“Jangan berharap anak itu akan menggunakan nama keluarga Pratama ! Saya akan membatalkan pernikahan kami secara agama dan negara.”
Sebastian Pratama, pewaris tunggal perusahaan MegaCyber, memutuskan untuk membatalkan pernikahannya yang baru saja disahkan beberapa jam dengan Shera Susanto, seorang pengacara muda yang sudah menjadi kekasihnya selama 3 tahun.
Shera yang jatuh pingsan di tengah-tengah prosesi adat pernikahan, langsung dibawa ke rumah sakit dan dokter menyatakan bahwa wanita itu tengah hamil 12 minggu.
Hingga 1.5 tahun kemudian datang sosok Kirana Gunawan yang datang sebagai sekretaris pengganti. Sikap gadis berusia 21 tahun itu mengusik perhatian Sebastian dan meluluhkan kebekuannya.
Kedekatan Kirana dengan Dokter Steven, yang merupakan sepupu dekat Sebastian, membuat Sebastian mengambil keputusan untuk melamar Kirana setelah 6 bulan berpacaran.
Steven yang sejak dulu ternyata menyukai Kirana, berusaha menghalangi rencana Sebastian.
Usaha Steven yang melibatkan Shera dalam rencananya pada Sebastian dan Kirana, justru membuka fakta hubungan mereka berempat di masa lalu.
Cover by alifatania
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Mulai Perhatian
Dua minggu berlalu sejak perdebatan Kirana dan Sebastian masalah status karyawan kontrak. Kirana tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa dan mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu Sebastian memecatnya.
Namun keadaan tidak seperti dugaannya. Sebastian justru memperlihatkan perubahan sikapnya pada Kirana. Pria itu mulai melakukan komunikasi dengan Kirana saat membutuhkan data atau memberikan instruksi pekerjaan. Dion tidak lagi menjadi perantara pesan di antara mereka.
Meski terkadang masih kaku, Kiara sangat menghargai usaha Sebastian yang mau belajar memperbaiki sikapnya.
Dion pun merasa senang melihat usaha Sebastian untuk menerima kehadiran Kirana sebagai sekretarisnya. Bahkan Dion berharap kehadiran Kirana mampu mengembalikan pribadi Sebastian yang hilang karena pengkhianatan hampir 2 tahun yang lalu.
“Yon, Kirana sukanya makan apa ?”
Saat ini Sebastian dan Dion baru saja menyelesaikan meeting dengan calon klien di sebuah restoran.
Mendengar pertanyaan Sebastian, Dion langsung menatap bossnya dengan wajah tercengang. Rasanya tidak percaya mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sebastian.
“Sudah, kalau begitu lupakan saja,”. Sebastian mengibaskan tangannya.
Sadar kalau asistennya sedang memperhatikan dirinya, Sebastian berjalan mendahului Dion ke arah pintu keluar.
“Eh jangan dong, Boss. Kalau sudah punya niat baik harus dijalani,” ucap Dion setelah menyusul Sebastian.
Dion mengambil handphone dari saku celananya dan mulai menggerakan tangannya di layar handphone.
“Kamu nggak usah tanya Kirana,” perintah Sebastian dengan mata melotot.
“Bukan nanya, Pak. Saya minta Kirana jangan beli atau keluar makan siang.”
“Jangan bilang kalau saya mau belikan dia,” ujar Sebastian lagi.
“Jangan khawatir, Pak,” Dion tersenyum sambil menaik turunkan alisnya. “Masalah itu bisa saya atur.”
Keduanya langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil.
“Yon, kenapa nggak beli di resto ini aja,” Sebastian mencegah Dion menyalakan mobil. “Biar sekalian dan ada alasan kasih Kirana.”
“Terus kenapa Bapak langsung keluar ?”
“Iya ya, kenapa tadi kita nggak pesan dulu.” Sebastian menggaruk tengkuknya dan tertawa pelan.
“Kalau begitu saya saja yang pesankan. Apa Bapak ada ide mau pesan apa ?” Dion sudah membuka pintu mobil lagi.
“Belikan nasi goreng saja, Yon dan buat yang pedas, Sepertinya saya lihat kalau Kirana suka sama makanan pedas.”
Dion mengangguk sambil tersenyum. Dia pun kembali masuk ke dalam restoran untuk memesan nasi goreng pedas.
“Ternyata diam-diam Pak Bas suka memperhatikan kebiasaan Kirana juga,” gumam Dion pada dirinya sendiri.
Dion kembali mengirim pesan pada Kirana untuk menyelesaikan beberapa data yang akan digunakan untuk bahan meeting dadakan. Dengan alasan itu, Dion meminta Kirana menyelesaikan tugasnya dulu sebelum makan siang, karena Sebastian akan tiba di kantor sekitar 30 menit lagi.
