Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
“Maaf, maafkan anak Saya.” Ina menundukkan kepalanya setelah berhasil membawa Andri berdiri.
“Kamu....???” pria yang bertabrakan dengan Andri meneliti penampilan Ina dari atas sampai bawah. “Queen…?” Gumamnya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Pria itu terpaku. Apa benar yang ada di hadapannya saat ini benar-benar Queen? Kenapa jauh sekali berbeda?
“Mas Adam…?” Ina menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tidak percaya pada akhirnya dia akan bertemu kembali dengan sosok cinta keduanya setelah papanya.
“Andri, ayo pulang!” Ina menarik tangan anaknya dan hendak dibawa pergi dari tempat itu. Dia merasa belum sanggup bertemu kembali dengan sosok itu.
“Queen..! Tunggu.” Orang yang memang adalah Adam, kakak kandung Ina segera tersadar dari keterpakuan nya, saat melihat adiknya nyaris menjauh.
“Queen..!” Adam berhasil menangkap pergelangan tangan adiknya.
“Ina, Andri!” Bu Hindun dan Adnan yang tadi masih memarkir mobil datang menyusul.
“Adam,,,?”
“Mas Adam,,,?”
Bu Hindun dan Adnan berseru bersamaan. “Apa kabar, Mas?” Sapa Adnan. Pria itu pun mengulurkan tangannya.
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana kabarmu?” Adam menerima jabat tangan Adnan dan membawa sepupunya berpelukan.
“Apa kabar, Bi?” Usai berpelukan dengan Adnan, Adam menyapa bibinya. Tak lupa mencium punggung tangan wanita itu.
“Bibi mana pernah punya kabar tidak baik.” Bu Hindun berkelakar sambil memeluk keponakannya, anak dari Kakak lelakinya.
“Queen,,,?” Adam kembali menatap ke arah Ina.
Ina tak bisa pergi dari sana, meskipun ingin. Bagaimana caranya, sedangkan Adnan dan bibinya malah berakrab-akrab saling melepas rindu dengan kakaknya. Ina ingin. Dia juga rindu ingin dipeluk, tapi dia terlalu malu.
“Apa kamu tidak rindu sama Mas?” Adam tahu Ina takut dan malu. Karena itu dia yang berinisiatif mendekati adiknya, dan membawa wanita itu ke dalam pelukan.
“Mas,,,?” Ina tak kuasa menahan airmata. Bendungan itu jebol tanpa pertanda sebelumnya. “Maaf, maaf,,,!” Hanya satu kata. Wanita itu tak lagi mampu berucap. Menangis tersedu di dada bidang kakaknya. Meluapkan segala emosi yang ada. Kerinduan dan penyesalan berbaur jadi satu.
“Kalian sudah bertemu. Ayo kita cari tempat duduk dulu. Bibi rasa kamu juga tidak akan bisa memilih dalam kondisi seperti ini.” Bu Hindun menepuk-nepuk pundak Ina.
Ina hanya mengangguk. Dia menurut saja ketika Adam membimbingnya untuk duduk di salah satu sisi showroom yang menyediakan tempat bagi pelanggan yang datang.
“Ibu kenapa nangis?” Andri mengusap airmata ibunya dengan dua telapak tangan kecilnya.
Bocah itu merasa bingung akan situasi yang terjadi. Melihat ibunya menangis, juga melihat seorang pria yang memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang. Di dalam air mata ibunya dia juga melihat kebahagiaan. Bocah itu tidak tahu harus bagaimana.
“Wah wah, tunggu! Apa ini keponakan Om?” Adam dengan tangan kekarnya meraih bagian bawah ketiak Andri dan mengangkat tubuh bocah itu dan dibawa berhadapan dengannya.
Andri terkejut lalu menoleh ke arah ibunya. Ingin berontak tetapi urung ketika melihat ibunya tersenyum dan mengangguk.
“Siapa namamu, Jagoan?” tanya Adam.
“Andri, Om.” Andri menjawab singkat. Tidak tahu harus bagaimana Karena dia masih belum mengenali siapa yang ada di hadapannya.
“Walaupun kita berjauhan, Apakah kamu juga tidak pernah menunjukkan wajah kami padanya?” Adam menatap ke arah Ina seraya menggelengkan kepala. Terlihat kekecewaan terpancar dari sorot matanya.
“Maaf,,,!” Lagi-lagi hanya sepatah kata itu yang mampu terucap dari bibir Ina. Air mata wanita itu kembali menetes. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Dia memang menyimpan foto keluarga, tapi tak pernah memperlihatkan itu pada Andri.
Adam menghembuskan nafas berat. Kemudian memperkenalkan dirinya kepada Andri. Tentang dirinya, dan juga bercerita tentang keluarga yang dimiliki oleh Ina.
“Bagaimana kabar suamimu?”
Sesuatu yang ditakutkan oleh Ina akhirnya terjadi. Akhirnya sang kakak bertanya juga tentang suaminya. Sedangkan dia tidak sanggup untuk bercerita.
Dia sangat malu, karena dulu pernah menentang Kakak dan orang tuanya saat dirinya ingin menikah dengan Ranu. Kini hanya penyesalan yang wanita itu rasakan, karena tidak mau mendengar nasehat dari orang-orang yang menyayanginya. Pernikahan dengan lelaki pilihannya tidak membawa akhir bahagia.
Karena Ina tetap bungkam, akhirnya Bu Hindun dan Adnan yang bercerita tentang semua yang dilalui Ina selama masa pernikahannya dengan Ranu.
Adam mengepalkan erat tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras dengan sorot mata memerah mendengar semua yang diceritakan oleh Bu Hindun dan Adnan.
“Lalu kenapa kamu tetap diam? Kenapa kamu memilih bertahan di tempat itu? Apa kamu sudah tidak punya orang tua dan saudara lagi? Apakah keberadaan kami benar-benar sudah tidak ada lagi artinya bagimu?”
Ima menggeleng tidak mampu menjawab. Hanya air matanya yang semakin deras berderai.
Adam mengambil nafas dalam-dalam, memejamkan erat kedua matanya, sebelum kemudian kembali meraih adiknya ke dalam pelukan. Tak lupa dibawanya pula Andri ke dalam pelukan. Punya keponakan sebesar itu dan dia baru melihatnya sekarang. Itu benar-benar menyesakkan.
***
“Jadi kamu ingin membeli sepeda motor?” Adam bertanya setelah suasana mencair, dan adiknya itu sudah terlihat lebih tenang.
“Iya, Mas. Supaya kalau mau pergi kemana-mana aku tidak perlu mencari ojek,” jawab Ina.
“Ya sudah, ayo kita cari seperti apa seleramu sekarang! Mas yang traktir, dan kali ini kakak tidak menerima bantahan, atau Kakak akan benar-benar marah padamu!”
Ina mengerucutkan bibir. Padahal tadi dia ingin dibelikan oleh Adnan tapi menolak. Dia bisa membelinya menggunakan uangnya sendiri. Sekarang ganti kakaknya yang mengatakan ingin mentraktirnya. Tapi dia bahagia bertemu kembali dengan kakaknya. Terlebih sekarang kakaknya itu tak lagi marah padanya. Kakaknya sudah memaafkannya itu yang paling penting baginya.
Mereka pun segera kembali ke tempat dimana beraneka macam jenis sepeda motor dipajang berderet-deret. Dari yang paling murah sampai yang paling mahal, semua ada di showroom itu. Mungkin Adnan pernah datang ke showroom itu, sehingga merekomendasikannya kepada Ina.
Adam, Adnan, dan Bi Hindun saling pandang ketika atensi Ina terfokus pada satu motor. Wanita itu dengan tangannya meraba, dan meneliti setiap inci permukaan motor tersebut.
“Ibu mau beli yang ini?” Andri yang setia mengikuti setiap gerak langkah ibunya bertanya. Raut polos wajahnya tak mampu menyembunyikan ketidakpercayaan.
“Andri suka tidak, kalau ibu bonceng pake ini?” Meskipun suka, Ina tetap ingin minta pendapat anaknya.
“Suka, Bu. Andri suka. Tapi…?” Andri ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Andri takut ibu tidak bisa, ya?”
Andri mengangguk sambil menggaruk tengkuknya. Merasa bersalah karena telah meragukan kemampuan ibunya.
Adam kembali mengambil nafas lalu mendekat. “Kamu serius pilih ini, Queen?” Lelaki itu merasa sedikit keberatan. “Kenapa tidak pilih yang matic saja? Kamu ini perempuan, loh!” Adam mencoba mengubah pilihan adiknya.
“Tapi aku sukanya ini, Mas.” Ina menekuk wajahnya. “Kalau Mas keberatan dengan harganya, aku gak papa kok bayar sendiri saja.” Ina menunduk.
Adam mendengus. Adiknya benar-benar meremehkannya.
***
Di rumah Ranu.
Sejak pulang dari rumah ibunya beberapa menit yang lalu, Ranu terus mondar-mandir. Berkali-kali menatap jam dinding. Waktu telah menunjukkan pukul 22. 30 malam, tapi istri dan anaknya belum pulang juga.
Tadinya Dia pikir istrinya sedang tidur di kamar Andri. Tapi ternyata tidak ada. Kemana istrinya pergi. Ada pertengkaran tadi siang di rumah ibunya. Tapi hanya antara sang istri, ibu, dan adik-adiknya. Dia sama sekali tidak ikut menyahut. Jadi tidak mungkin istrinya pergi karena marah padanya kan? Kenapa tiba-tiba dia merasa cemas?
Mendengus kesal karena panggilannya sama sekali tidak tersambung.
“Ke mana dia,,,?”
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