"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. Meyakinkan Hati
"Hai, Sayang? Kamu belum tidur?"
"Bagaimana aku bisa tidur? Aku menunggumu..." Sahut Anin sambil menarik sudut bibirnya, membentuk garis senyum yang sesungguhnya begitu hambar dan dipaksakan. Kakinya di turunkan satu, menampakkan betisnya yg mulus.
Anin beranjak, menyongsong sang suami untuk mengambil gagang koper dari tangannya tetapi Galih menjegalnya dengan pelukan.
"Agh, aku kangen kamu. Dua hari rasanya dua tahun." Galih menciumi puncak kepala Anin, dengan sayang, seperti biasanya saat dia pulang.
Anin memejamkan matanya, tangannya terkepal sesaat, menikmati perlakuan Galih meski hatinya terasa seperti sedang menggelegak.
Aroma parfum khas suaminya yang sama persis dengan aroma dari tubuh Retno tadi pagi, bercampur keringat menerbitkan bau lembab yang aneh.
"Mandilah dulu dengan air hangat, supaya kamu lebih segar. Aku akan menyiapkan makan malammu..."
Anin mendorong tubuh suaminya perlahan, entah mengapa jari jemarinya terasa gemetar.
"Tidak usah repot sayang, aku tadi sudah makan di jalan pulang."
"Oh..." Anin menarik koper dari tangan Galih.
"Eh, biar saja." Galih terlihat berat melepaskan kopernya.
"Kenapa? Ini kan' baju kotormu?"
"Biar Bik Irah saja mengurusnya besok, kamu tak perlu repot." Galih membelai rambut sang istri yang panjang tetapi di cepol tinggi, hingga anak rambut Anin bergerai halus di lehernya yang jenjang.
"Hey, sayang. Tumben..." Galih menarik lengan Anin, sambil memperhatikan penampilan istrinya itu dari atas sampai bawah. Jelas, mengalihkan perhatiannya.
"Apa? kenapa?" Tanya Anin sambil mengarahkan matanya menuju tubuhnya sendiri.
"Kamu terlihat berbeda malam ini..." Galih menaikkan alisnya tinggi menangkap lekuk tubuh Anin di balik piyama dress pendeknya. Meski modelnya tak terlalu seksi, tetapi kain satin lembut merah marun, itu terlihat sempurna membungkus tubuh Anin.
"Dan..." Galih mengitari pandangan pada suasana kamar dengan bau aromatherapy yang seksi itu.
"Kamar kita seperti kamar hotel saja. Kamu menyambutku, ya?" Galih terkekeh.
"Aku memang menunggumu." Anin tersenyum dan berbalik, menyembunyikan rasa muak yang tiba-tiba menyeruak Sejurus foto-foto sang suami dan sahabatnya lewat di pelupuk matanya, membuat matanya terasa perih.
"Tumben, sayang?" Galih mengernyit dahinya. Sekali lagi kata itu di ucapkannya.
"Apa itu salah?" Anin balik bertanya, mendekat dan mengalungkan tangannya di leher Galih. Sedikit lebih berani dari biasa. Memastikan aroma citrus fruity yang sama seperti yang tercium dari badan Retno tadi siang.
Alhasil, wajah Galih merona sesaat lalu dengan gugup melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Anin.
"Pergilah mandi, aku akan melihat Gigi, apa dia sudah tidur." Anin melepaskan tangannya lalu menjauh. Galih tak menahannya.
Sesaat dia berdiri di depan pintu, mengambil ponsel dari dalam sakunya yang bergetar beberapa kali.
Di lihatnya, pesan gambar dari Reno, dan di foto itu, Anin menahan nafasnya. Keringat dingin terasa membasahi sekujur punggungnya.
Galih dengan pakaian yang sama, baju hem biru gelap bergaris putih sedang duduk di sebuah resto membelakangi dan di hadapannya, Ratna tersenyum lebar, mereka sepertinya dinner beberapa saat yang lalu, mengingat sekarang waktu sedang menunjukkan jam sepuluhan. Sempat-sempatnya Galih malah menemui Retno sebelum pulang ke rumah.
Pantas saja dia menolak Anin menyiapkan makan malam untuknya. Anin bergegas menuju kamar Gita, menguncinya dari dalam. Saat mendapati anaknya itu sedang tertidur lelap, dengan wajah tanpa dosa sambil memeluk boneka beruang hadiah ulang tahun dari sang ayah, Anin tak bisa menahan lututnya yang goyah.