Dion tertawa sendiri membaca pesan berbalas dengan Kirana. Tidak tega membohongi Kirana sampai menunda waktu makan siangnya. Tapi melihat niat Sebastian yang luar biasa di mata Dion, apapun akan Dion lakukan. Apalagi Sebastian sempat salah tingkah saat sadar diperhatikan olehnya. Dia benar-benar berharap kalau Kirana mampu membawa Sebastian keluar dari penjara hatinya yang penuh kekecewaan.
35 menit kemudian, kedua pria itu sudah kembali ke gedung MegaCyber dan memggunakan lift khusus sampai di lantai 15.
“Pak Bas,” Dion menahan tangan Sebastian yang baru keluar dari lift. “Ada baiknya kalau Pak Bas yang langsung memberikan ini pada Kirana.”
Dion mengusungkan bungkusan nasi goreng pada Sebastian.
“Tidak usah,” Sebastian menggeleng. “Kamu aja yang kasih, bilang aja tadi kelebihan pesan.”
“Kirana tidak mungkin dibohongi, Pak,” Dion mulai memasang wajah serius. “Biarpun saya yang kasih, dia pasti tanya macam-macam. Lagian pesanan khusus begini mana mungkin kelebihan, apalagi rasa pedas. Saya sudah pernah menyampaikan pada Kirana kalau Pak Sebastian tidak suka makanan pedas, jadi tidak mungkin kan tadi kita pesan nasi goreng pedas untuk makan siang.”
“Memangnya Kirana pernah tanya-tanya soal makanan kesukaan saya ?”
Dion hanya mengangguk. Dalam hati pria berusia 25 tahun ini ingin tertawa ngakak. Dia bisa melihat ekspresi bahagia di wajah Sebastian hanya mendengar Kirana menanyakan soal makanan yang disukai dan tidak disukai boss nya.
“Jadi lebih baik Pak Bas yang kasih,” Dion menyerahkan kantong kertas yang berisi sekotak nasi goreng.
“Cckk nanti saya harus bilang apa sama Kirana ?”
“Terserah Pak Bastian. Nanti kalau disusun dulu malah terlihat kaku.”
Akhirnya Sebastian membawa kantong nasi goreng itu. Dion yang berjalan di belakangnya sudah menahan geli ingin tertawa keras. Sepanjang jalan menuju ruangan mereka, terlihat Sebastian sedang berpikir keras menyusun kalimat masalah nasi goreng.
Sebastian menarik nafas panjang saat melihat Kirana sedang duduk merapikan kertas-kertas di atas mejanya.
Gadis itu langsung menoleh dan berdiri saat melihat Sebastian diikuti Dion sudah berdiri di pintu masuk.
“Selamat siang, Pak.” Kirana menundukan wajahnya sekilas. Dia menautkan alisnya saat melihat Sebastian hanya berdiam di tempatnya.
“Selamat siang Pak Sebastian,” Kirana mengulang kembali sapaannya dengan suara sedikit lebih keras.
Sebastian tergagap mendengar suara Kirana. Pria itu semakin mengeratkan genggaman kantong nasi goreng di tangannya. Wajahnya terlihat ragu-ragu sambil melangkah mendekati meja Kirana.
“Dion bilang kamu belum sempat makan siang. Tadi saya minta dia memesankan kamu makanan,” ucapan Sebastian terdengar lebih kalem dari biasanya.
Pria itu meletakkan bungkusan di atas meja Kirana dan tanpa menunggu tanggapan Kirana, dia segera melanjutkan langkahnya menuju ruangannya sendiri.
“Terima kasih atas perhatiannya, Pak,” seru Kirana sebelum Sebastian menutup pintunya.
Sebastian hanya berdiam sejenak dan menarik kedua sudut bibirnya tanpa terlihat oleh Dion atau Kirana. Sesudah itu dia langsung menutup pintu dan berjalan ke mejanya.
Sebastian memegang dadanya sendiri. Ada degup aneh yang sudah lama tidak pernah mengusik relung hatinya.
Sebastian tidak langsung duduk di kursi kerjanya. Dia berdiri memandang ke arah luar jendela kaca yang menjadi dinding gedung kantornya.
Ingatannya kembali pada perdebatannya dengan Kirana dua minggu lalu. Saat mereka saling menatap tajam karena emosi, Sebastian menangkap rasa kecewa yang mendalam di mata Kirana. Pancaran yang tidak pernah dilihatnya saat berhadapan dengan wanita manapun, termasuk Shera.
Sebastian tidak menyangka kalau keputusannya membuat sekretarisnya itu merasa kecewa dan sedih begitu dalam. Padahal selama ini, Sebastian melihat Kirana adalah sosok gadis yang kuat dan penuh semangat. Segala kesulitan seperti tidak berarti buatnya apalagi sampai membuatnya putus asa dan bersedih.
Sebastian menarik nafas panjang. Dia berusaha mengingat alasan mengapa tidak memyukai Kirana pada awal mulanya.
Kirana gadis muda dengan pembawaan yang supel dan cenderung agresif, membuat Sebastian teringat akan perjumpaan pertamanya dengan Shera. Wanita itu cukup agresif mendekati Sebastian saat itu hingga membuat hati Sebastian melayang-layang karena sikap manis Shera, namun ternyata semuanya berujung dengan pekhianatan.
Tetapi Sebastian belum pernah melihat pancaran kekecewaan Shera seperti di mata Kirana, bahkan pada saat Sebastian memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka.
Bayangan tatapan Kirana mengusik hati Sebastian yang telah lama dibentengi oleh kekerasan hatinya untuk menjauhkan diri dari hubungan serius dengan wanita.
Sebastian menarik nafas panjang kembali dan menghembuskannya dengan kasar. Dia berharap keputusannya kali ini untuk bersikap baik pada Kirana tidak akan berujung dengan kekecewaan kembali seperti dengan Shera.
Di luar ruangan, Kirana terpaku menatap bungkusan nasi goreng yang diletakan Sebastian di atas mejanya.
“Awas ada racunnya,” ledek Dion sambil berjalan ke mejanya.
“Jangan ngaco deh, Mas Dion,” gerutu Kirana sambil membuka bungkus makanannya.
“Iya racun, biar kamu jatuh cinta sama Pak Bas,” Dion terkekeh.
“Itu mah bukan racun, tapi guna-guna.”
Perut Kirana mendadak berbunyi minta diisi. Aroma nasi goreng pedas langsung menggelitik penciumannya.
“Pasti mahal nih harganya,” ujar Kirana sambil memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Tinggal makan doang, pusing amat dengan harganya. Lagian kan udah dibilangin kalau itu ada bumbu spesialnya.” Dion masih tertawa sambil meledek Kirana.
“Eh lupa, Mbak Wid pesan kalau nggak boleh makan di ruangan ini,” Kirana menutup kotak nasi gorengnya lalu beranjak hendak ke pantri.
“Udah makan di sini aja Hari ini nggak ada jadwal meeting lagi, jadi kemungkinan tidak akan ada tamu yang datang.”
“Nggak enak kalau Pak Bas keluar, saya lagi makan.”
Belum sampai kaki Kirana mencapai pintu keluar, terdengar suara pintu ruangan Sebastian dibuka.
“Mau kemana kamu ?” Tegur Sebastian yang muncul di balik pintu.
“Nggg… mau ke pantri, Pak. Mau makan,” Kirana berbalik badan dan memperlihatkan kotak nasi goreng di tangannya.
“Kenapa tidak makan di sini ?”
“Malu sama Pak Bas,” celetuk Dion sambil terkekeh.
“Malu kenapa ?” Sebastian menoleh menatap Dion dengan wajah bingung.
“Takut reaksi bumbu spesialnya tidak bisa ditahan, Pak,” sahut Dion kembali.
“Memangnya ada bumbu spesial apa ?” Sebastian semakin bingung dengan ucapan Dion.
Kirana langsung melotot menatap Dion sementara pria itu hanya cekikikan. Mulut Kirana komat-kamit mengutuki ucapan Dion.
“Jangan dengerin ucapan Mas Dion, Pak !” seru Kirana.
“Mas Dion ?” Sebastian menatap Kirana dengan alis bertaut membuat Kirana tertawa kikuk.
“Eehhh… iya Pak. Kan Mas Dion lebih tua dari saya,”
ucap Kirana terbata.
“Panggil Dion saja nggak usah pakai embel-embel apapun,” perintah Sebastian sambil menatap Kirana tajam.
“Ngggg… baik Pak,” sahut Kirana sambil menunduk.
Sebastian mendengus kesal dan sempat menoleh menatap Dion sekilas.
“Saya boleh terusin makan dulu ke pantri Pak ?”
“Terserah !” omel Sebastian sambil kembali ke ruangannya.
Awal tujuannya keluar ruang kerjanya ingin memanggil Dion aekaligus melihat Kirana menikmati nasi goreng yang dibawanya.
Mendengar Kirana memanggil Dion dengan sebutan Mas, entah kenapa mendadak hatinya kesal.
Sebastian langsung meraih botol air kemasan di atas mejanya lalu menenggak habis isinya. Dia sendiri bingung dengan perasaannya yang mendadak berubah-ubah.
Sementara di luar ruangan Dion masih tertawa sendiri sedangan Kirana sudah berlalu untuk makan siang di pantri.
“Ada yang mendadak posesif nih,” gumam Dion pada dirinya sendiri di sela tawanya.
Di pantri, Kirana pun sempat memikirkan kenapa Sebastian terlihat begitu kesal mendengar panggilannya pada Dion. Padahal ini bukan pertama kalinya dan sudah berlangsung sejak Kirana bergabung dengan MegaCyber.
“Benar-benar aneh,” gumam Kirana pada dirinya sendiri.
-