“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Adelia Mengadu
Di sebuah rumah mewah di kawasan Bintaro, langit mendung seakan mencerminkan suasana hati seorang wanita yang baru saja turun dari mobil dengan langkah gontai. Adelia, dengan mata sembab dan wajah kusut, berjalan cepat ke dalam rumah orang tuanya. Begitu melihat pintu utama terbuka, ia langsung masuk tanpa permisi, mencari sosok yang paling ingin ia temui.
"Mama!" seru Adelia begitu lirih, hampir terisak.
Dari arah ruang tengah, Mama Paula yang tengah membaca majalah mode menoleh. Alisnya bertaut melihat putrinya yang tampak berantakan. Tanpa banyak bicara, Adelia langsung memeluk mamanya erat, menangis tersedu-sedu di bahunya.
"Astaga, Adel! Kenapa kamu begini? Ada apa?" tanya Mama Paula khawatir, tangannya mengusap punggung putrinya.
"Mama ... aku nggak kuat lagi! Mas Wira ... dia sudah nggak peduli lagi sama aku!" Adelia terisak, tubuhnya bergetar hebat.
Mama Paula menarik napas dalam. Ia menggiring putrinya ke sofa empuk di ruang tengah dan memberi isyarat pada seorang asisten rumah tangga. "Buatkan teh hangat untuk Nona Adelia."
Setelah duduk, Mama Paula menangkup wajah Adelia, menatap putrinya dalam-dalam. "Sekarang, tenangkan dirimu. Ceritakan semuanya ke Mama. Apa yang terjadi?"
Adelia menundukkan wajahnya, mengusap air mata di pipinya dengan punggung tangan. "Mas Wira mencampakkan aku, Mah ... hanya karena aku sampai sekarang belum bisa memberikan dia anak! Dia memilih wanita lain, menikahi istri adik iparnya sendiri!"
Mata Mama Paula membelalak. "Apa?! Maksud kamu, istri adiknya? Kok Mama nggak tahu? Siapa nama adiknya?"
"Istrinya Ezzar, Mah! Chaca! Wanita itu! Setelah Ezzar meninggal, dia malah menikahi Chaca! Apa Mama nggak lihat betapa kejinya Mas Wira? Aku yang setia menemaninya dari awal, malah dibuang begitu saja demi wanita lain!" Suara Adelia meninggi, kepedihan bercampur amarah melingkupi dirinya.
Mama Paula menggeleng tak percaya. "Ini benar-benar keterlaluan! Apa yang ada di pikiran Wira sampai berbuat seperti itu?!"
"Dia bilang dia mencintai Chaca, Ma! Dia lebih memilih wanita itu dibanding aku! Dan tadi ...." Adelia mengusap air matanya lagi, membuat dirinya terlihat semakin lemah. "Mas Wira bahkan menamparku! Suami yang selama ini aku cintai, yang aku perjuangkan, malah memperlakukan aku seperti sampah!"
Mama Paula mengepalkan tangannya. "Kurang ajar! Bagaimana mungkin dia menampar istrinya sendiri?! Dan ... astaga, Adel, kenapa kamu nggak kasih tahu Mama dari dulu kalau pernikahan kalian seperti ini?! Mama pikir rumah tanggamu selalu harmonis, walau belum ada anak."
Adelia menunduk, bibirnya bergetar seakan menahan kepedihan mendalam. "Aku ... Aku takut, Ma. Aku berharap Mas Wira akan berubah. Aku pikir, aku masih bisa mempertahankan pernikahan ini. Tapi ternyata ... aku salah."
Asisten rumah tangga datang membawa secangkir teh hangat, tapi Mama Paula bahkan tak meliriknya. Ia terlalu marah, terlalu terpancing emosi mendengar cerita putrinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung bangkit dari sofa.
"Mama nggak bisa tinggal diam! Mama harus bicara dengan orang tua Wira! Ini sudah keterlaluan! Mereka harus tahu apa yang dilakukan putra mereka!" ucap Mama Paula tegas, wajahnya merah padam karena amarah.
Adelia yang masih menunduk, tersenyum tipis di balik tangisnya. Rencananya berhasil. Mama Paula benar-benar termakan kebohongannya. Dengan wajah penuh kepura-puraan, Adelia mengangkat kepalanya, menatap mamanya dengan ekspresi lemah.
