Fimi Klarisa seorang designer muda dengan karir cemerlang. Namun, kehidupan pribadinya tak semanis karirnya, karena di usianya yang masih muda, ia harus menjadi single parent untuk putra kecilnya, Firdaus Iskandar.
"Firdaus segalanya bagiku, hingga tak ada waktu bagi diriku untuk berbagi hati dengan orang baru."
Fimi Klarisa
Davanka Pramudya adalah seorang pengusaha sukses, yang sudah insyaf menjadi seorang Playboy, setelah sang mantan kekasih berubah menjadi kakak iparnya. Namun, sebuah pertemuan tak sengaja dengan seorang wanita muda yang ternyata ibu dari salah satu anak di sekolah keponakannya kembarnya, membuat hati pria itu tak karuan.
"Apa iya gue mencintai istri orang? Please, Dav lo emang patah hati, tapi nggak usah jadi perebut istri orang juga."
Davanka Pramudya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma Marmaningrum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Penghianat
Saat ini Dava sedang berada di restoran cepat saji. Keponakan kembarnya ingin membeli burger dan eskrim kesukaannya. Tentu saja Dava selalu menuruti keinginan mereka. Demi menebus kesalahannya di masa lalu pada sang abang, Dava selalu menyayangi keponakannya dengan tulus, bahkan memanjakan mereka. Walaupun terkadang mendapat omelan dari sang kakak ipar yang membuat kedua putra-putrinya menjadi manja.
Namun, hal itu tak menghalanginya untuk selalu memenuhi keinginan keponakannya itu. Dava membiarkan Aksa dan Ale memakan eskrim dan burger itu sepuasnya. Sementara dirinya hanya memesan kopi dan sibuk dengan benda pipih di tangannya.
Pria itu mengingat kejadian tadi pagi saat bertemu dengan Azrina dan Haris. Dava benar-benar marah saat mendengar penuturan Azrina, apalagi saat terakhir wanita licik itu meminta bantuan Haris. Dava sempat terpukul saat mengira bahwa Haris ada dibalik semuanya. Namun, setelah Haris menjelaskan, Dava tahu bahwa pria itu tak berbohong, tetapi tetap saja kali ini Dava harus lebih hati-hati.
"Apa kamu ada hubungannya dengan kejadian ini, Haris?" tanya Davanka saat mendengar Azrina meminta tolong pada asistennya itu.
"Demi Tuhan, Pak. Saya tidak ada hubungannya dengan kejadian ini, bahkan saya baru tahu wanita ini dari Bapak semalam saat Pak Dava memberikan info mengenai foto rekayasa itu," bantah Haris dengan lantang. Memang Haris adalah asisten baru Davanka, pria itu tentu saja tak mengenal Azrina, karena selama ini Dava pun menutup diri tentang kehidupan masa lalunya.
Walaupun Haris sering menggodanya untuk bermain perempuan, tetapi itu hanya candaan saja karena sebenarnya pria itu juga tidak tahu-menahu mengenai masa lalu atasannya, hanya terkadang Haris mendengar dari karyawan yang menceritakan tentang isu mengenai atasannya itu.
Namun, Azrina terus mencoba menyudutkan Haris, agar pria itu kehilangan pekerjaan seperti dirinya saat itu.
"Kapan kita pernah bertemu, Nona Azrina?" tanya Haris akhirnya.
"Tentu saja saat di club waktu itu, kan? Kamu pergi bersama dengan Dava, kan?" jawab Azrina yang memang salah mengenali orang.
Haris terkekeh mendengar jawaban dari wanita di depannya. Sementara Dava sudah mengetatkan rahangnya karena marah. Marah pada dirinya sendiri, mengapa dulu bisa begitu mencintai wanita di depannya, padahal yang lebih tulus ia tinggalkan. "Bodoh!" gumamnya dalam hati.
"Baiklah terima kasih informasinya, Azrina. Selamat siang!" Dava beranjak dan meninggalkan meja wanita itu, Haris pun mengikuti atasannya dan melemparkan tatapan sinis pada Azrina.
"Untung cewek, kalau cowok udah habis lo sama gue," geram Haris saat keluar dari kafe itu.
Sementara Dava sudah masuk ke dalam mobilnya, Haris menyusul atasannya dengan berlari kecil.
"Pak Dava, bagaimana …."
"Kamu urus saja masalah ini, pokoknya tutup semua media yang memposting foto sialan itu, aku ada urusan lain." Dava memotong ucapan Haris, lalu pergi begitu saja.
Haris hanya mengangguk dan setelah itu pergi menuju mobilnya. "Untung saja Pak Dava nggak jadi sama tuh cewek licik," gumamnya sambil mulai melajukan mobilnya.
