NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 20

Sartika hanya bisa menunduk, merasa semakin canggung. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini, duduk satu meja dengan seorang pria kaya, di restoran mewah, dengan makanan mahal yang sebentar lagi akan disajikan.

"Jangan terlalu dipikirkan," suara Calvin memecah kebisuannya. "Anggap saja ini makan siang biasa."

Sartika mengangguk pelan, meski tetap sulit merasa santai.

Tak lama, pesanan mereka datang. Pelayan meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Sartika, dan steak untuk Calvin. Aroma harum makanan itu membuat perutnya semakin lapar.

"Silakan makan," ujar Calvin santai, mulai memotong steaknya.

Sartika menggenggam sendok dan garpu dengan ragu, tapi akhirnya ia mulai makan. Suapan pertama langsung membuatnya terkejut, rasa nasi gorengnya jauh lebih enak daripada yang pernah ia makan sebelumnya.

Calvin mengamati reaksi Sartika dari seberang meja. "Enak?"

Sartika buru-buru menelan makanannya dan mengangguk. "Iya, sangat enak, Pak. Terima kasih."

"Sudah kubilang, jangan terlalu formal. Panggil saja aku Calvin," katanya sambil menyesap minumannya.

Sartika terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Baik... Calvin."

Nama itu terasa asing di lidahnya, tapi Calvin tersenyum tipis, tampak puas.

Mereka melanjutkan makan dalam keheningan yang nyaman.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa minuman. Segelas jus jeruk diletakkan di depan Sartika, sementara Calvin mendapatkan segelas kopi hitam.

Sartika menggenggam gelasnya dengan hati-hati, menatap cairan oranye cerah itu sejenak sebelum menyeruputnya pelan. Rasa segar dan sedikit asam langsung menyentuh lidahnya, membuatnya merasa lebih rileks.

"Jus jeruknya enak?" tanya Calvin, sekadar mengajak bicara.

Sartika mengangguk kecil. "Iya, segar sekali."

Calvin tersenyum tipis sebelum menyeruput kopinya. Aroma kopi hitam yang kuat langsung tercium, menciptakan suasana tenang di antara mereka.

Sesekali, Calvin melirik ke arah Sartika yang masih tampak canggung. Ia tahu betul bahwa wanita itu belum terbiasa dengan suasana seperti ini.

"Kau tidak perlu terlalu tegang," ujar Calvin akhirnya. "Aku hanya ingin makan siang dengan seseorang, bukan menginterogasimu."

Sartika tersenyum kaku, merasa sedikit malu karena sejak tadi ia memang terlalu berhati-hati.

"Maaf, aku hanya... belum pernah makan di tempat seperti ini."

Calvin mengangguk, seolah mengerti. "Tak apa. Kau akan terbiasa nanti."

Sartika terdiam. Kata-kata Calvin terdengar aneh baginya, seakan-akan ini bukan pertama dan terakhir kalinya ia akan mengalami hal seperti ini.

Apa Calvin berniat terus membawanya ke tempat seperti ini?

Sartika tidak tahu harus merasa senang atau justru khawatir.

Ia kembali menikmati makanannya dengan tenang. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik saat pikirannya melayang pada sebuah foto yang dilihatnya di rumah Calvin—foto seorang wanita berdiri di sisi Calvin, dengan pria itu memeluknya erat.

Keraguan mulai menyelinap dalam benaknya, membuatnya tak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Apakah saya boleh bertanya sesuatu?"

Calvin mengangkat wajahnya sejenak sebelum kembali fokus pada potongan steak di piringnya. "Tentu, silakan."

Ia menelan ludah, berusaha merangkai kata-kata dengan hati-hati. "Saya melihat sebuah foto di rumah Anda… foto seorang wanita bersama Anda."

Calvin menghentikan gerakannya sesaat, tetapi ekspresinya tetap tenang.

"Saya hanya ingin tahu, siapa dia?" lanjutnya, suaranya terdengar sedikit ragu. "Saya tidak ingin kehadiran saya di rumah Anda menimbulkan masalah, terutama jika dia adalah bagian dari keluarga Anda… seorang istri."

Ia menarik napas dalam sebelum menambahkan dengan nada lebih pelan, "Karena saya melihat, dalam foto itu, Anda dan wanita tersebut mengenakan pakaian pengantin."

Calvin terdiam sejenak, tatapannya berubah sedikit suram mendengar pertanyaan itu. Ia meletakkan gelas kopinya perlahan, lalu menatap Sartika dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Sartika menggigit bibirnya, merasa ragu apakah ia baru saja menyinggung sesuatu yang seharusnya tidak ia tanyakan. "Maaf, saya tidak bermaksud kepo atau ikut campur. Saya hanya tidak ingin kehadiran saya malah menjadi masalah jika dia..."