Dia terduduk di lantai kamar Gita, menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergoncang seketika. Tangis yang di tahannya berubah menjadi sedu yang tersendat. Rasa sakit itu seakan memenuhi rongga dadanya.
"Tuhan, bagaimana ini? Aku harus bagaimana? Haruskah aku meluruskan semuanya dan bertanya baik-baik pada suamiku? Ataukah aku..." Bibir Anin gemetaran sendiri, dia terlihat bimbang sesaat.
Wajah Gita yang bagai fotocopian ayahnya itu, membuat jiwanya tercabik-cabik, semula dia begitu teguh ingin membalas perlakuan suaminya tetapi tekad itu menjadi goyah sesaat.
Beberapa saat Anin terpekur dalam sedunya yang nyaris tanpa suara tetapi wajahnya banjir air mata. Setelah dia bisa menghentikan air mata yang terus keluar bagai mata air itu, Anin menghapusnya segenap jemarinya, lalu perlahan dirinya bangkit menghampiri tempat tidur gadis kecilnya, merapikan selimutnya dan mengecup lembut dahi anaknya itu.
Gita menggeliat, kemudian kembali terlelap, dahi mungilnya sedikit basah oleh sisa air matanya yang jatuh, dengan segera Anin melapnya dengan tangannya.
Dengan menguatkan hatinya dia kembali ke kamar, dia harus menemui suaminya sekarang.
Saat masuk ke dalam kamar, Galih masih di kamar mandi. Dan pada saat bersamaan terdengar bunyi ponsel, seperti panggilan dalam nada rendah, entah dari mana. Anin melihat ke arah ponsel Galih yang tergeletak di atas tempat tidur, bukan dari sana bunyi itu berasal.
Kepalanya berputar dan mendapati sumber suara, itu dari dalam koper Galih! Yah, suara itu dari sana.
Anin terpaku, matanya kembali pada ponsel Galih yang berada di atas tempat tidur, sama sekali tak ada tanda-tanda panggilan. Selama ini Anin bukan istri yang kepo dengan ponsel suaminya, bahkan tak pernah dia penasaran dengan isinya, saking percayanya pada suami.
Tapi sekarang, apapun menjadi sangat mencurigakan bahkan kini dia merasa tertampar dengan kenyataan,
"Apakah suamiku mempunyai ponsel lebih dari satu? kenapa aku tak tahu itu?" Pertanyaan itu membuat pelipisnya berdenyut.
Suara panggilan itu berhenti dengan sendiri dan tak berselang lama Galih keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek, rambutnya basah dan wajahnya berbinar segar.
"Sayang, bagaimana Gigi? Dia sudah tidur?"
"Gigi sudah tidur." Sahut Anin, semula dia nyaris mengumpulkan keyakinan untuk mengklarifikasi semua yang terjadi pada sang suami tetapi niat itu sekarang di leburnya. Dia membalikkan badan berpura-pura menuju lemari untuk mengambil sesuatu dengan begitu dia menyembunyikan dua titik air mata yang menerjang sudut matanya.
"Apa yang harus ku dengar darinya, dia bahkan telah menipuku mentah-mentah di belakang? Sekarang aku harus kembali kepada yang harus ku lakukan. Mengetahui berapa lama mereka telah bermain di belakangku Jika itu benar, telah mempecundangiku sekian lama. Maka, mari berhitung tentang pembalasan. Aku tak akan membiarkan diriku teraniaya oleh pengkhianatan." Anin menelan ludahnya yang terasa pahit, kalimat itu menggema dalam sanubarinya yang terluka.
"Sayang..." Pelukan itu tiba-tiba dari arah punggungnya. Tubuh atas tanpa bu$@na itu merapat di kain bajunya yang tipis, terasa hangat menembus sampai ke kulit.
Galih mendekapnya mesra, kepalanya menyusup di leher Anin, sementara kedua lengannya memeluk pinggang Anin. Nafas Galih menerpa kulit lehernya, dan dengan serak berbisik di cuping telinga Anin yang serta merta meneg@ng di tempat.
"Kamu membuatku ter@nqs@ng, sayang..."