Tepat Tujuh Belas

Tepat Tujuh Belas

Bertahan [Satu]

"Maaf ya Nak Radhit jadi nunggu lama," ujar wanita paruh baya yang sedang bersiap membuka warung kecil-kecilan di muka rumahnya. Terlihat kedua tangannya masih cekatan membuka papan penutup warung dan mengaitkannya di bagian atas. Laki-laki berstelan putih abu-abu bernama Radhit itu dengan sigap ikut membantu membuka penutup sisi lainnya.

"Nggak apa-apa Bu. Wajar kalau cewek agak lama siap-siapnya," balas Radhit sambil tersenyum.

"Nah ini anaknya," pungkas Rukmi ketika putri semata wayangnya yang bernama Kamalla muncul dari dalam rumah.

Gadis berseragam putih abu-abu bernama lengkap Agni Kamalla Rembayang, atau yang lebih akrab dipanggil Malla atau Kamalla itu tersenyum kepada Ibu dan Radhit seperti pagi-pagi sebelumnya. Setelah selesai mengencangkan kuncir kuda di rambutnya, dia bergegas menyalami Ibunya untuk pamit berangkat ke sekolah begitu pula Radhit.

"Kami berangkat ya Bu. Sarapannya udah aku habisin, piringnya juga udah aku cuci. Habis buka warung, jangan lupa sarapan ya Bu," pesan Kamalla pada Ibunya.

Rukmi hanya mengangguk pelan seraya mengelus kepada putrinya itu. "Hati-hati. Nak Radhit bawa motornya jangan ngebut-ngebut ya."

"Siap Bu. Nggak akan ada yang kurang dari Kamalla," ujar Radhit sambil melirik pacarnya, Kamalla. "Senyumnya bakalan tetap sama sampai saya antar pulang nanti."

Kamalla melebarkan tatapanya ke Radhit karena malu. Rukmi hanya tersenyum mendengar ucapan Radhit barusan.

Setelah Kamalla naik ke boncengan, deru motor pun menyala dan melaju membelah dinginnya pagi. Sedangkan Rukmi masih terdiam memandangi punggung putrinya yang lambat laun hilang di ujung jalan.

Kehidupan Kamalla terbilang sederhana, apalagi sejak dia lahir sampai usianya hampir menginjak 17 tahun dia belum pernah mengenal sosok Ayahnya. Namun menurut Kamalla, memiliki Ibu dan Radhit sudah lebih dari cukup. Ibu hanya sering bercerita kalau Ayahnya adalah sosok laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Walau demikian, tetap ada tanda tanya besar terkait siapa Ayahnya dan dimana keberadaannya sekarang.

Setiap kali Kamalla menyinggung soal Ayahnya, Rukmi tidak pernah membahas terlalu jauh seolah ada rahasia yang dia simpan selama ini. Beruntungnya, Kamalla tidak sekalipun menekan Ibunya untuk berterus terang, karena menurutnya ada atau tidak adanya sosok Ayah semua itu sudah cukup karena adanya Ibu. Ditambah lagi tiga bulan belakangan ini Kamalla berpacaran dengan Radhit. Baginya Radhit bukan hanya menjadi sosok seorang pacar, namun sikap Radhit yang dewasa kadang bisa menjadi menggantikan figur Ayah serta Kakak laki-laki bagi Kamalla.

...****************...

Radhit dan Kamalla sudah sampai di parkiran sekolah dua puluh menit lebih awal sari bel masuk pelajaran pertama.

"Mulai besok sampai seminggu ke depan, aku nggak bisa antar kamu pulang dulu ya," ujar Radhit entah sudah yang ke berapa kali.

"Iya. Kamu mau latihan futsal buat kompetisi sekolah tahun ini," pungkas Kamalla seraya memberikan helm ke Radhit. "Satu lagi, kamu cuma bisa jemput aku aja 'kan? Kamu udah bilang ke aku lebih dari tiga kali."

"Abisnya aku takut kamu ngambek, terus nggak mau lagi aku antar jemput."

"Emang ngambek kok."

"Tuh 'kan."

"Sedikit," ujar Kamalla sambil menyipitkan kedua matanya dan mendekatkan ibu jarinya dengan telunjuk.

"Cuma satu minggu aja. Nggak sampai berbulan-bulan Kok. Masa gitu aja ngambek!?"

"Bercanda. Aku nggak ngambek kok," ujar Kamalla sambil tersenyum. "Lagian aku 'kan nggak pernah minta kamu buat selalu antar jemput aku. Kamu pacar aku, bukan tukang ojek."

"Kalau merangkap jadi tukang ojek juga emang boleh?"

"Boleh. Berapa tarifnya Pak Radhitya Herlambang?"

"Dua puluh ribu aja sekali jalan Neng."

Radhit tersenyum geli memandangi Kamalla.

"Sebentar ya," ujar Kamalla sambil merogoh saku bajunya. Dia mengeluarkan selembar uang dua ribu dari sakunya. "Yah, adanya dua ribu Pak."

