NovelToon NovelToon
Tepat Tujuh Belas

Tepat Tujuh Belas

Status: tamat
Genre:Teen / Horor / Romantis / Tamat / cintamanis / Kumpulan Cerita Horror / hantu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Biru Taro

Kamalla adalah siswi SMA biasa pada umumnya. Hidup dengan keluarga yang sederhana, memiliki dua sahabat baik, dan juga pacar yang cukup populer bernama Radhit.

Meski hubungan keduanya sering kali diusik oleh mantan dari kekasihnya yang bernama Monik, baginya hal itu bukan sebuah masalah besar.

Namun masalah lain kerap datang bergantian ketika usianya tepat tujuh belas tahun. Mulai dari hubungannya yang kandas dengan sang pacar, sahabat, bahkan terror mengerikan dari sosok tak kasat mata.

Tentu saja hal itu menjadi tanda tanya besar di kepalanya. Apakah semua ini ada hubungannya dengan mantan dari kekasihnya? Apa mungkin secara tak sadar ada kesalahan yang dia perbuat? Atau ada hal lain dibalik semua kejadian ini?

[Karya pertama bergendre horror romantis]

-Biru Taro-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biru Taro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hantu Pak Tua [Delapan]

Langit malam itu tak seperti malam-malam sebelumnya. Rembulan terlihat bulat sempurna menampakkan cahaya putih kemerahan seolah merestui kegiatan tiga anak muda di bawahnya.

Setelah memastikan Ibunya terlelap dan Bara memarkirkan motor di lorong rumah, Kamalla mengangguk memberikan isyarat kepada dua rekannya bahwa kegiatannya akan segera di mulai.

Bara memimpin jalan dengan pandangan awas sementara dua gadis itu mengekor di belakangnya.

"Mba, naik duluan. Biar saya belakangan," titah Bara dengan intonasi suara rendah. Laki-laki itu lantas membungkukan tubuhnya. Tanpa babibu, Kamalla menjadikan bahu Bara sebagai tumpuan untuk memanjat gerbang setinggi satu setengah meter itu. Setelah Kamalla berhasil masuk ke area carport, Jenny melakukan hal yang sama lalu disusul Bara.

"Jenny! Nanti aja!" gerutu Kamalla ketika mendapati sahabatnya itu menyalakan senter. Jenny mematikan kembali senternya.

"Cuma tes. Nggak lucu 'kan kalau sampai dalam ternyata senternya nggak nyala."

Kamalla mendengus sebal.

"Lagian apa yang lo mau cari sih La di tempat kayak gini?"

"Gue akan kasih tahu setelah ini selesai."

Bara kembali memimpin kegiatan itu. Kedua matanya menyapu setap sudut hingga ke langit-langit atap kanopi untuk memastikan tidak ada cctv yang terpasang di sana. Perlahan dia menekan handle pintu itu.

Ctek!

Bara menoleh tak percaya ke arah Jenny dan Kamalla. "Nggak dikunci."

Tanpa aba-aba lagi, mereka merangsek masuk ke dalam rumah yang gelap gulita itu dan mulai menyalakan senter masing-masing. Beberapa detik kemudian pintu yang menghubungkan carport dan dapur itu tertutup dengan sendirinya.

"Jangan ada yang nyalain lampu," ujar Bara ketika melihat Jenny mengarahkan lampu senternya ke sakelar yang terpasang di sudut ruangan.

Dari dapur mereka bertiga berjalan ke arah ruang tamu. Disana tampak barang-barang seperti sofa dan meja yang diselimuti kain putih.

"Mba kenal sama meraka?" tanya Bara sambil mengarahkan senter ke arah deretan bingkai foto yang terpajang dinding. Di foto itu tergambar sepasang suami istri dengan seorang anak laki-laki kisaran usia tiga atau empat tahun.

"Nggak. Kalau foto itu diambil tahun dua ribuan, mungkin Ibu kenal." ujar Kamalla. Laki-laki itu hanya mengangguk dan kembali memperhatikan setiap bingkai foto yang terpajang di sana.

"Jen?" ujar Kamalla pelan ketika pandangan gadis itu dialihkan oleh sosok Jenny yang semula mengekor di belakangnya kini tengah berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Beberapa kali Kamalla memanggilnya, namun Jenny terus berjalan sampai di ujung tangga tanpa menoleh sedikitpun.

Sesampainya di anak tangga terakhir, Kamalla kehilangan jejak sahabatnya. Cahaya senter itu mulai dia arahkan ke setiap sudut ruangan dan tiga pintu kamar yang tertutup rapat. Nihil. Ruangan lantai dua itu benar-benar kosong dan sunyi, hanya ada sebuah jam bandul yang terbuat dari kayu jati tua berukuran besar berdiri menghadap tepat ke arahnya.

