Penyesalan memang selalu datang terlambat, itulah yang dialami gadis cantik bernama Clara.
Efek mabuk dan ketampanan seorang pria bernama Dean, ia sampai kehilangan kesuciannya di malam itu dan mengandung.
Ia tak punya pilihan lain selain harus menikah kontrak dengan Dean.
Saat Clara berharap akan cinta Dean, masa lalu Dean terus mengganggunya.
Apakah ia bisa menggantikan posisi wanita pengisi hati Dean pada akhirnya?
Atau semuanya akan berakhir sesuai tanggal batas akhir kontrak pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xoxo_lloovvee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Pikiran Dean kalut. Amplop uang itu ada di mobilnya. Ia harus mengembalikan uang itu secepatnya. Ia tak ingin berutang apa pun dengan Edho.
Ia tak senang Edho mengusik kehidupan barunya. Kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lalu masih terekam jelas dalam ingatannya. Dean tak ada niatan untuk memaafkannya.
"Kamu kenapa?" tegur Felix yang mengejutkannya. Ia sampai tak sadar bos sekaligus teman baiknya itu memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi. "Ada masalah?"
"Aman aja kok."
Felix mengangguk. Ia tahu Dean sedang memikirkan sesuatu. Dean memang jarang mengutarakan masalah apa yang ia hadapi. Ia lebih banyak bergumul dengan isi kepalanya sendiri. Jika masalah itu terlalu berat barulah Dean akan curhat pada dirinya dan Abad. Dibantu dengan alkohol.
"Oh, iya, apakah kau bisa melakukan sesuatu pada Abad?"
"Memangnya Abad kenapa?" tanya Dean. Ia jarang bertemu dengan Abad karena shift mereka berbeda.
"Dia terus-terusan galau. Tak semangat. Aku sampai kasihan padanya. Kau tahu sesuatu?"
Dean terdiam. Tentu ia tahu sesuatu. Hubungan Abad dan Gina memburuk dengan libur panjang ini. Abad tak punya kesempatan menjelaskan dirinya pada Gina. Dan Gina masih menganggap Abad sebagai pemain wanita.
"Aku akan berbicara padanya nanti." Dean berjanji.
"Baiklah kalau begitu."
"Felix, tunggu!" Dean menghentikan Felix yang sudah berbalik siap melangkah pergi.
"Ada apa?"
"Aku izin siang ini. Ada sesuatu yang harus aku lakukan."
"Tak masalah." Felix tersenyum.
Dean masih saja bersikap kaku padanya. Padahal mereka teman dekat, bukan sekedar bos dan karyawan. Kadang Felix berharap Dean bersikap seperti Abad yang semena-mena di kafenya. Datang dan pulang sesukanya. Meski menyebalkan itu membuat pertemanan mereka terasa sungguhan. Tapi ia lebih sering berharap Abad bersikap seperti Dean.
Setelah jam makan siang, Dean meninggalkan kafe menuju sebuah tempat. Untungnya bos tempatnya bekerja adalah sahabatnya jadi memperbolehkannya pergi seperti ini.
Mobilnya terus melaju di jalanan yang padat. Semakin ke pusat kota, semakin lambat ia membawa mobilnya. Hampir tak ada celah untuk dirinya lewati.
Dean berbelok menuju sebuah hotel pencakar langit yang menjulang tinggi. Kemudian memarkirkan mobilnya di parkiran hotel bintang 5 itu. Ia mengambil handphonenya dan memencet nama seseorang yang ia blokir. Ia membuka blokir dan menelponnya.
Suara berdering terdengar. Ia mencobanya beberapa kali namun tetap tak ada jawaban apapun dari ujung sana.
"Si*lan," Dean mengumpat kesal.
Ia tak habis akal. Ia melangkah menuju bagian resepsionis. Ia menghampiri salah satunya yang sedang tidak terlihat sibuk. Wanita bagian front line menyambutnya dengan ramah.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya sambil merekahkan senyuman ramah. Wanita itu masih muda, mungkin seumuran dengan Dean.
"Bisa hubungi Edho Eriano? Katakan ada Dean Fernando menunggu," ucap Dean tanpa basa basi.
Wanita itu tak serta merta mengikuti yang Dean ucapkan. Ia mengamati Dean dengan seksama, yakin ia tak mengenal pria ini.
"Maaf tuan, apakah sebelumnya sudah ada janji temu?" tanya wanita itu.
"Aku tak membutuhkannya. Tolong segera hubungi Edho," perintah Dean.
"Maaf tuan, saya tidak bisa. Kecuali ada janji temu."
Percuma. Tak peduli dengan alasan apa yang Dean berikan, ia tak akan menghubungi Edho untuknya. Dean melangkah pergi dari bagian resepsionis. Ia terpaksa harus pergi menemui Edho di kantornya.
Dean tahu di mana letak kantor manajemen hotel. Berada di lantai pertama di bagian paling belakang. Dean terus berjalan lurus sampai ada yang menahannya. Seorang bagian keamanan menariknya.
"Maaf tuan, Anda tidak boleh masuk ke bagian kantor." Pria tinggi besar itu mencegatnya.
"Karena itu, tolong panggilkan Edho untukku." Kesabaran Dean sudah habis menghadapi orang-orang ini.
"Baik tuan, saya akan menyampaikannya pada tuan Edho, tapi Anda harus menunggu di lobi."
"Saya butuh cepat. Jika dia tidak keluar dalam sepuluh menit, maka saya akan memaksa masuk." Dean mempertegas dirinya.
"Maaf tuan, jika Anda terus melawan, kami terpaksa akan memanggil pihak otoritas ke sini. Jadi tolong perhatikan sikap Anda di sini sebelum kami mengusir keluar."
Dean melotot marah. Ia tampaknya dianggap sebagai pengganggu. "Baiklah." Dean menyerah. Tak ingin membuat masalah.
"Deannn!" panggilan itu membuat Dean dan petugas keamanan menoleh ke sumber suara. Verona setengah berlari ke arah Dean dengan senyuman lebar. Ia senang bukan kepalang melihat sepupunya itu. Ia baru bertemu Edho di kantornya dan tak menyangka akan bertemu Dean di sini.
"Bagus kau di sini." Tak memedulikan larangan security, Dean menarik Clara menuju bagian kantor.
"Tuan tunggu," security itu memegang tangan Dean erat, tak akan meloloskannya.
"Hei, lepaskan tangan kotormu itu!" bentak Verona.
Security yang mengenal siapa Verona langsung melepaskan tangannya dari Dean. Semua pegawai tahu siapa Verona karena akhir-akhir ini ia bolak balik mengunjungi Edho Eriano, asisten manajer bagian pemasaran yang juga adalah pewaris tunggal hotel Eriano ini.
Ia menatap punggung Dean dan Verona yang meninggalkannya dalam kebingungan. Sepertinya ia membuat masalah pada saudara pemilik hotel. Keringat dingin mengalir di dahinya.
"Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini? Kan kita bisa bareng." Verona mengait lengannya pada Dean. Jika ada yang melihat mereka saat ini, maka tebakan pertama adalah mereka sepasang kekasih.
Meski Verona bersifat kasar dan tegas, bagi Dean ia adalah adik kecil yang manis. Usia mereka hanya terpaut beberapa bulan. Verona yang merupakan anak bungsu dari keluarga besar Dean membuatnya sedikit manja pada mereka, terutama Dean.
Dean hanya diam saja tak ingin membalas Verona. Ia marah pada Verona yang malah membawa Edho ke rumahnya.
"Itu apa?" Mata Verona tak sengaja melihat dua amplop yang dipegang Dean. Ia menghentikan langkahnya, diikuti oleh Dean.
"Menurutmu ini apa?" Dean memberi pertanyaan. Mengangkat dua amplop itu.
"Dean... Aku tak mengerti..." Verona tergagap.
"Bukankah sudah ku bilang jangan menggangguku dan Clara?" Dean menatap Verona. Verona seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri.
"Apa perempuan rendahan itu yang mengatakannya padamu? Aku membencinya..."
"Verona!" Dean meninggikan suaranya. Verona sampai terkejut. "Aku tak ingin membencimu, jadi kumohon berhenti. Dan jangan pernah menghina atau mengganggu Clara lagi. Mengerti?"
Verona mengangguk pelan. Matanya berair, ia menahan tangisnya agar tak mengalir deras. Dean jarang marah besar padanya.
Dean yang merasa bersalah membentak Verona, mengusak rambut Verona. "Maaf ya," ucapnya dengan nada lembut.
"Hei, jangan usik rambutku," Verona mengeluh, merapikan rambutnya yang berantakan oleh Dean. Dean tersenyum karena ia senang mengganggu Verona.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju kantor Edho. Verona baru saja dari sana dan sekarang harus kembali. Ia sama sekali tak tahu bahwa kedua sepupunya itu tak akur.
semangat kak author...
buat yang udah baca,,,, mohon like ya....
jangan lupa komentar juga, supaya kaka author nya semangat untuk berkarya....
kasihan Clara yang baru aja kehilangan bayinya...
aduuh aku kok jadi ikutan nangis gini Thor
huhuhu
jadi cemburu kan sih Clara 😁