"Dua ribu cuma cukup buat parkir aja Neng."

"Terus gimana dong Pak?"

Radhit menoleh ke kanan dan ke kiri seolah memastikan hanya ada mereka disana kemudian menunjuk pipi kanannya sendiri. Padahal jelas pada saat itu parkiran sudah mulai ramai dipenuhi para siswa yang baru datang.

"Kenapa pipinya? Sakit gigi Pak?" tanya Kamalla.

"Cium." kata Radhit agak berbisik. Kamalla spontan membelalakan kedua bola matanya.

"Mallaaa!" teriakan seorang siswi dari arah koridor kelas memecah percakapan kedua pasangan muda itu. Kamalla menoleh ke arah sumber suara kemudian melambaikan tangan ke arahnya. Disana Jenny dan Kia sudah menunggunya.

"Udah dulu ya Pak. Nanti kita lanjut lagi." Ujar Kamalla pada Radhit. Gadis menis dengan kuncir kuda itu berjalan cepat ke arah kedua sahabatnya.

Radhit mendengus kesal. "Saya anggap hutang ya!" ujarnya kemudian sambil sedikit berteriak.

"La, ada gosip baru nih. Masih anget banget baru keluar dari kukusan!" Ujar Kia. Kamalla yang baru sampai di hadapan kedua sahabatnya itu hanya mengangkat dagu ke arah Jenny. Kia terlihat bersemangat ingin menyampaikan berita yang sedang santer disekolahnya itu.

"Si monyet jadian sama Satrio," sahut Jenny dengan nada datar.

Mereka berjalan menyusuri koridor menuju ruang dua belas IPA 1 kelas mereka.

"Sekarang jangan panggil dia monyet lagi. Panggil dia Mo-Nik! Sesuai namanya," tegas Kia. "Karena sekarang dia udah punya pacar, otomatis dia bakalan jinak dan nggak akan ganggu hubungan lo dan Radhit lagi."

"Hidup nggak semulus yang lo kira Ki. Ingat, mati satu tumbuh seribu," Kata Jenny. "Radhit itu cukup populer, pasti selain si mon-"

"Monik!" sanggah Kia sebelum julukan itu kembali disebut.

"Iya Monik!" ujar Jenny akhirnya. "Selain dia, gue yakin pasti masih banyak cewek di sekolah ini yang naksir Radhit."

"Siapa? Sejauh ini yang terang-terangan rese ya cuma Monik aja."

"Itu yang lo tahu. Mungkin ada yang lain."

"Hah? Siapa emang?" Kia menghentikan langkahnya sebelum sampai ambang pintu kelas. "Jangan-jangan lo ya Jen!?"

Jenny memutar kedua bola matanya. "Yang jelas bukan Bu Damayanti!"

Kamalla hanya tersenyum mendengar perdebatan kedua sahabatnya.

"Lagian mau si Monik punya pacar atau nggak, gue nggak pernah merasa terganggu kok. Monik cuma masa lalunya Radhit, yang ada sekarang cuma gue."

Monika Adrian atau yang lebih dikenal dengan sapaan Monik--atau bisa jadi 'monyet' seperti yang Jenny katakan-- merupakan siswi kelas sebelas IPA 3. Gadis cantik itu tidak bisa dibilang saingan Kamalla, walaupun menurut Kia demikian. Dari segi fisik, Kamalla tidak kalah cantik dengan Monik. Terdapat plus dan minus di antara mereka. Kamalla punya kulit kuning langsat, mata bulat terang berwarna coklat, lesung pipit dan satu tahi lalat kecil di pelipis kirinya. Sedangkan Monik memiliki postur tubuh yang lebih tinggi sedikit dibanding Kamalla. Selain itu, soal keluarga dan keuangan Monik jauh lebih unggul dari Kamalla.

"Wow Malla! Yang kayak begini nih baru teman gue," Seru Kia seraya merangkul pundak kedua sahabatnya itu dan menggiring mereka masuk ke dalam kelas.

Selalu ada perdebatan di antara mereka bertiga. Terutama di antara kedua sahabat Kamalla. Jenny yang cenderung dingin dan mudah tersulut, sedangkan Kia rasa ingin tahunya lebih tinggi dan bawel membuat hidup Kamalla terasa lebih ramai jika bertemu mereka.

...****************...

Bel tanda istirahat pertama berbunyi sepuluh menit yang lalu, membuat deretan kelas menjadi senyap karena penghuninya sudah beralih tempat ke kantin menyisakan beberapa siswa yang asik bergosip atau sekedar bercanda di koridor.

Tepat di depan kelas sebelas IPA Satu, seorang siswi tengah duduk di beton pembatas koridor sambil menyandarkan sisi kanan tubuhnya ke tiang penyangga bangunan sekolah. Kedua manik matanya lurus ke arah beberapa siswa yang sedang bermain bola di lapangan. Sesekali dia menyipitkan kedua matanya ketika angin menerpa wajah dan memainkan anak rambut di dahinya. Sampai satu suara membuyarkan fokusnya.