"Jenny..." panggil Kamalla sambil terus mengarahkan cahaya senternya ke setiap area. Sampai tiba-tiba pintu kamar bagian tengah terbuka dengan perlahan.

KREEET!

"Jen?" ujar Kamalla perlahan sambil mendekati pintu kamar yang setengah terbuka itu. "Jenny?"

Sambil berusaha mengumpulkan keberanian, Kamalla membuka pintu kamar itu dan mulai mengarahkan senternya ke dalam. Di sana tampak sebuah dipan berukuran besar. Di ujung dipan itu berdiri sebuah meja rias dengan cermin berukuran besar lengkap dengan kursi kayu jati di depannya.

Entah apa yang merasuki Kamalla, namun instingnya menuntun untuk mendekati meja rias itu. Gadis itu mulai menelusuri tiap jengkal dari benda tua itu, perlahan dia membuka satu demi satu laci yang ada di sana. Hanya ada beberapa lembar kertas, sampai pada akhirnya sebuah buku tebal berhasil menyita perhatiannya. Sedetik kemudian gadis itu menyadari bahwa benda itu merupakan album foto.

Kamalla meletakkan album itu di atas meja rias lalu menyorotinya dengan cahaya senter. Perlahan gadis itu mulai menyibak lembar demi lembar album itu. Di sana tampak beberapa foto keluarga yang dia lihat bersama Bara ketika di lantai satu. Ada foto seorang anak laki-laki yang tampak riang sedang memandang bayi di sampingnya. Lembar berikutnya terdapat satu buah foto berisikan keluarga itu lagi dan seorang wanita muda yang sedang menggendong bayi, kali ini foto itu menyita perhatian Kamalla untuk beberapa waktu. Sedetik kemudian gadis itu mengeluarkan lembar foto itu dari album dan mengantonginya di tas selempang yang dia kenakan.

"Pergi..."

Tubuh Kamalla mendadak kaku diiringi dengan degub jantung yang semakin cepat ketika mendengar suara laki-laki yang berasal dari balik tubuhnya. Suara itu terdengar berat dan serak.

"Pergi!" kali ini suara itu terdengar meninggi.

Nafas gadis itu mulai tak karuan. Perlahan dia menoleh ke arah cermin di hadapannya. Dari pantulan cermin itu hanya tampak dipan kosong berlapis kain putih, tak ada seorangpun di sana.

Kamalla kembali mengumpulkan keberanian, kali ini dia memutar tubuhnya menghadap dipan itu. Napasnya tercekat ketika dia mendapati sosok pria tua berperawakan gemuk sedang bersandar di kepala dipan. Hal yang membuat Kamalla tak berkutik adalah wujud dari sosok itu amat sangat mengerikan. Pria tua berambut putih itu tampaknya tidak senang dengan kedatangan Kamalla. Kedua bola matanya tampak nanar, di lehernya terdapat luka sayatan yang menganga, sementara tubuhnya yang dibalut piyama itu tampak berlumuran darah.

"Pergi dari rumah saya!"

Teriakan pria itu menggema seisi ruangan. Detik itu juga Kamalla mengambil langkah seribu. Dengan cepat gadis itu berlari menuruni tangga.

"Jen! Bara!" teriak Kamalla ketika sampai di lantai bawah. Namun tak ada seorangpun di sana. Tanpa basa-basi lagi, Kamalla kembali berlari sampai pada akhirnya tiba di carport. Ternyata Jenny dan Bara sudah menunggunya disana.

"Lo kemana sih?" tanya Jenny panik.

Kamalla diam sejenak dan mulai mengatur kembali ritme napasnya. "Kita pergi sekarang! Nanti gue ceritain."

...****************...

Setelah kejadian itu, mereka kembali berkumpul di teras rumah Kamalla. Gadis itu menceritakan semuanya dari awal dia melihat sosok Jenny sampai akhirnya mereka kembali bertemu di area carport.

"Untung lo nggak dimakan sama Pak Tua itu," ujar Jenny geram. "Udah gue duga akan kayak gini akhirnya. Ngeyel sih."

"Padahal kita udah cari Mba ke lantai dua tapi semua ruangan dikunci, kita kira Mba udah keluar, makanya kita mutusin buat nyari Mba di luar," sahut Bara. "Tapi Mba beneran nggak apa-apa 'kan?"

Gadis itu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok."

"Tapi muka lo masih pucat banget sejak lo keluar dari sana," sambung Jenny.

