhirnya ia mendengar langkah kaki yang dikenalnya.
Aile, dengan tas punggung tersampir di bahu dan wajah sedikit lelah, muncul di pintu gerbang sekolah. Tatapannya bertemu dengan Nuka, dan untuk sesaat, ada kilatan kelegaan di wajah Nuka.
“Hai,” kata Nuka, berdiri dan berjalan menghampiri Aile.
“Hai,” balas Aile pendek. Matanya masih menyimpan sisa-sisa kelelahan dari olimpiade yang ia ikuti, tapi ada sedikit kehangatan di dalamnya, seakan ia juga merasa lega bisa kembali.
“Gimana olimpiadenya?” Nuka bertanya, meski bukan itu yang sebenarnya ingin ia tanyakan.
“Capek. Tapi ya, berjalan lancar,” jawab Aile sambil sedikit mengangkat bahu. Dia berhenti sejenak, kemudian bertanya, “Kamu nggak main basket sore ini?”
“Aku main, tapi... nggak terlalu bagus,” Nuka tertawa kecil, meskipun ia tahu alasannya jauh lebih dari sekadar permainan yang buruk. “Ayo, aku antar pulang,” tambahnya sambil meraih helm cadangan yang selalu ia bawa di motornya.
Mereka berjalan menuju tempat parkir, dan selama perjalanan itu, keheningan menutupi mereka. Namun, bukan keheningan yang canggung—melainkan keheningan yang dipenuhi oleh pikiran masing-masing. Nuka mengulurkan helm kepada Aile, yang menerimanya tanpa banyak bicara. Mereka naik ke motor, dan dengan mesin yang menderu lembut, mereka meninggalkan sekolah.
Angin sore menyapu wajah mereka saat motor melaju di jalan-jalan kecil yang biasa mereka lalui. Nuka sesekali melirik Aile melalui kaca spion, ingin menanyakan sesuatu tentang kejadian di rumah sakit, tapi bibirnya seakan terkunci. Ketika mereka hampir sampai di rumah Aile, Nuka akhirnya berbicara.
“Aile...” panggilnya pelan, cukup pelan hingga Aile harus sedikit menggeser tubuhnya agar bisa mendengar lebih jelas.
“Hm?”
Nuka menelan ludah. “Aku nggak bisa berhenti mikirin apa yang aku lihat di rumah sakit waktu itu. Kamu... baik-baik aja, kan?”
Aile tidak langsung menjawab. Motor terus melaju, suara angin dan deru mesin menjadi satu-satunya suara yang terdengar selama beberapa detik. Akhirnya, Aile menarik napas panjang, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya.
“Ngga ada yang benar-benar baik-baik aja, ka,” jawabnya, nada suaranya datar namun penuh makna. “Tapi itu bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan.”
“Tapi aku memang khawatir,” potong Nuka, nadanya sedikit lebih kuat dari yang ia maksudkan. “Aku nggak suka ngeliat kamu kayak gitu. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aile diam lagi, tapi kali ini dia tampak lebih siap untuk berbicara. “Kamu lihat kucing liar yang waktu itu sering berkeliaran di depan rumahku?”
Nuka mengangguk, meskipun Aile mungkin tak bisa melihatnya.
“Ibuku benci kucing,” lanjut Aile dengan suara yang lebih tenang. “Dia nggak suka hewan di rumah, apalagi kucing. Suatu hari, dia memutuskan untuk membuang kucing itu jauh dari rumah. Aku tahu itu cuma kucing, tapi...” Aile berhenti, menarik napas sejenak. “Itu salah satu hal yang buat aku merasa tidak nyaman di rumah. Ada banyak hal lain yang kecil tapi terus menumpuk. Sampai akhirnya semua terasa terlalu berat.”
Nuka mendengarkan dalam diam, perasaannya berkecamuk. Ia mengerti bahwa masalah Aile lebih dalam daripada yang tampak di permukaan. Kucing liar itu hanyalah satu dari sekian banyak tanda dari ketidaknyamanan yang lebih besar di rumahnya.
"Nanti kalo nemu kucing yang kamu suka lagi, aku aja yang jagain, aku bisa bawa dia kapan pun kamu mau" ucap nuka membuat aile mengangguk"
“Aile...” kata Nuka pelan setelah beberapa saat. “Kamu nggak harus sendiri ngadepin semua ini. Aku ada di sini.”
Kali ini, giliran Aile yang tersenyum, meskipun Nuka tidak bisa melihatnya dengan jelas. “Terima kasih, Nuka. Aku tahu.”
Mereka tiba di depan rumah Aile. Motor berhenti perlahan, dan Aile turun dari motor dengan gerakan lembut, masih menyimpan sesuatu yang tidak terkatakan. Nuka menunggu sejenak, berharap Aile akan mengatakan lebih banyak, tapi gadis itu hanya memberikan helmnya kembali dan mengucapkan terima kasih singkat.
“Besok ketemu lagi?” tanya Nuka sebelum Aile masuk ke dalam rumah.
Aile mengangguk. “Iya. Sampai besok, Nuka.”
Saat Aile melangkah masuk, Nuka hanya bisa berdiri di depan gerbang rumahnya, merenungkan semua yang baru saja mereka bicarakan. Kucing liar, konflik kecil yang mengungkapkan sesuatu yang lebih besar, dan bagaimana Aile menyimpan banyak hal sendirian. Satu hal yang jelas, Nuka tahu ia tidak akan membiarkan Aile melewati semuanya sendirian.