"Gue salut sama kepercayaan diri lo."

Kamalla mengarahkan ekor matanya ke sumber suara barusan. Dia kenal betul dengan suara gadis itu. Tubuhnya yang semula bersandar terpaksa dia tegapkan.

Monika. Gadis berambut hitam ikal itu duduk tepat di samping Kamalla.

"Tapi ketinggian kayaknya. Saking tingginya, sampai lupa sekeliling lo," ucap Monika tanpa menatap lawan bicara di sampingnya.

"Kalau lo datang kesini cuma mau ngasih gue wejangan, lo salah sasaran. Tuh! Mimbar Kepsek kosong," pungkas Kamalla sambil menunjuk beton setinggi tiga puluh senti di ujung sana.

Kamalla memang gadis cerdas yang terbilang cukup pendiam dan tidak banyak bicara. Namun dia tahu harus melakukan apa ketika berhadapan dengan orang yang semena-mena terhadapnya, sahabatnya, kekasihnya, terutama kepada Ibunya. Dibesarkan tanpa sosok seorang Ayah membuat Kamalla justru tumbuh menjadi gadis yang kuat, yang bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Monika tersenyum tipis mendengar ucapan Kamalla barusan. Kini wajahnya memandang Kamalla dengan ekspresi menyebalkan.

"Selain percaya diri, gue tahu lo ini cewek pinter. Penerima beasiswa, sang juara kelas, dan pemenang di hatinya Radhit."

Kamalla memutar kedua bola matanya. "Langsung ke intinya aja, Nik. Mau lo apa sekarang?"

"Tinggalin Radhit."

"Kalau hubungan gue sama Radhit hasil dari menghancurkan hubungan lo berdua, gue pasti udah ninggalin dia dari awal."

"Lo nggak ngerti," kata Monika seraya meletakkan telapak tangan kanannya di pundak Kamalla.

Untuk kali pertama semenjak Kamalla jadian dengan Radhit, baru hari ini Monika dengan gamblang menitahnya untuk meninggalkan Radhit dan untuk kali pertama juga tangan itu berani menyentuh bagian tubuhnya.

Kamalla mengalihkan pandangannya ke lengan putih itu dengan tatapan risih. Menyadari akan hal itu, Monika dengan santai melepas sentuhannya.

Sejauh ini memang hanya Monika mantan Radhit yang secara terang-terangan berusaha menghancurkan hubungan Kamalla dan Radhit. Namun Kamalla tidak pernah sekalipun membenci Monika. Sikap dingin Kamalla kepada Monika semata-mata hanya tameng agar dia tidak dipandang sebelah mata.

"Nik, mungkin lo belum sepenuhnya bisa melepas Radhit. Tapi sekarang udah ada Satrio. Gue tahu dari Kia. Harusnya lo hargain pasangan lo."

Monika hanya tersenyum tipis. "Kamalla, lo benar-benar naif. Lo nggak tahu Radhit gimana. Lo tuh cuma-"

"Apa Nik? Cuma mikirin diri gue sendiri?" Potong Kamalla. "Terus sikap lo ke gue selama ini apa kalau bukan egois!?"

Napas Kamalla mulai tidak beraturan kali ini. Dia tidak terima mendengar ucapan Monika yang seolah menyudutkan dirinya.

"Ada apa nih?" Suara Jenny tiba-tiba memecah ketegangan. Kia yang sedari tadi mengekor di belakang Jenny terkejut melihat sosok Monika. Hampir saja siomay yang ia kunyah menyumbat saluran pernapasannya.

Monika bangkit dari duduknya seraya menyapu pandangannya ke arah Kia dan Jenny dengan tatapan bengis.

"Urusan kita belum selesai," kata Monika sebelum akhirnya meninggalkan mereka bertiga di koridor.

"Lo nggak apa-apa La?" tanya Jenny seraya duduk menggantikan posisi Monika.

"Lo nggak diapa-apain 'kan La?" tanya Kia lagi sambil memeriksa wajah sahabatnya itu. "Nih siomay Mang Dian, biar nggak bete lagi."

"Gue nggak apa-apa," ujar Kamalla. "Udah nggak lapar sekarang."

"Oh pasti Monik udah ngasih lo makanan buat pajak jadian 'kan?"

"Kia!" bentak Jenny.

"Apa? Dia ngasih apa La?" tanya Kia lagi.

Jenny hanya memutar kedua bola matanya kali ini. Sementara Kamalla hanya tertawa kecil melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Meski ada tawa, isi kepalanya masih terngiang ucapan Monika tadi. Kendati demikian, Kamalla akan tetap bertahan untuk tak melepas Radhit.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Rey

Rey

gagal modus mu ya Radhit 😁

2024-02-20

1

Rey

Rey

manis banget kamu Radhit😊

2024-02-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!