Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
“Nikahan siapa, Yang?” tanya Melly dan Nata berbarengan..
Hangga hampir tersedak air liurnya sendiri mendengar pertanyaan mematikan itu.
“Eng, itu ... kayaknya bukan acara pernikahan. Mungkin acara selamatan aja,” jawab Hangga berusaha setenang mungkin.
“Oh, gitu. Berarti waktu itu lu ada di sana ya. Tahu gitu sih gue sama Jeremi mampir ke rumah lu,” sahut Melly.
“Waktu itu kayaknya gue lagi enggak pulang deh. Gue ada di sini,” kata Hangga mencoba beralibi.
“Oh, gitu.” Melly mangut-mangut.
“Ya udah, Mel, kita jalan dulu ya, takut kemalaman,” ujar Hangga memilih mengakhiri obrolan yang membuatnya gelisah.
“Dih, anak bujang takut sama kemalaman, kayak anak perawan aja,” ledek Melly.
Ketiganya kompak tertawa.
“Thanks ya, Mel. Salam buat Jeremi,” ujar Nata lalu diulangi lagi oleh Hangga. Melly menyahut dengan anggukan.
“Dadah babay.” Nata dan Hangga melambaikan tangan kepada Melly.
“Dedeh bebey.” Melly balas melambaikan tangan sembari tertawa.
Tidak berlama-lama, Hangga segera melajukan mobilnya. Bersiap merayap dalam kemacetan perjalanan Tangerang – Jakarta.
Bersama Nata yang duduk di sampingnya, perjalanan sejauh apa pun akan selalu menyenangkan. Canda, tawa, gelak dan manja menemani perjalanan mereka. Berbeda dengan perjalanan Cilegon-Tangerang bersama Harum dua minggu yang lalu yang penuh aroma kecanggungan sekaligus perasaan tidak nyaman.
Saat kumandang azan magrib menggema, mobil yang dikendarai Hangga telah masuk kota Jakarta. Hangga menghentikan mobilnya di sebuah masjid untuk menunaikan salat Magrib. Sementara Nata duduk menunggu di selasar masjid.
Begitulah mereka, saling bertoleransi dengan perbedaan yang ada.
Selepas salat, Hangga mengajak Nata makan malam di sebuah restoran steak favorit mereka saat masih kuliah dulu.
Hangga dan Nata dulu kuliah di kampus yang sama di Jakarta, meskipun berbeda jurusan. Hangga kuliah jurusan teknik komputer, sedangkan Nata mengambil jurusan akuntansi. Hangga adalah kakak tingkat Nata saat kuliah dulu.
Pertemuan pertama mereka terjadi di kampus. Sore itu, Hangga dibuat geram saat memergoki sepasang kekasih tengah bertengkar hebat di gedung belakang kampus yang sepi.
Hangga melihat sang pria tengah memaki-maki sambil menjambak rambut kekasihnya.
“Aww, sakit. Tolong lepasin, sakit!" Gadis itu merintih kesakitan dengan berurai air mata. Kepalanya sampai terdongak karena sang pria menarik rambut belakangnya dengan kasar.
Pria itu tampak tidak peduli, bahkan semakin beringas. Tangan kirinya menjambak rambut belakang sang gadis, sementara tangan kanannya mencengkeram wajah gadis itu dengan kuat.
Hangga yang sedang fokus mengerjakan tugas kuliah di taman belakang kampus kala itu, seketika perhatiannya teralihkan pada dua orang yang menurut dugaannya adalah sepasang kekasih.
Ia berjalan cepat menghampiri dua orang itu lalu berseru lantang, “hey, lepasin dia!"
Pria itu tampak mengabaikan seruan Hangga. Tanpa rasa segan, ia tetap mempertahankan posisinya yang tengah mencengkeram sang gadis.
"Tolong, sakit," lirih gadis cantik itu.
"Lu enggak dengar apa, cewek lu kesakitan!" seru Hangga.
"Jangan banyak bacot lu!" sahut pria itu.
Hangga tertawa mengejek. "Dasar cowok banci, beraninya sama cewek."
Pria berkulit putih itu mulai terpancing dengan ucapan Hangga sehingga melepaskan cengkeramannya pada sang gadis.
“Gue gak ada urusan sama lu. Jadi, jangan ikut campur urusan kami!” hardik pria berwajah oriental yang mengenakan almamater sama dengan yang dipakai Hangga.
