Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjadilah Sudah
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.
Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.
Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.
Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.
Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.
Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.
Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.
Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.
Zidan yang sedang mengaji sempat melihat sekilas bayangan melewati depan kamarnya.
Ia berprasangka apakah ada maling masuk kedalam rumahnya.
Ia segera menghentikan mengajinya, dan segera beranjak dari tempat duduknya.
Tungkainya melangkah menuju pintu kamar dan membuka pintu.
Ia berjalan mengendap supaya tidak ketahuan kalau dirinya sedang memantau situasi.
Ia melihat sekeliling namun tidak ada tanda-tanda orang yang berkeliaran di dalam rumahnya.
Zidan mengarahkan tungkainya menuju ke arah dapur.
Terlihat dapur penerangannya hanya sedikit dan terasa remang-remang.
Zidan melihat ada bayangan yang tengah berada di dapur.
Padahal itu adalah Ayana yang sedang berdiri mengambil air minum.
"Jangan bergerak!!" Ucap Zidan yang langsung membekap dari belakang dan menjepitkan tubuhnya pada tubuh orang tersebut.
"Mmppphhhh... " Ayana berusaha untuk melepaskan nya, namun tenaga Zidan cukuplah sangat kuat.
"Jangan kabur kamu!" ucap Zidan kembali.
Ayana mencoba melepaskan dan memutar tubuhnya agar dapat menghadap ke arah Zidan, supaya Zidan dapat melihatnya.
"Mmppphhhh, Kak..." Ayana masih tetap berusaha untuk menunjukkan wajahnya agar Zidan dapat melihatnya.
Zidan lalu memperhatikan wajah orang yang telah ia bekap tersebut.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat didepan matanya wajah yang sangat ia kenalinya.
"Zaaa???" Ucap Zidan yang langsung membuka bekapan tangannya pada mulut Ayana.
Zidan langsung meraih kedua pipi Ayana menggunakan kedua tangannya.
"Maaf, Za. Aku tidak tahu. Maaf ya, Za!" ucap Zidan kembali.
Bukan jawaban yang keluar dari mulut Ayana.
Namun Ayana langsung berjongkok lemas dan menitikkan air matanya.
"Kak Zid aku takut. Aku pikir tadi siapa yang sudah membekap aku hikss... " Tangis Ayana pecah sambil mendeprok dilantai dengan lemas.
Zidan yang melihat Ayana seperti itu, langsung meraih kedua pundak Ayana agar segera bangkit dan berdiri.
Gadis yang sangat ia sayangi, sedang berada dihadapannya tampak sedih dan ketakutan.
"Kamu tidak perlu takut, Za. Aku akan selalu berada disampingmu." ucap Zidan yang kembali menyentuh kedua pundak Ayana dengan lembut menggunakan kedua tangannya.
Ayana menatap mata Zidan dengan sangat lekat. Seakan-akan memang Zidan lah penolong dirinya dari setiap marabahaya yang menimpa.
Zidan pun menatap manik mata Ayana.
Jantungnya berdetak sangat kencang. Baru kali ini ia dapat melihat wajah Ayana dengan sangat jelas dan lebih dekat.
Zidan mendekatkan wajahnya ke arah wajah Ayana.
Hembusan nafas keduanya sangat terasa hangat.
Zidan sudah hampir menempelkan bibirnya pada bibir Ayana, hanya tinggal beberapa centi saja.
Sepertinya Zidan akan mendaratkan sebuah ci*man ke bibir Ayana.
Bibir Zidan hampir menyentuh bibir Ayana, namun Ayana segera menyadari akan hal itu. Supaya adegan ciuman tidak terjadi pada Zidan dan dirinya.
Ayana segera mendorong tubuh Zidan, supaya menjauh dari tubuhnya.
"Zaa..!!!" panggil Zidan kepada Ayana.
"Kak, jangan lakukan itu padaku, Kak. Aku dapat merasakan hati Kak Zid. Tapi aku sudah menjadi Isteri orang, Kak. Kalau memang Kak Zid menginginkan aku, mengapa Kak Zid dulu pergi meninggalkan aku?" ucap Ayana dengan kembali menitikan air matanya.
