Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Boneka 1
Bab 8. Boneka 1
POV Lastri
Kok tidak ada?! Padahal tadi pagi aku melihat Diah memainkan boneka itu di ruang tamu dan meletakkannya di kursi sebelum berangkat ke sekolah.
Aku pun mencari ke sana dan kemari boneka Diah yang ku yakini ada di ruang tamu. Tapi tetap saja, boneka itu tidak aku temukan. Tidak puas mencari di ruang tamu aku juga mencari di kamar Diah juga di kamar ku, bahkan sampai ke dapur. Namun tetap saja boneka itu tidak bisa aku temukan.
Ku tatap wajah sendu anakku. Hatiku pilu melihat wajah sedihnya. Aku tahu boneka itu sangat berharga baginya. Boneka pertama hadiah dari Mas Hendra, ayahnya.
"Diah suka boneka itu?"
Diah menganggguk tanpa berkata apa-apa.
"Apa mau Ibu belikan yang sama seperti boneka dari Ayah?"
Mata Diah berkaca-kaca. Ia menunduk tanpa bicara.
Sudah pasti hatinya terluka jika sampai boneka hadiah dari ayahnya itu benar-benar hilang. Sungguh, hatiku pedih, tidak tega aku melihat wajah anakku.
Diah berlalu tanpa suara menuju kamarnya. Ia menutup kepalanya dengan bantal. Perlahan mulai terdengar isak tangis dari bawah bantal, tubuhnya pun bergetar karena sesunggukan.
Aku membuang napas berat, meremas dadaku yang sesak melihat pemandangan itu.
"Triiing...! Triiing...!"
Dering handphone mengalihkan perhatianku. Aku pun mengambil gawaiku dan melihat siapa yang menelpon. Rupanya ibu mertuaku yang menelpon.
"Assalamualaikum, Bu...."
"Lastri, kamu sudah pulang?"
"Iya Bu, aku sudah di rumah sekarang."
"Cepat kamu kesini dan masak! Ibu laper belum makan siang."
"Iya Bu."
Telpon pun di tutup lebih dulu dari ibu mertua. Aku pun menghela napas berat.
Perlahan ku dekati anakku dan duduk di tepi tempat tidurnya.
"Diah, Ibu mau ke rumah Nenek. Nenek barusan nelpon, meminta Ibu untuk ke sana."
Ku usap dengan lembut punggung anakku yang tidak bersuara. Diah pun melepaskan bantal dari kepalanya. Matanya sembab, wajahnya basah oleh air mata bercampur keringat.
Ku usap lembut pipinya, merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Diah mau ikut kerumah Nenek?"
Diah mengangguk dalam tunduknya. Aku tahu ia tidak ingin kesana. Tapi ia juga tidak ingin di tinggal sendiri disini. Kasihan anakku...
Jika saja keluarga Mas Hendra mau menyayangi Diah seperti menyayangi Dion dan Marla, tentu Diah akan senang hati kalau di ajak ke rumah ibu mertua.
"Ayuk..."
Perlahan Diah pun bangun, dan mengikuti langkahku sambil menggenggam tangan ku. Aku pun mengunci pintu, lalu berjalan menuju rumah ibu mertua.
"Assalamualaikum..."
"Lastri, bersihkan ikan terus goreng! Lalu tumis sayur kangkung jangan lupa buat sambal! Goreng juga tahunya!"
Bukannya menjawab salam, ibu mertua langsung memberi perintah begitu melihat aku muncul di depan pintu.
Ku lihat mbak Tatik duduk dengan santainya sambil bermain hape di dekat anak-anaknya. Dion bermain mobil-mobilan sedangkan Marla duduk memunggungi ku, asik dengan mainannya sendiri.
Aku berlalu begitu saja, karena sepertinya mbak Tatik tidak begitu suka akan kedatanganku. Namun Diah sempat berhenti melangkah karena memperhatikan dua sepupunya yang sedang asik bermain.
"Diah..."
Kataku pelan, agar Diah melanjutkan langkahnya. Diah menurut, namun wajahnya begitu menunduk dan terlihat sedih. Diah pasti sedih melihat Dion dan Marla asik bermain tapi ia tidak bisa karena kehilangan boneka yang sudah menjadi kesayangannya.
Diah duduk di kursi menemaniku memasak. Sesekali ia melihat ke arah ruang tamu di mana para sepupunya bermain disana.
Tahu goreng sudah selesai tinggal menggoreng ikan sambil menumis kangkung. Begitu siap aku sajikan semua di atas meja makan.
"Sekarang tinggal bikin sambelnya. Eh loh, Diah mau kemana Nak?!"
Kegiatan masakku terhenti karena Diah tiba-tiba saja berlari menuju ruang tamu. Aku pun mengikutinya dan melihat Diah merampas boneka yang ada di tangan Marla. Aku terkejut melihat prilaku anakku yang tidak biasanya. Marla pun menangis dan mbak Tatik terlihat marah pada Diah.