“Tentu saja gue berhak ikut campur. Gue anak kampus ini, lu anak kampus ini, cewek itu anak kampus ini dan lu melakukan kekerasan masih di area kampus ini. Sekarang lepasin cewek itu atau gue akan ....”
Pria itu maju dan berdiri menantang Hangga.
"Atau lu mau apa, Hah?” Hardik pria itu sembari mendorong tubuh Hangga.
Beruntung Hangga telah sigap. Kedua kakinya sama sekali tidak bergeser, hanya bahunya yang sedikit terdorong ke belakang. Kemudian tanpa diduga, pria itu langsung menyerang Hangga.
Perkelahian antara dua pria itu tak dapat dihindarkan. Berbekal ilmu bela diri dari kecil, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Hangga untuk dapat melumpuhkan pria yang tingginya masih di bawah Hangga.
“Terima kasih,” ucap sang gadis cantik berwajah oriental kepada Hangga.
Pria yang mengasari si gadis itu langsung pergi setelah dilumpuhkan Hangga.
“Sama-sama,” balas Hangga.
“Kenalkan, namaku Nata, nama kamu siapa?” Gadis itu mengulurkan tangan.
Ya, gadis yang dianiaya kekasihnya itu adalah Nata.
“Aku Hangga.” Hangga menyambut uluran tangan gadis yang memiliki kriteria fisik sesuai impiannya itu sembari tersenyum.
Jatuh cinta pada pandangan pertama, itulah yang dirasakan Hangga. Di matanya, Nata adalah definisi dari kata "cantik".
Cantik adalah Nata.
No debat.
“Memangnya ibumu bikin acara selamatan apa?” tanya Nata saat sedang menunggu pesanan steak mereka datang.
“Ya?” Pertanyaan Nata menyudahi ingatan Hangga tentang pertemuan pertamanya dengan Nata.
“Ibumu selamatan apa?” ulang Nata.
“Oh, itu. Aku ... enggak tahu.” Hangga menjawab tanpa berani menatap Nata.
Bukan karena takut Nata mengetahui rahasianya, tetapi sungguh ia pun sangat terluka dengan keadaan ini.
"Yang."
"Hemm."
“Apa ayah dan ibumu masih menentang hubungan kita?” Nata bertanya lirih.
Hangga bergeming beberapa jenak memandangi perempuan pujaannya. Jika membahas soal hubungan cinta mereka, lidah Hangga sering kelu karena tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun bukan tipe laki-laki yang mengobral murah janji manis.
“Mungkin sebaiknya kita tidak usah membahas hal itu sekarang,” sahut Hangga.
Nata mengembuskan napas pelan. Membahas masalah cintanya bersama Hangga memang tiada pernah berujung. Tidak ada solusi yang dapat ditempuh untuk menyatukan cinta mereka.
Daripada pusing membahas dilema cinta yang mendera, lebih baik berfoto selfi. Begitu pikir Nata. Kemudian ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas.
“Foto yuk, Yang!” ajak Nata.
“Enggak." Hangga menggelengkan kepalanya. Seperti biasanya, pria berwajah tampan manis itu menolak berfoto.
“Enggak di upload di medsos kok, buat koleksi galeriku aja,” bujuk Nata.
Ia sudah hafal, kekasihnya itu paling anti difoto apalagi sampai di upload ke sosial media. Hangga bahkan tidak memiliki akun sosial media atas nama dirinya.
“Bener?”
“Iya.”
“Janji?”
“Iya.”
Nata menggeser duduknya mendekati Hangga, lalu mulai berfoto dengan berbagai macam gaya.
“Foto pakai ponsel kamu juga dong, Yang,” ujar Nata.
“Sebentar, hape aku ada di tas.” Hangga mengeluarkan ponsel dari dalam tas kerjanya.
Saat Hangga mengusap layar ponselnya, ia mendapati notifikasi beberapa panggilan terjawab dari Bu Mirna. Melihat dari riwayat panggilan, ibunya itu menelepon sekitar satu jam yang lalu. Diperkirakan Hangga tengah salat Magrib saat itu.
Selain panggilan telepon, Bu Mirna juga mengirimkan sebuah pesan.
[Hangga, bagaimana soto buatan Harum? Enak ‘kan?]
Hangga bergeming membaca pesan Bu Mirna.
Ia lupa jika telah berjanji untuk makan malam bersama seseorang yang menunggunya di rumah. Siapa lagi kalau bukan Harum. Istri yang dinikahinya dua minggu lalu.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu