Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
delapan
Ahnaf menatap sang ibu yang berjalan keluar dan mengatakan untuk mencari pekerjaan. "Ya, Allah, beri ibu rezeki dan juga diriku biar dapat masuk pesantren dengan jalan-Mu, aamiin," doanya dalam mengiringi langkah wanita yang melahirkannya itu untuk menjemput rezekinya.
Naii berjalan menyusuri gang yang terbilang padat penduduknya. Meskipun mereka tinggal dipinggiran kota, tetapi itu cukup ramai dan tidak celah tanah yang tersisa, semuanya penuh dengan bangunan yang saling berdesakan.
Saat ia akan melewati gang menuju grosir bahan pokok, ia melihat geng Maya, Rani, dan juga Susi yang saat ini sedang ngerumpi dipinggiran gang, tepatnya didepan rumah Maya. Mereka duduk pada sebuah pembatas jembatan rumahnya yang terbilang cukup bagus.
Naii merasa ragu untuk melintasi mereka. Tetapi jalan itu hanya satu-satunya untuk menuju ujung gang, dan ia harus terpaksa melintasinya.
Naii mencoba menguatkan hatinya untuk dapat menutup telinganya, agar tak mendengar apapun yang diucapkan para wanita penggosip itu.
Sepertinya mereka tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat mereka kerjakan selain duduk didepan rumah sembari mengghibah.
Naii melanjutkan langkahnya meskipun ia sangat malas berhadapan dengan ketiga wanita tersebut.
Tampak mereka melirik ke arahnya dengan tatapan sinis dan mencibir.
Saat Naii berjarak dua meter saja dari mereka, ia harus kembali mendengar kata yang sangat ia benci. "Hei, Janda. Mau kemana? Mau cari laki baru, ya?" sindir Maya dengan begitu sadisnya.
"Janda, janda! Jangan kecentilan sering lewat wara-wiri dari gang ini, kalau hanya untuk mencari perhatian dari para suami-suami kita," cibir Rani yang juga tak mau kalah.
"Kasihan si Janda, udah kucel, miskin, ditinggal lakinya pula," Susi menimpali ucapan kedua sahabat geng gosipnya.
Naii menarik nafasnya dengan dalam, lalu menghentikan langkahnya dan berdiri dihadapan ketiga wanita yang tadi menyebut kata janda.
"Janda? Siapa yang kalian maksud dengan janda?" tanya Naii dengan nada yang masih ia tekan serendah mungkin.
"Hahahahaha..." tawa ketiganya dengan serentak.
"Emangnya disini yang janda siapa? Kita? Ngaca, Lu. Makanya jangan kucel jadi perempuan, biar laki gak selingkuh," ucap Maya dengan nada merendahkannya.
"Kalau janda mengapa marah dipanggil janda, hahaha.. Kamu ngelawak banget," sambut Susi tak mau kalah.
"Naii, namaku, Naii, dan jangan panggil aku janda!" ucap Wanita itu menegaskan.
"Shiva, namaku Shiva, jangan panggil aku anak kecil, Paman, hahahahaha," ejek Rani, menirukan pemeran tokoh dalam sebuah kartun yang sering dilihat oleh anaknya.
Seketika mereka tertawa terbahak bersamaan. Tetangga lainnya mencoba keluar dari rumah dan melihat apa yang terjadi.
"Aku berdoa semoga rumah tangga kalian baik-baik saja dan tidak mengalami apa yang terjadi padaku," jawab Naii, kemudian melanjutkan langkahnya.
Sakit, tentu saja hatinya sangat sakit saat mereka memperoloknya dengan sebutan janda.
"Eh, janda, pulangnya jangan malam-malam, ya. Apalagi sampai jadi wanita malam, hahahaha," Rani tertawa terbahak yang diikuti oleh Maya dan juga Susi.
Mereka seolah tidak puas mencemooh dan merendahkan Naii hanya dengan kata-kata saja.
"Ya, Rabb... Berilah aku keluasan hati untuk memaafkan mereka," gumamnya dalam hati dengan lirih. Rasa sesak seolah menggumpal direlung hatinya. Serendah itukah ia dimata mereka, sehingga memperlakukannya seenak hati.
