Aditiya Iskandar, seorang Menteri Pertahanan berusia 60 tahun, memiliki satu obsesi rahasia—game MMORPG di HP berjudul CLO. Selama enam bulan terakhir, ia mencuri waktu di sela-sela tugas kenegaraannya untuk bermain, bahkan sampai begadang demi event-item langka.
Namun, saat ia terbangun setelah membeli item di game, ia mendapati dirinya bukan lagi seorang pejabat tinggi, melainkan Nijar Nielson, seorang Bocil 13 tahun yang merupakan NPC pedagang toko kelontong di dunia game yang ia mainkan!
dalam tubuh boci
Bisakah Aditiya menemukan cara untuk kembali ke dunia nyata, atau harus menerima nasibnya sebagai penjual potion selamanya?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiat_Df, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Ugh… Lizna… kaki… ku…."
Di sebuah ruangan pribadi dalam kediaman bangsawan, Viscount Darius Andrew duduk di kursinya dengan ekspresi serius. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan sosok bocah yang tadi siang ditemuinya.
Seorang pedagang misterius, seorang pria berusia sekitar 40-an dengan jubah lusuh, berdiri di hadapannya. Tangannya gemetar saat melaporkan apa yang baru saja terjadi di bar kota.
"Tuan Darius, saya bersumpah dengan nama leluhur saya… bocah itu memang bukan anak biasa. Saya melihatnya sendiri. Dia berdiri di atas meja, berbicara dengan cara yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh bangsawan berpengalaman. Kata-katanya… itu seperti seorang pemimpin besar yang membakar semangat pasukannya sebelum perang. Semua orang di sana menjadi liar, seolah mereka adalah pasukan yang siap mati untuknya. Itu bukan pidato seorang anak berumur 13 tahun… Itu…"
Pria itu menggigil, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Darius menatapnya tajam. "Benarkah yang kau katakan?"
Pedagang itu mengangguk cepat. "Saya tidak berbohong, Tuan. Jika ingin tahu lebih banyak, tanyakan saja pada siapa pun di bar tadi! Mereka semua mendengar pidatonya. Bocah itu benar-benar sesuatu yang lain…"
Darius tidak langsung menjawab. Matanya hanya menatap pria itu dengan tajam sebelum akhirnya mengangguk. Sekretarisnya, seorang pria berkacamata dengan ekspresi dingin, mengeluarkan sekantong koin emas dan menyerahkannya kepada pedagang itu.
"Ini upahmu. Pergilah dan jangan ceritakan ini kepada siapa pun," kata sekretaris itu dengan suara dingin.
Pedagang misterius itu mengambil kantong itu dengan tangan gemetar, membungkuk berulang kali, lalu segera pergi dari ruangan itu tanpa menoleh ke belakang.
Setelah pintu tertutup, Darius berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela besar di ruangan itu. Dari jendela, ia bisa melihat langit malam yang gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia pahami.
Ia menghela napas dalam-dalam. "Orang yang selama ini raja cari... ternyata bukan orang sembarangan."
Tangannya mengepal di belakang tubuhnya. Ia mengingat ekspresi raja saat membahas soal ujian itu—ekspresi yang anehnya terasa menyeramkan.
"Raja itu orang yang sangat baik dan bijak. Langkahnya selalu menjadi misteri... Tapi kenapa, setelah sepuluh tahun mencari seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, dia justru tidak ingin bertemu dengannya?"
Darius bergumam pelan, suaranya hampir tenggelam dalam heningnya ruangan.
"Bahkan… semua orang yang terlibat dalam pembuatan soal itu diperintahkan untuk merahasiakan segalanya. Tidak boleh ada yang tahu soal dan jawabannya. Seolah-olah…"
Ia menelan ludah.
"Seolah-olah ini adalah sesuatu yang lebih besar dari apa yang kita semua pahami."
Dalam benaknya, ia teringat senyum dan tawa Raja Edward Maximus VII saat mendengar hasil ujian Nijar.
Darius sudah sering melihat raja tersenyum. Ia tahu persis bagaimana senyum seorang penguasa yang adil dan bijak. Tapi… tawa raja kali ini berbeda.
Tawa itu membuatnya takut.
---
Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya.
Cahaya matahari perlahan menembus celah jendela, menerpa wajah Nijar yang masih setengah terlelap. Namun, saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, ia merasakan sesuatu yang berat menahannya.
Tubuhnya terasa kaku, dan kakinya kesemutan. Ada sesuatu yang menekan dadanya.
Perlahan, ia menoleh ke samping—dan saat itulah ia melihat Lizna, tertidur lelap sambil memeluknya erat.
Wajah kakaknya tampak damai, meskipun rambutnya sedikit berantakan. Nafasnya teratur, namun ada kerutan tipis di antara alisnya, seolah ada kesedihan yang masih tersisa di dalam mimpinya.
Lalu, dari bibirnya yang sedikit terbuka, Lizna bergumam lirih:
"Ibu… Ayah… Kalian melihat pidatonya bukan!?.. Hebat sekali kan.. Nijar di cintai banyak orang.. Ibu dan ayah tida perlu khawatir sekarang…"
Nijar terdiam. Ada perasaan aneh yang menyelip di hatinya.
Dia tahu bahwa dirinya bukanlah "Nijar" yang sebenarnya. Dia hanyalah jiwa orang lain yang masuk ke dalam tubuh ini. Semua kebanggaan dan cinta yang diberikan kepadanya… sebenarnya ditujukan untuk anak yang seharusnya ada di sini.
Apa yang harus dia rasakan?
Namun, ketika melihat Lizna yang tertidur dengan tenang sambil tersenyum tipis, Nijar menghela napas.
Tangannya yang hendak mengguncang bahu Lizna terhenti di udara.
Di dalam hatinya, sesuatu terasa bergolak. Ada kehangatan… tetapi juga kehampaan. Ada kebanggaan… tetapi juga kesedihan yang menyesakkan.
Lizna, yang dengan polosnya bangga dan bahagia atas prestasi adiknya. Lizna, yang mungkin telah menahan kesepian seorang diri selama ini.
Perlahan, Nijar menghela napas panjang. Tangannya turun, bukan untuk membangunkan Lizna, melainkan untuk membiarkannya tetap seperti itu.
"Hanya untuk saat ini…" pikirnya dalam hati.
"Aku akan membiarkan dia memeluk kebanggaan dan kebahagiaannya. Aku akan menjadi Nijar… setidaknya, untuk orang yang sudah melihatku seperti ini."
Ia memejamkan mata lagi.
Di luar, burung-burung mulai berkicau, menyambut pagi yang baru.
Suasana pagi yang damai seketika berubah menjadi kacau.
Lizna terbangun dengan mata terbelalak, wajahnya panik.
"Aaaah! Aku kesiangan!"
Tanpa sadar, dalam kepanikannya, ia meloncat turun dari tempat tidur… tepat di atas perut Nijar.
"UGH!!" Nijar langsung terbangun dengan wajah penuh kesakitan.
Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.
Lizna? Tidak, lebih tepatnya kaki Lizna yang kini menginjak perutnya!
Lizna yang masih sibuk panik sama sekali tidak menyadari keberadaan adiknya.
"Gawat! Aku harus cepat-cepat!" katanya sambil buru-buru berlari keluar kamar.
Sementara itu, Nijar masih tergeletak di tempat tidur, tangannya mencengkeram perutnya yang baru saja diinjak secara brutal.
"Ugh… Lizna… kaki… ku…."
Dia ingin protes, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya mulutnya yang terbuka dan tertutup tanpa suara, seperti ikan yang kehabisan oksigen.
Setelah beberapa menit berusaha menenangkan diri dari rasa sakit yang menusuk-nusuk perutnya, Nijar akhirnya bisa duduk sambil menatap kosong ke langit-langit.
"Aku tidak menyangka… kematianku yang kedua hampir terjadi karena kakakku sendiri…"
———
Beberapa saat kemudian, Nijar sudah berdiri di dalam toko penjahit, masih dengan wajah sedikit lesu.
Lizna, yang kini sudah kembali ke mode kakak penyayang, sedang berbicara dengan seorang penjahit tua tentang seragam akademi untuk Nijar.
"Aku sudah janji beberapa hari lalu, tapi karena semua pesanan menumpuk, baru sekarang mereka bisa membuat seragammu," kata Lizna sambil tersenyum.
Nijar menatapnya sejenak. Lizna bangun pagi-pagi dan terburu-buru bukan untuk dirinya sendiri, tetapi demi dirinya.
Tadi pagi, Lizna mungkin telah menginjaknya seperti karpet usang, tetapi melihat betapa pedulinya kakaknya, semua kemarahannya sirna begitu saja.
Ia mendesah, lalu tersenyum tipis.
"Baiklah… aku maafkan kamu… untuk sekarang."
Lizna hanya tertawa canggung, sementara Nijar kembali mengelus perutnya yang masih terasa nyeri.
Di ujung toko penjahit, seorang gadis seumuran Nijar berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap Nijar dengan sinis.
Saat Nijar menyadarinya dan hendak menatap balik, gadis itu langsung memalingkan wajah dengan mendengus pelan.
"Huh."
Nijar mengerutkan kening. "Siapa dia?" pikirnya, merasa pernah melihat gadis itu sebelumnya.