"Hei Diah! Kamu apa-apa sih main rebut mainan Marla begitu heh?! Dasar anak udik tidak tahu sopan santun!"
"Mbak, jangan Mbak !"
Aku segera menarik Diah dan masuk ke dalam pelukanku. Jika aku tidak segera bertindak, mungkin mbak Tatik sudah mencubit Diah tanpa segan.
"Biar Lastri, biar ku didik anakmu yang kurang ajar itu!"
Aku menutup telinga Diah, agar tidak mendengar kata-kata buruk yang di lontarkan untuknya.
"Mbak, tolong biarkan aku bertanya dulu kepada Diah. Jangan sakiti Diah! Dia masih kecil Mbak?!"
"Ibuuu... Boneka Marla...."
Marla menangis sambil menunjuk ke arah Diah.
Keadaan itu sungguh gaduh sehingga membuat Ibu mertua keluar dari kamarnya dengan wajah kesal.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?!"
"Ini nih Bu, menantu Ibu dan anaknya bikin ngeselin!! Si Diah merebut bonekanya Marla, Bu! Eh, si Lastri malah belain anaknya!"
"Bukan begitu Bu, Mbak. Sebentar, biar aku tanya Diah dulu. Diah kenapa rebut mainan Marla Nak?" Tanyaku dengan lembut.
Diah tidak menjawab. Tetapi, ragu-ragu Diah menunjukkan padaku boneka yang sejak tadi ia dekap.
"Loh ini boneka Diah yang hilang!"
Aku mengenali boneka itu. Rambut berkepang dua berwarna kuning keemasan dengan dress bunga-bunga mawar itu adalah boneka yang diberikan Mas Hendra untuk Diah.
"Enak saja! Ini boneka Marla!"
Mbak Tatik langsung merebut boneka itu kembali dan memberikannya pada Marla. Marla pun senang dan berhenti menangis. Kini Diah yang mulai menitikkan air mata. Kasihan anakku...
"Loh Mbak, kok di kasih ke Marla? Itu boneka Diah Mbak?! Makanya Diah mengambil boneka itu karena dia mengenali bonekanya."
"Halah kamu itu pemborosan Lastri! Boneka mahal begitu kenapa kamu belikan untuk anak seperti Diah?! Tidak cocok. Sudah itu buat Marla saja!" Kata Ibu Mertua.
"Loh, pemborosan? Tapi Bu, boneka itu Mas Hendra yang belikan untuk Diah."
"Jadi kamu memaksa Hendra buat belikan mainan untuk anakmu?!" Tuding mbak Tatik.
"Bukan begitu Mbak. Mas Hendra sendiri yang membelikannya untuk anaknya." Bantah ku.
Mereka seolah-olah tidak puas akan jawaban yang aku berikan sesuai dengan kenyataannya.
"Kamu ini semakin hari semakin ngelunjak Lastri! Sudah, boneka ini biar ibu simpan saja!"
Boneka dari tangan Marla di ambil oleh ibu mertua. Diah memelukku, menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata.
Aku tahu anakku itu kecewa bonekanya di rebut, bahkan di ambil neneknya yang belum tentu akan di kembalikan pada kami.
"Bu, kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Mas Hendra saat dia pulang nanti. Aku permisi! Assalamualaikum..."
Ku ucapkan salam yang belum tentu di jawab oleh mereka. Hatiku begitu sedih, sebegitunya mereka menuduhku sudah bersifat boros. Terlebih lagi hatiku sakit melihat anakku harus menerima kebencian mereka. Aku pun pulang tanpa menyelesaikan pekerjaan yang masih belum selesai.
"Heh Lastri, masak mu sudah selesai belum?! Siapa yang mau masak ini?! Lastri....! Las...! Lastri...!!"
Tidak aku pedulikan ibu mertua yang berseru memanggil namaku. Kaki ku terus melangkah sambil menggandeng Diah dan mengunci pintu rapat-rapat begitu tiba di dalam rumah.
Kali ini aku mencoba tidak peduli jika ibu mertua atau mbak Tatik menggedor pintu rumahku. Karena aku begitu kecewa, ternyata mbak Tatik yang mengambil boneka Diah di rumah ini.
Aku teringat sekilas tadi melihat motor Mas Hendra ada di halaman rumah ibu. Apa jangan-jangan Mas Hendra meninggalkan motornya di rumah ibu dan mbak Tatik dengan leluasa masuk ke rumah ku karena ku tahu kunci motor Mas Hendra bersatu dengan kunci cadangan rumah ini?!
Aku jadi berpikiran buruk terhadap mbak Tatik. Mencurigai dirinya yang memungkinkan mencuri barang-barang di rumahku.
Bersambung...