"Mama mau ke rumah mereka?"
"Tentu saja! Mereka harus tahu kelakuan anak mereka! Bagaimana mungkin mereka membiarkan ini terjadi?!"
Adelia menggigit bibirnya, seolah ragu. "Tapi, Mah ... aku takut. Gimana kalau mereka malah membela Mas Wira?"
Mama Paula mendengus. "Kalau mereka membela Wira, berarti mereka sama buruknya dengan anak mereka! Mama nggak peduli! Kamu anak Mama, dan Mama nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu!"
Adelia menunduk lagi, kembali berpura-pura terisak. Dalam hatinya, ia tertawa puas. Kini, Mama Paula yang akan menjadi senjatanya untuk melawan Wira dan Chaca. Ia hanya tinggal menunggu apa yang akan terjadi setelah mamanya bertindak.
Di sudut ruangan, asisten rumah tangga yang sejak tadi diam-diam mengamati, hanya bisa menggigit bibirnya. Ia tahu Adelia tidak sepenuhnya jujur. Tapi siapa dirinya untuk berbicara? Lagi pula, ini bukan urusannya.
Mama Paula segera mengambil ponselnya dan menelepon suaminya. "Halo, Papa. Kamu di mana? Pulang sekarang! Kita harus bicara dengan orang tua Wira! Ini sudah keterlaluan!"
Di ujung telepon, suara pria paruh baya terdengar bingung. "Ada apa? Kok kamu tiba-tiba marah-marah?"
"Anak kita disakiti, Pah! Wira sudah menikahi wanita lain dan mencampakkan Adel! Kita nggak bisa diam saja!" Kemudian Mama Paula melanjutkan ceritanya persis seperti apa yang diceritakan oleh Adelia.
Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Papa akan pulang. Kita bicarakan ini baik-baik. Tapi, kemungkinan Papa akan menemui Brawijaya terlebih dahulu."
Setelah menutup telepon, Mama Paula kembali menatap Adelia. "Kamu tenang saja, sayang. Mama dan Papa nggak akan membiarkan kamu tersakiti. Wira harus bertanggung jawab atas perbuatannya!"
Adelia mengangguk lemah. "Terima kasih, Mah ..." ujarnya pelan, lalu menunduk dalam, menyembunyikan senyum licik di wajahnya.
***
Di rumah sakit, sejam telah berlalu sejak Wira duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Chaca yang masih terkulai lemah. Sedangkan Papa Brawijaya sejak tadi terpaksa harus kembali bekerja dengan jawaban yang tidak memuaskan.
Efek obat bius yang sebelumnya membuat istrinya terlelap kini mulai berangsur berkurang. Jari-jari Chaca sedikit bergerak, napasnya terdengar lebih teratur. Wira yang sejak tadi tak berkutik, langsung menatap wajah istrinya dengan penuh harap.
Kelopak mata Chaca perlahan terbuka, matanya yang sayu mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup ruangan. Pandangan pertamanya langsung tertuju pada sosok Wira, pria yang selama ini mengisi hidupnya, tetapi juga seseorang yang telah membuat luka dalam di hatinya.
“Chaca .…” Wira berbisik lembut, seakan takut mengganggu istrinya yang baru sadar.
Chaca hanya diam. Matanya tetap menatap Wira, tatapan dingin, penuh kekecewaan. Wira bisa merasakan sesuatu yang berat dalam sorot mata itu, seakan ada ribuan pertanyaan yang ingin dilontarkan Chaca, tetapi tertahan dalam kebisuan.
“Kamu merasa sakit di mana?” Wira mencoba lagi, suaranya masih lembut, penuh perhatian. Tangannya menggenggam erat jemari Chaca yang dingin, berharap istrinya akan merespons.
Chaca mengerjapkan matanya sekali, kemudian menarik napas panjang sebelum perlahan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak menjawab, bahkan tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda ingin berkomunikasi dengan Wira.
Bersambung .... ✍️
selamat dn semangat dok Wira tuk menuju SAMAWA bersama ChaCha dn Aqila....
pak Brawijaya tidak tinggal diam
alih-alih berhasil aksi licik mereka bertiga, pastinya malah semakin malu nantinya
jadinya toh adel bgitu juga karena tekanan dr ortunya supaya bs jd perayu ulung buat manfaatin hartanya wira