Rian adalah siswa sekolah menengah atas yang terkenal dengan sebutan "Siswa Kere" karna ia memang siswa miskin no 1 di SMA nya.
Suatu hari, ia menerima Sistem yang membantu meraih puncak kesuksesan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - Pernyataan Ayah Liana
"Rian, ayo selfie. Aku mau kirim ke Ayah biar dia buka kartu akses. Sebel deh, dibatasin semua," keluh Liana sambil mengeluarkan ponselnya.
Rian tertawa kecil. "Oke, mau selfie pose gimana?"
"Kita pose ala orang pacaran aja biar ayah percaya."
Liana berdiri dari tempat duduknya dan berpindah ke kursi di sebelah rian.
"Ayo," jawab Rian santai.
Ia lalu merangkul bahu Liana yang sedang duduk, menariknya agar bersandar di pundaknya. Liana, yang awalnya tenang, langsung merasakan wajahnya menghangat. Pipinya memerah, tapi ia tetap diam dan membiarkan foto itu diambil.
Setelah selesai, ia buru-buru ingin duduk di kursinya, tetapi ia tak menyadari kursinya miring. "Ah..!" serunya kaget karena dirinya merasa akan jatuh.
Refleks, Rian dengan cepat menangkapnya sebelum jatuh. Kini wajah mereka sangat dekat, hanya beberapa sentimeter saja.
Liana terdiam, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya yang putih kini memerah padam bagaikan kelopak mawar yang tersentuh sinar mentari pagi, mencerminkan rasa malu yang tak mampu ia sembunyikan.
Liana tetap terpaku di tempatnya, wajahnya masih merah padam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Kenapa seperti ini… Kita kan bohongan," gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri, namun masih terdengar oleh rian.
Rian, yang masih memegangi punggungnya langsung mengangkat alis. "Loh? Ya namanya juga reflek, masa aku biarin kamu jatuh?" katanya santai, lalu membantu Liana berdiri tegak.
Liana buru-buru membuang muka, berusaha menyembunyikan ekspresi gugupnya. "I-iya sih… tapi tetap aja aneh!"
Rian tersenyum kecil. "Santai aja, hanya kecelakaan kecil aku malah khawatir kamu terluka" Ucap Rian
Rian tak menyadari arti dari perkataannya yang ambigu.
Ia lanjut memakan roti croissant yang tinggal sedikit dan membuka sistem melihat - lihat daftar toko grosir sistem.
Liana mendengar hal itu wajahnya memerah kembali muncul dan ia memaksakan untuk berjalan duduk kembali ke kursi yang berhadapan dengan rian sebelumnya.
Ia mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya yang dag-dig-dug sebelum membuka galeri ponselnya.
Tanpa banyak pikir, ia langsung mengirimkan foto tadi ke ayahnya dengan pesan singkat:
"Ayah, ini pacarku. Jangan Jodohin aku lagi, Buka kartu aksesnya sekarang, ya."
Setelah menekan tombol kirim, Liana meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia melirik ke arah Rian yang memakan roti dan sesekali minum es iced americano.
"Tampan" Gumam pelan yang hanya bisa di dengarnya.
Setelah beberapa detik memandanginya, bunyi notifikasi dari hapenya liana mengganggu lamunannya.
Terlihat ayahnya mengirimkan pesan "
"Ajak pacarmu datang ke rumah,
ayah dan ibu mau lihat."
Mata Liana sedikit melebar sebelum ia menghela napas panjang. "Hah… ini makin ribet aja."
Rian, yang mendengar notifikasi hapenya liana yang cukup besar langsung mengalihkan pandangannya ke liana dan terlihatlah ekspresi Liana saat ini yang
terkejut lalu menghela napas singkat,
Rian penasaran. "Kenapa? Kenapa kamu begitu?
Liana menyerahkan ponselnya ke Rian agar ia bisa membaca sendiri. Setelah melihat pesan itu, Rian langsung tertawa kecil. "Wah, sekarang aku harus audisi jadi pacar yang baik, nih?"
Liana mendelik. "Jangan bercanda! Ini serius. Kalau Ayah sampai curiga, rencana kita bisa gagal."
Rian mengangkat bahu santai. "Yaudah, kalau gitu kita atur strategi. Aku harus jadi pacar idaman buat sementara waktu, kan?"
Liana memijat pelipisnya, merasa sedikit pusing. "Iya… dan pastikan kamu nggak bikin kesalahan, oke?"
Rian tersenyum. "Tenang aja. Aku profesional dalam hal begini." Ucap Rian merasa yakin.
Liana hanya bisa berharap semuanya berjalan lancar saat mereka bertemu dengan ayahnya nanti.
Rian kembali meminum ice americano nya dan mulai menyadari bahwa iya tak ada yang bisa di jadikan keunggulan diri.
Ia langsung bertanya "Liana, tapi kan aku belum ada usaha pasti… Gimana kalau nanti ayahmu ga setuju?" ujar Rian, sedikit khawatir.
Liana terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tenang aja. Aku bisa bantu ngeyakinin Ayah. Yang penting kamu punya rencana jelas. Jangan kayak orang yang cuma modal nekat doang." Ucap Liana.
Rian menggaruk kepalanya. "Ya aku emang nekat, sih."
Liana menatapnya tajam. "Kamu ini jangan becanda. Kita harus bikin ini meyakinkan. Minimal kamu harus bisa ngomongin konsep usahamu dengan percaya diri."
Rian menghela napas panjang. "Oke, oke… Berarti aku harus siapin omongan dulu sebelum ketemu Ayah kamu."
Liana mengangguk puas. "Nah, itu baru bener. Jangan sampai kita gagal cuma gara-gara kamu nggak siap."
Rian tersenyum kecil. "Baik, Nona. Aku akan bersiap sebaik mungkin."
Liana mendecak pelan. "Bagus. Sekarang kita tinggal nentuin kapan kamu ke rumah."
Emang ayahmu gak ngasih tahu?" Ucap Rian.
Liana melihat ponselnya lagi, lalu menghela napas. "Hmm… iya juga. Ayah nggak bilang kapan harus datang."
Ia langsung mengetik pesan balik ke kontak ayahnya:
"Kapan aku harus bawa pacarku ke rumah, Yah?"
Setelah mengirim, ia meletakkan ponselnya di meja dan menatap Rian dan berkata. "Yaudah, kita tunggu aja balasan Ayah dulu. Sambil nunggu, mending kamu siapin konsep usaha kamu biar nggak keliatan asal-asalan nanti."
Rian mengangguk. "Bener juga. Aku harus bikin rencana yang keliatan meyakinkan, biar Ayahmu percaya sama aku." Ucap Rian.
Liana tersenyum tipis. "Nah, harusnya begitu, serius, baru benar ini pacar pura - puraku." Candanya.
Mereka pun menunggu balasan dari ayah Liana sambil membahas konsep usaha Rian agar terlihat lebih matang.
Liana yang baru saja selesai mengobrol membahas rencana usaha rian secara kasarnya.
Ia mendengar bunyi notifikasi dari ponselnya
Liana langsung mengambil ponselnya karna ia menunggu balasan dari ayahnya dan mungkin itu pesan dari ayahnya.
Ia membuka ponselnya dan terlihat chat dari ayahnya "Bawa dia ke rumah, sekarang!"
Mata Liana sedikit melebar, dan ia langsung menunjukkan pesan itu ke Rian. "Yah… kelihatannya kita nggak punya waktu buat nyiapin rencana lebih lama."
Rian membaca pesan itu dan tertawa kecil. "Wah, langsung sekarang? Ayahmu nggak main-main, ya."
Liana menghela napas panjang. "Memang. Makanya kita harus siap-siap sekarang juga. Aku nggak mau dia curiga."
Rian berdiri sambil merapikan pakaiannya. "Yaudah, ayo kita berangkat. Kita hadapi ini dengan percaya diri!" Ucap Rian
Liana ikut berdiri, masih merasa sedikit gugup. "Pastikan kamu nggak bikin kesalahan, ya. Kalau Ayah sampai curiga, habis kita."
Rian tersenyum santai. "Tenang aja, percayakan padaku."
Liana hanya bisa berharap semuanya berjalan lancar saat mereka tiba di rumah.
"Kamu bawa kendaraan?" tanya Liana sambil melirik Rian.
"Nggak, aku naik ojek tadi kesini" jawab Rian santai.
Liana menghela napas. "Yaudah, naik mobil aku aja. Lagian kita juga agak jauh perginya, ke kota seberang."
Rian mengangguk. "Oke, kalau gitu ayo berangkat."
Rian berdiri dari kursinya, dan bersiap untuk pergi namun dihentikan oleh liana.
"Tunggu dulu.."
mohon maaf lahir dan batin