Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 08
Rapat Internal tersebut hanya dihadiri oleh jajaran Dewan Direksi Internal perusahaan saja seperti Arsen selaku Presdir Harrington Group yang baru. Juga para direktur dan manajer kepercayaan Areef Harrington. Tak lupa Tim Ahli, Sekretaris dan Internal Audit.
Dalam rapat kali ini, mereka akan membahas laporan keuangan dan pergerakan saham. Serta pembangungan mega proyek pertama yang akan langsung diawasi oleh Arsen.
Nadira mengucapkan selamat datang dan kata sambutan begitu semua anggota direksi hadir. Arsen dan jajaran direksi yang lain memfokuskan perhatian mereka pada Nadira yang hari ini bertanggung jawab sebagai moderator.
Di sampingnya ada Luna, berperan sebagai notulen rapat. Nantinya hasil rapat direksi hari ini akan menjadi arsip perusahaan. Nadira melanjutkan rapatnya, jantungnya berdegup kencang apalagi saat netranya tak sengaja bertemu dengan manik Arsen.
Rapat hari itu berlangsung cukup lama, hingga siang, karena membahas saham, dividen, dan rencana pembangunan mega proyek. Nadira menutup rapatnya dan bernapas lega.
Semua anggota rapat keluar satu persatu dengan wajah yang sulit digambarkan. Arsen lebih tegas dibanding Pimpinan, ujar salah seorang karyawan. Wajahnya tampak pucat karena gugup.
Nadira sendiri menghela napasnya lega saat Arsen keluar diikuti asistennya. Luna menepuk pundaknya pelan. "Makan siang, yuk?" ajaknya yang langsung diangguki oleh Nadira. Kebetulan perutnya memang harus segera diisi.
"By the way, Bestie. Lo keren banget, gila! Maksud Gue penjelasan Lo tadi tuh gak bertele-tele, apalagi pas jawab pertanyaan Presdir, super badassss!" puji Luna di sela jam makan siang mereka. Nadira hanya tersenyum sebagai jawaban.
Sejujurnya, ia gugup setengah mati tadi. Memimpin rapat internal dewan direksi adalah pengalaman pertama baginya.
Biasanya Nadira hanya memimpin rapat nonformal, itu pun antar tim divisi keuangan saja. Dan hanya berlangsung singkat, tidak sampai berjam-jam seperti hari ini.
Setelah makan siang, Nadira dan Luna kembali ke mejanya masing-masing. Tadi Pak Rizal meminta rincian laporan keuangan untuk pembangunan mega proyek mereka dikirimkan kepadanya sesegera mungkin agar perusahaan bisa langsung mengadakan tender.
Baru saja ia menyalakan komputernya, tiba-tiba saja interkomnya berbunyi. "Iya, Pak?" jawabnya. "Ke ruangan Presdir, sekarang" sahut Pak Rizal singkat.
"Apa lagi, sih, ya ampun" desis Nadira lirih. Ia langsung bangkit dan pergi ke ruangan Presdir, yang berada di lantai paling atas.
"Lah, Nad, kok ada di sini?" tanya Luna yang kebetulan ada di lantai yang sama.
"Dipanggil Presdir," jawab Nadira singkat. Luna tersenyum. "Kayaknya bau-bau dapat pujian, nih" godanya membuat Nadira menaikkan satu alisnya.
Setelah itu Luna berlalu dari sana karena urusannya telah selesai. Sebelum mengetuk pintu, Nadira lebih dulu menarik napas panjang. Jantungnya tiba-tiba berdebar entah karena apa.
"Santai, Nad, santai. Siapa tahu dia cuma mau tanya-tanya soal laporan bukan hal lainnya," ucapnya bermonolog.
Lalu, seseorang muncul dari dalam ruangan itu, membuat Nadira terlonjak hingga mundur beberapa langkah. Arsen menatapnya dari atas sampai bawah. "Kamu? Sedang apa di sini?" tanya Arsen tajam.
"Eh? Bukannya Presdir yang panggil saya?" jawab Nadira. Arsen tampak berpikir, "Masuk!" titahnya sambil berbalik, kembali ke meja kebesarannya. Nadira berdiri di hadapannya, hormat.
Selama beberapa menit, Arsen tetap diam, melupakan Nadira yang sejak tadi berdiri. Maunya Presdir ini apa, sih? Tadi katanya manggil, sekarang Gue ada di sini, malah gak ngomong apa-apa, ish! batinnya. Sungguh ia benar-benar kesal sekarang.
Jika saja ia tak mengingat apa posisinya sekarang, ingin sekali ia mencakar wajah tampan Presdirnya itu!
"Ehm, maaf, Presdir. Ada apa, ya, memanggil saya?" tanya Nadira selembut mungkin. Arsen mendongak. "Oh, kamu masih berdiri di sana, saya kira sudah pergi," ucap Arsen santai, tak berdosa.
What? Jadi Gue dianggap apa dari tadi? Pajangan kah? Sabar, Nad, sabar.
"Belum, Presdir. Saya menunggu instruksi Anda" Nadira mengulas senyumnya. "Kamu boleh pergi sekarang," ucap Arsen tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang sedang dibacanya.
Nadira mematung, tak percaya. "Hah? Su-sudah, Pak? Itu saja?" Arsen mengangguk. "Kamu tidak lupa di mana pintu keluarnya, kan?"
"Iya, Pak. Maksud saya, benar tidak ada perintah apa-apa?" tanya Nadira kembali, seolah tak percaya ia disuruh pergi begitu saja. Arsen mengangguk singkat. "Ya, saya sudah melihatmu, silahkan keluar."
salam kenal untuk author nya