Ia terus berjalan menyusuri gang yang mana sudah hampir mencapai penghujungnya. Kali ini ia menuju sebuah bangunan ruko empat pintu yang menjadi grosir sembako yang sangat terkenal, dan kemarin sempat ia membaca pengumuman yang ditempel didepan ruko sedang membutuhkan karyawati.
Sesampainya didepan ruko, ia berhenti sejenak, lalu memasuki ruko dan menemui pemiliknya yang merupakan orang Tionghoa.
"Permisi, Cik, saya mau melamar menjadi karyawati disini. Apakah masih ada lowongan yang tersisa untuk saya?" tanya Naii dengan penuh harap.
Pria berusia sekitar lima puluh tahun itu menoleh ke arahnya, sembari jemarinya terus menekan tombol kalkulator dengan sangat cepat.
"Hayya, Lu telambatlah. Semua sudah diisi dari semalam, kamu kulang cepatlah," jawab Si Acik dengan logatnya yang begitu khas.
Hati Naii terasa begitu sangat nelangsa. Tetapi ia mencoba untuk membesarkan hatonya. Mungkin saat ini belum rezeki, dan ia haris mencoba tempat lainnya.
Saat ia ingin berbalik, tampak Sari baru saja masuk ke dalam ruko, tampaknya ia ingin berbelanja.
"Eh, Janda. Aduuh, kamu ngapain kemari? Emangnya kamu punya untuk belanja?" ucap wanita itu dengan sangat menyakitkan.
"Jangan panggil aku janda! Namaku Naii!" tukas Naii dengan nada penekanan. Seketika Sari menutup mulutnya karena menahan tawa.
"Yaelah, gitu aja marah, hahahhaha, lucu banget kamu, deh," jawab Sari semakin mentertawakan wanita dihadapannya. "Kalau gak punya uang, jangan sampai mencuri, ya. Kasihan anak-anakmu kalau sampai Ibunya masuk penjara, sedangkan ayanya kawin lagi, qiqiiqiqi," Sari tertawa dengan tertahan.
Naii menatap wanita itu dengan tajam. "Semoga nasib yang ku alami ini tidak menimpa dirimu," tukas Naii dengan senyum miris, kemudian berlalu, dan ia menyempatkan menyenggol pundak Sari dengan pundaknya yang sangat ia sengaja.
Wanita itu terperangah atas perbuatan Naii yang tidak pernah terduga, lalu ia memutar tubuhnya dan menatap punggung Naii yang berlalu pergi begitu saja.
Tampaknya Sari belum puas dengan apa yang dikatakan oleh Naii. Ia mencoba mengejar wanita iru dan menghadang langkah wanita yang ia sebut janda.
"Heei, tunggu! Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu sumpahi aku jadi janda, ya?" ucap Sari dengan raut wajah yang penuh rasa penasaran.
Naii kembali tersenyum miris. "Tidak, aku tidak menyumpahimu. Aku mendoakanmu agar tidak menjadi janda sepertiku? Mengapa kau begitu takutnya? Bukannkah kau merasa dirimu paling cantik dan juga paling sosialita? Sehingga merasa yakin jika dirimu tidak akan dikhianati? Lalu mengapa takut hanya dengan doaku barusan?" jawab Naii dengan penuh penekanan.
Sari ingin mengumpat atas apa yang diucapkan oleh Naii, tetapi sebuah panggilan masuk pada pbonsel pintarnya, membuatnya menunda ucapannya.
Ia segera menyambut panggilan masuk dari sebuah nama yang merupakan suaminya.
Ia ingin memanasi Naii akan dirinya yang sedang ditelefon oleh sang suami, akan tetapi, Naii mengambil kesempatan untuk segera pergi, ketimbang berdebat dengan wanita tersebut.
Sari mencari keberadaan Naii yang begitu cepat menghilang, dan ia tak sempat memamerkan kemesraannya bersama sang suami.
Naii menggelengkan kepalanya melihat ulah para geng biang gosip tersebut.
"Ya Rabb, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan. Aku sangat membutuhkannya. Permudahlah jalan bagiku untuk mendapatkan pekerjaaan, sebab Ahnaf sangat ingin masuk pesantren, aku ingin menjadi ibu yang dibanggakan olehnya" gumam Naii, lirih.
Wanita itu terus melanjutkan perjalanannya menyusuri jalanan untuk mendapatkan pekerjaan lainnya. Ia bahkan tak mengindahkan kakinya yang terasa sangat sakit dan juga kram.