"Dia bukan istriku," potong Calvin, suaranya terdengar datar, tetapi ada beban di dalamnya.

Sartika menatapnya dengan penuh tanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Calvin menghela napas pelan, lalu bersandar ke kursinya. "Namanya Hazel. Dia... seharusnya menjadi istriku. Kami sudah bersiap untuk menikah, tetapi...." ia berhenti sejenak, seperti menelan kepedihan yang kembali menyeruak. "Dia meninggal sebelum pernikahan kami terjadi."

Sartika membelalakkan mata. "Meninggal?"

Calvin mengangguk, menatap lurus ke meja, seolah enggan mengingat kenangan itu. "Dia sakit, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hari itu seharusnya menjadi hari bahagia kami, tapi justru berubah menjadi hari yang paling menyakitkan dalam hidupku."

Sartika tak tahu harus berkata apa. Ia bisa merasakan duka yang masih membekas di hati Calvin.

"Saya turut berduka cita," ujarnya pelan, tulus dari lubuk hatinya.

Calvin hanya mengangguk kecil, lalu mengambil napas panjang, seolah ingin mengakhiri pembicaraan ini. "Jadi, kau tidak perlu khawatir. Tidak ada wanita lain di rumah itu. Tidak ada istri, tidak ada yang akan mempermasalahkan keberadaanmu di sana."

Sartika masih menatapnya dengan hati-hati. "Tapi... bukankah itu justru lebih berat?" tanyanya pelan.

"Hidup di rumah yang penuh kenangan tentang seseorang yang sudah tiada?"

Calvin menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip kepahitan. "Mungkin. Tapi itu juga satu-satunya cara agar aku tetap merasa dia masih ada, walau hanya dalam kenangan."

Sartika tidak bisa membalas. Ia hanya menunduk, menyadari bahwa pria di hadapannya ini tidak hanya kaya dan tampan, tetapi juga menyimpan luka yang begitu dalam.

Calvin menyadari perubahan ekspresi Sartika. Ia menegakkan tubuhnya dan berusaha tersenyum, meski samar. "Sudahlah, kau tidak perlu ikut terbebani. Makanlah, aku tidak ingin traktiran ini sia-sia."

Sartika mengangguk pelan, lalu kembali menyuap makanannya, meski kini rasanya tak lagi seistimewa tadi.

Setelah selesai makan, Calvin membayar tagihan dan mereka pun keluar dari restoran. Udara luar terasa lebih segar dibanding suasana hati yang masih sedikit muram.

Dalam perjalanan kembali, Sartika menatap keluar jendela mobil, pikirannya melayang. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam tentang Calvin yang belum ia ketahui. Pria itu terlihat begitu berwibawa dan tegas, tetapi di baliknya, ia menyimpan kesedihan yang begitu mendalam.

"Calvin," panggil Sartika pelan, memberanikan diri berbicara.

"Hm?"

"Boleh aku bertanya sesuatu lagi?"

Calvin meliriknya sekilas sebelum kembali fokus mengemudi. "Tanya saja."

Sartika mengusap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuannya. "Kenapa kau menolongku?"

"Kenapa kau menanyakan hal itu lagi?" Calvin menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan.

Sartika menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya ingin tahu alasan sebenarnya. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan karyawan penting di perusahaanmu, bukan teman, apalagi keluarga. Tapi kau tetap membantuku, memberiku tempat tinggal, bahkan pekerjaan."

Calvin terdiam sejenak. Roda mobil meluncur mulus di jalan raya, sementara pikirannya mencari jawaban yang tepat.

"Aku tidak tahu pasti," ujarnya akhirnya. "Mungkin karena aku melihat sesuatu dalam dirimu, dan aku juga merasa bersalah telah memarahimu saat itu."

Sartika menatap Calvin dengan tatapan bingung. "Merasa bersalah?"

Calvin mengangguk kecil, tetapi tatapannya tetap fokus ke jalan. "Hari itu... aku marah, bukan hanya karena kau melamun di tengah jalan, tapi juga karena aku melihat sesuatu dalam dirimu."

Sartika menelan ludah. Ia masih ingat kejadian itu. Saat itu, pikirannya benar-benar kosong. Ia tidak peduli pada dunia di sekelilingnya.

"Aku melihat seseorang yang sudah kehilangan arah," lanjut Calvin pelan. "Dan aku tahu perasaan itu."

Sartika terdiam. Kata-kata Calvin menggema di hatinya.