Sementara itu, Dava pergi ke suatu tempat yang terdapat danau di sana. Suasananya tenang, pohon rimbun hingga membuat teduh di sekitarnya. Dava duduk di salah satu kursi bayu yang tersedia di sana. Pria itu mengambil batu kecil dan melemparkannya ke danau.
"Apa mungkin ini hukuman gue karena dulu pernah merebut Kia dari Bang Kavin? Atau karena telah menyakiti Arisha?" Dava bermonolog sambil terus melempar batu kecil itu ke danau yang tenang.
Pikirannya terus melayang ke masa lalu, sampai akhirnya, ia sadar harus menjemput kedua keponakannya. Dava duduk di sana selama dua jam, sampai akhirnya beranjak pergi untuk menjemput Ale dan Aksa.
Kembali ke restoran cepat saji. Ale dan Aksa baru saja menghabiskan makanannya. Kedua anak itu terlihat puas.
"Mau tambah lagi?" tawar Dava.
"Nggak Om, Ale udah kenyang." Gadis kecil itu mengusap perutnya.
"Aku masih mau, tapi dibungkus aja, Om. Beliin juga buat mami sama oma mereka pasti seneng," ucap Aksa yang memang lebih dewasa dari Ale.
"Oke. Kalian tunggu di sini ya!" Dava pun beranjak dan memesan kembali untuk orang rumah. Namun, saat berbalik pria itu malah kembali melihat wanita yang sukses membuat hatinya berantakan, padahal pertemuan pertama mereka jauh dari kata berkesan atau manis.
"Eh, maminya Fir ya?" sapa Dava saat wanita itu juga akan memesan makanan di resto ini.
"I-iya, maaf siapa ya?" Fimi terlihat mengerutkan keningnya.
"Saya omnya Ale dan Aksa, kenalkan Davanka." Dava mengulurkan tangannya pada wanita di depannya.
"Oh, iya maaf saya lupa, Fimi." Fimi menyambut uluran tangan pria di depannya. Setelah itu pamit untuk mengambil pesanannya.
Dava tersenyum, dan ia puas karena mengetahui nama wanita cantik itu.
Setelah itu, Dava dan keponakannya pun kembali pulang, begitu juga dengan Fimi.
Hari ini, Dava tidak pergi ke kantor, pria itu terus bermain bersama keponakannya hingga sore hari.
Riri bahkan tak diberi kesempatan untuk bermain bersama kedua putranya. "Sebenarnya mereka itu anak siapa sih? Aku maminya tapi susah banget main sama mereka kalau udah ketemu Dava." Wanita yang selalu cantik itu menggerutu pada Kavindra, sang suami.
"Anak akulah, Sayang. Kok gitu ngomongnya?" jawab Kavindra yang duduk di samping sang istri.
"Lagian bagus juga kalau mereka main sama Dava, biar kita bisa berduaan terus, kita bikin adek buat si kembar yuk!" bisik Kavin yang sukses mendapat cubitan di lengannya.
"Ih, Abang ini di rumah papi, nggak malu apa?" gerutu Riri.
Kavin hanya tergelak, tetapi hal itulah yang membuat Kavin betah bersama sang istri, mendengar omelannya, manjanya, pokoknya semua tentang sang istri.
"Dih mesra-mesraan mulu." Tiba-tiba Dava datang bersama Ale dan Aksa.
"Biarin." Kavin malah mengeratkan pelukannya pada sang istri.
"Mami aku, Papi." Ale berlari dan melerai pelukan Kavin dari Riri kemudian duduk di samping pangkuan sang mami.
"Ale sama Aksa main sama mami dulu ya, Om mau bicara sama papi, oke!" ucap Dava.
"Oke, Om. Besok jadi ya kita berenang." Aksa mengedipkan satu matanya.
"Oke!"
Dava dan Kavin pun pergi ke ruangan lain. Dava mulai menceritakan tentang masalahnya pada sang abang. Mengenai foto dan tentang asistennya. Namun, belum berani menceritakan mengenai pertemuannya dengan istri orang yang membuat hatinya tak karuan.
"Abang pasti bantuin, tenang saja. Masalah Haris, kamu tenang saja, Abang tahu dia bukan pria seperti itu, karena Abang yang merekomendasikan dia untuk perusahaan kamu." pungkas Kavin.
"Oh iya ngomong-ngomong kapan kamu bawa calon ke rumah?"
"Eh, itu …."
"Jangan ditunda-tunda, makin lama kamu tuh makin tua."
"Yang penting ganteng."
"Dih."
Bersambung
Happy Reading
Bau-bau pebinor nih. Tahu kan pebinor itu loh temennya pelakor.
Readers: Tahulah nggak apa-apa kalau pebinornya kaya babang Dava gue mau thor.
Dih si Babang Dava nya yang nggak mau sama elu.
Readers: Timpuk online nih.