"Gue cuma masih kepikiran, siapa Pak Tua itu?" kata Kamalla seraya menatap dua orang di hadapanya. "Dari semua foto yang ada disana, nggak ada satupun foto yang isinya Pak Tua itu."

"Kalau lo mau nyari tahu soal Pak Tua itu, gue nggak mau ikut-ikutan lagi deh La. Kapok gue." Jenny mendengus sambil meletakkan senter di atas meja.

"Saya siap ban--" Bara tidak jadi melanjutkan kata-katanya ketika menyadari ada tatapan nanar kearahnya dari Jenny yang tengah duduk di kursi rotan.

Kamalla tersenyum geli melihat raut wajah laki-laki di hadapannya kemudian merogoh sesuatu dari saku tasnya. "Gue nemu ini di lantai dua," lanjutnya sambil meletakkan secarik foto di atas meja.

Kedua orang di hadapannya lantas mendekat dan memperhatikan foto itu.

"Ini Ibu lo 'kan, La?" tanya Jenny.

"Kalau yang ini pasti Pak Dirga," sahut Bara. "Ini istrinya, ini anaknya, kalau yang ini pasti Kamalla."

Jenny memutar kedua bola matanya. "Kalau nebak-nebak gitu gue juga bisa."

"Saya belum selesai."

"Apa?"

"Apa mungkin Pak Tua yang Mba maksud itu adalah orang yang ngefoto?"

Mendengar ucapan Bara, kedua gadis di hadapannya itu saling bertukar tatap. Sedetik kemudian Kamalla bergidik ngeri. Sekujur tubuhnya merasakan merinding lantaran kembali mengingat wujud dari hantu Pak Tua itu.

"Kenapa La?"

"Selain Ibu dan bayi yang ada digendongannya, gue nggak kenal siapapun yang ada di foto ini." Kamalla menatap kedua orang dihadapannya bergantian. "Tapi yang gue tahu dari Ibu, pemilik rumah yang namanya Pak Dirga dan sekeluarganya mendadak pindah dan ngebiarin rumah itu kosong bertahun-tahun."

"Terus?"

"Soal Pak Tua dan luka sayatan di lehernya," Kamalla menggigit bibir bawahnya. "Apa mungkin?"

"Maksud lo Pak Dirga-Dirga itu pembunuhnya?"

"Mungkin," sambung Bara. "Apalagi mereka pindah begitu aja."

Kamalla mengangguk.

"Terus soal foto ini," lanjut Kamalla. "Beberapa hari lalu, gue sempat mimpi ngelihat seseorang menggendong bayi. Mukanya nggak begitu jelas, tapi kain jarik yang dipakai buat gendong bayi itu persis kayak yang Ibu gue pakai buat gendong gue di foto ini."

"Kayaknya semua Ibu-Ibu di Indonesia pasti punya gendongan kayak gitu deh, La."

"Tapi gue yakin Jen kalau kain gendongan itu mirip banget motifnya, sama malah."

"Terus apa rencana Mba sekarang?" tanya Bara.

"Gue ngerasa ada sesuatu yang Ibu gue sembunyiin," balas Kamalla. "Sesuatu yang disembunyiin, nggak mungkin kalau nggak penting."

"Terus hubungannya sama keluarga dari rumah kosong itu apa La?" tanya Jenny.

"Nah itu! Itu yang harus dicari tahu!" sahut Bara.

"Gue nggak nanya sama lo ya!"

"Benar Jen kata Mas Bara. Gue harus cari tahu soal keluarga Pak Dirga, pasti mereka tahu soal Ibu gue, bahkan Pak Tua itu."

"Setelah kejadian barusan, lo masih yakin mau berurusan sama hal kayak gini?"

"Yakin Jen."

"Saya juga yakin." sahut Bara. Jenny kembali menatap pemuda itu dengan mata nanar.

Bersambung...

1
Diodi
nyesek bgt
Diodi
wkwkwk
Diodi
maraton baca. seru bgt bikin penasaran. tolong lanjut thor!!
birutaro: Makasih ya. Stay tune terus hehe
total 1 replies
Epitangdiampang
seru
birutaro: Makasih ya udah mampir. Ditunggu kelanjutan kisahnya..
total 1 replies
Mata Peña_✒️
jadi pasang 3?!..
Andini Andana: siyap2 disamperin u Thor 🤣🤣🤣
birutaro: Selama orangnya gak kesini, gak bakalan tau dia wkwk
total 10 replies
Rey
gagal modus mu ya Radhit 😁
Rey
manis banget kamu Radhit😊
birutaro: Makasih ya udah mampir. Ditunggu update selanjutnya.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!