"Aku juga pernah merasa seperti itu," tambah Calvin dengan suara lebih dalam. "Hidup, tapi tidak benar-benar merasa hidup. Bertahan, tapi tidak tahu untuk apa."

Sartika menunduk, jemarinya saling bertaut. Ia tidak menyangka pria seperti Calvin bisa memahami perasaan yang selama ini ia pendam sendiri.

"Jadi, ketika aku melihatmu dalam kondisi itu... aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja," kata Calvin lagi.

"Mungkin, aku hanya ingin memastikan kau punya kesempatan kedua, seperti yang seharusnya dimiliki semua orang."

Hati Sartika terasa hangat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada yang pernah peduli padanya sejauh ini, apalagi seorang pria seperti Calvin.

"Terima kasih," katanya lirih, tetapi penuh makna.

Calvin meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. "Jangan berterima kasih dulu. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar membantumu atau justru menyeretmu ke dalam masalah lain."

Sartika tertawa kecil, meski tidak sepenuhnya yakin apakah ucapan Calvin itu hanya bercanda atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya.

Mobil terus melaju di jalan, membawa mereka kembali ke kantor Calvin. Namun, di dalam hati Sartika, sesuatu perlahan berubah, perasaannya kepada Calvin.

Saat mobil Calvin memasuki area parkir kantor, beberapa karyawan yang kebetulan berada di sekitar gedung mulai melirik ke arah mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan keterkejutan, bahkan ada yang langsung berbisik satu sama lain.

Calvin turun lebih dulu, kemudian Sartika menyusul dengan ragu. Ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang mengarah padanya, membuatnya sedikit canggung.

Begitu Calvin dan Sartika memasuki kantor, suasana seketika berubah, semakin mencekam.

Beberapa karyawan yang melihat mereka saling berbisik, terutama saat menyadari ekspresi wajah Calvin yang tampak sedikit berbeda dari biasanya.

Nadine, asisten Calvin, berdiri di dekat ruangannya. Matanya langsung tertuju pada Sartika, yang berjalan sedikit di belakang Calvin. Ada keraguan di wajahnya, seolah bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.

"Pak Calvin," sapa Nadine hati-hati. "Rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam dua puluh menit."

Calvin mengangguk singkat. "Baik. Aku akan segera ke sana."

Nadine melirik Sartika sekilas sebelum menunduk hormat dan kembali ke mejanya. Dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa Calvin membawa Sartika makan siang bersamanya.

Sartika yang menyadari tatapan-tatapan itu merasa semakin canggung. Ia tahu posisinya hanya seorang OG di kantor ini, dan tentu saja, semua orang pasti bertanya-tanya mengapa ia bersama bos besar mereka.

"Aku akan kembali bekerja, Pak," ucap Sartika pelan, mencoba menjaga batas.

Calvin menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Lakukan pekerjaanmu dengan baik."

Sartika tersenyum tipis sebelum bergegas kembali ke tugasnya, sementara Calvin berjalan menuju ruang rapat.

Namun, di sudut ruangan, Nadine masih memperhatikan mereka. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan antara Calvin dan Sartika.

“Bisa-bisanya Pak Calvin membawa OB makan siang bersamanya,” gumam salah satu karyawan pelan, tapi cukup terdengar oleh rekan-rekannya, dan juga Nadine.

“Iya, aneh banget, kan? Baru setengah hari kerja, tapi sudah dekat dengan bos,” sahut yang lain, setengah berbisik.

Nadine yang mendengarnya semakin marah.

"Kenapa tuh, Bu Nadine wajahnya tiba-tiba tegang?" bisik seorang karyawan yang menyadari perubahan ekspresi Nadine.

"Aku juga nggak tahu. Tapi lihat tuh, dari tadi dia diam saja sambil memperhatikan Pak Calvin dan Sartika," sahut yang lain, menoleh sekilas ke arah Nadine yang masih berdiri di tempatnya.

Nadine mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi yang mulai membara. Ia tidak suka melihat pemandangan ini. Calvin, pria yang selama ini bekerja bersamanya, pria yang ia kagumi, tiba-tiba membawa seorang OB makan siang bersama, bahkan tampak begitu santai dengan wanita itu.

Sartika? Kenapa harus dia?

Akhirnya Nadine, berbalik dan berjalan cepat menuju ruangannya.

Para karyawan saling bertukar pandang. "Gawat, Bu Nadine marah," bisik salah satu dari mereka.

"Tapi dia marah ke siapa? Ke Pak Calvin atau ke Sartika?"

Tak ada yang bisa menjawab, tetapi satu hal yang pasti, hari ini, semua mata di kantor mulai tertuju pada Sartika.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!