"Aku pergi karna aku menuntut ilmu ke Kairo, Za." Jelas Zidan yang mulai bingung dengan perasaannya.
"Mengapa Kak Zid tidak memberitahu aku terlebih dulu, mengapa kak Zid pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan aku? Kak Zid tahu tidak? Aku sangat kehilangan Kak Zid saat itu. Kak Zid tahu tidak? Aku sangat membutuhkan Kak Zid. Aku menangis setiap hari merindukan kamu. Bahkan kamu sedikit pun tidak ada mengirim kabar atau mengirim surat untukku. Aku cukup tersiksa Kak." Ungkap Ayana sepenuh hatinya ditambah isak tangisnya.
Zidan semakin bingung dengan perasaannya saat ini.
"Maafkan aku, Za. Aku telah bersalah kepadamu. Aku tidak berpikir sejauh itu, Za." Mohon maaf Zidan untuk Ayana.
"Semua sudah terlambat Kak, aku sudah menjadi milik orang lain. Padahal yang aku nantikan adalah Kak Zid. Tapi Kak Zid sama sekali tidak peka akan hal tersebut." Tangis Ayana pecah dengan isakan yang lebih mendalam. Matanya kembali sembab dan sedikit bengkak.
Suara petir dan hujan diluar sana tampak mengerti sekali dengan perasaan Ayana saat ini.
Zidan terdiam dan terpaku. Ia bingung harus berbuat apa, karena memang mungkin semua ini adalah salahnya.
Ayana membalikkan tubuhnya dan akan beranjak meninggalkan Zidan yang masih mematung.
Namun tungkainya terhenti ketika tangan Zidan lebih dulu mencekal tangan Ayana dan menariknya hingga tubuh Ayana terhempas ke pelukan Zidan.
Tanpa basa-basi dan dengan cepat Zidan langsung mendekatkan wajahnya ke arah wajah Ayana dan segera mel*mat bibir Ayana dengan sangat lembut.
Ayana langsung terbelalak. Seketika jantungnya berdebar kencang.
Ayana mencoba melepaskan dan mendorong tubuh Zidan, namun rupanya akan sangat sia-sia. Karena tenaga Zidan lebih kuat dari tenaga Ayana.
Zidan masih terus mel*mat bibir Ayana dengan lembut, ia meluapkan semua emosi dan hasratnya saat itu juga.
Karena ia yakin, kesempatan tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.
Zidan yakin, Ayana juga sangat menyayangi dirinya.
Karena cinta mereka tumbuh ketika mereka masih remaja. Bahkan ketika sudah dewasa, mereka dipertemukan kembali.
Namun, dengan situasi dan keadaan yang sudah jauh berbeda.
Zidan menyudahinya, ia beralih memeluk tubuh Ayana.
Zidan semakin mengeratkan pelukannya, hingga membuat tubuhnya dan tubuh Ayana menempel tanpa celah sedikitpun dalam beberapa detik saja.
Zidan mendorong tubuh Ayana secara perlahan untuk Ayana dapat bersandar di dinding dapur.
Ciuman pertama Zidan ia persembahkan spesial untuk Ayana.
Yang sebelumnya belum pernah Zidan rasakan, namun rupanya ia cukup mahir dalam melakukannya.
Ayana terdiam, ia bingung harus marah, takut, sedih atau bahagia atas perlakuan Zidan terhadapnya.
"Za, kamu ikhlas melakukan hal ini untukku?" Zidan bertanya kepada Ayana untuk memastikannya.
Ayana menunduk dan tetap membisu.
"Kenapa, Za?" tanya Zidan kembali.
"Aku bingung, Kak!"
"Bingung kenapa?" Zidan kembali bertanya.
"Karena.. " Ayana sangat berat untuk melanjutkan ucapannya.
"Karena apa, Za?" tanya Zidan penasaran.
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak."