NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara takdir dan pilihan

"Cinta tak selalu tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi tentang siapa yang Allah pilih untuk tinggal selamanya."

------------------

Kabar yang Menggetarkan Hati

Sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan singkat di kajian akbar. Arpa merasa hatinya jauh lebih tenang. Ia merasa sudah sampai di titik di mana rindu dan ikhlas berjalan beriringan. Tapi ketenangan itu perlahan terusik oleh satu kabar tak terduga.

Pagi itu, saat Arpa sedang membaca Al-Qur’an di ruang tamu, ponselnya berdering. Nama Nayla muncul di layar.

“Assalamualaikum, Nay!” sapa Arpa sambil tersenyum.

“Waalaikumsalam, Ara!” Nayla terdengar agak heboh. “Araaa! Aku punya kabar penting!”

Arpa tertawa kecil. “Hah? Apa lagi nih? Kamu kok heboh banget.”

“Gimana ya ngomongnya… Pokoknya ini tentang Fathir!” ucap Nayla, membuat jantung Arpa langsung berdebar.

“Fathir? Ada apa?”

“Jadi… temenku yang santri di pondok Fathir bilang kalau Fathir dapat tawaran untuk lanjut studi ke Timur Tengah! Beasiswa penuh!”

Arpa terdiam sejenak, mencoba mencerna kabar itu. Perasaan di hatinya bercampur aduk — ada bahagia, tapi juga ada rasa kosong yang tak bisa dihindari.

“Wah… itu kabar bagus, Nay. Aku… aku senang dengernya,” ucap Arpa, meski suaranya terdengar bergetar.

Nayla yang mengenalnya sangat baik langsung tahu perasaan sahabatnya. “Ara… kamu gapapa?”

“Iya, Nay. Aku gapapa kok. Aku senang Fathir dapet kesempatan sebesar itu,” jawab Arpa, kali ini mencoba lebih meyakinkan.

Tapi setelah panggilan berakhir, Arpa tak bisa menahan air matanya. Ia tahu, jarak yang selama ini sudah cukup jauh, akan semakin tak terjangkau.

---------------------------------

Di Pondok Pesantren

Di pondok pesantren Al-Furqan, Fathir duduk bersama Irwansyah di taman kecil belakang masjid.

“Jadi… lo beneran nerima beasiswa itu, bro?” tanya Irwansyah sambil menyeruput teh hangat.

Fathir mengangguk pelan. “Iya, Yah. Kesempatan ini nggak datang dua kali. Tapi… berat juga ninggalin semua ini.”

Irwansyah mengamati wajah sahabatnya. “Berat ninggalin pondok? Atau… berat ninggalin seseorang?”

Fathir tertawa kecil. “Dua-duanya. Tapi… jujur, yang paling berat itu… meninggalkan Arpa tanpa kejelasan.”

Irwansyah tersenyum tipis. “Lo masih punya waktu, bro. Kalau lo yakin, kenapa nggak bicara langsung?”

Fathir menghela napas panjang. “Gue takut… takut kalau perasaan ini malah jadi beban buat dia.”

Irwansyah menepuk pundaknya. “Kadang, jujur itu bukan soal meminta atau mengungkapkan, tapi tentang memberi kejelasan. Siapa tahu, dengan lo bicara, semuanya jadi lebih ringan.”

Fathir termenung. Ia tahu Irwansyah benar. Tapi apakah ia punya keberanian untuk itu?

-----------------------

Surat yang Tak Pernah Terkirim

Malam harinya, Arpa duduk di meja belajarnya. Di depannya ada sebuah kertas kosong dan pena. Ia ingin menuliskan semua yang ada di hatinya, meski ia tahu surat ini mungkin tak akan pernah terkirim.

"Untuk Fathir,

Selamat atas beasiswamu. Aku tahu ini adalah impianmu, dan aku benar-benar bahagia mendengarnya. Tapi, jujur, hatiku terasa berat. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi rasanya kata-kata tak cukup.

Aku selalu mendoakanmu. Meski mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat, aku percaya doa akan tetap menyatukan kita di langit yang sama.

Kalau memang kamu adalah takdirku, aku yakin Allah akan mempertemukan kita lagi di waktu terbaik. Tapi kalau bukan, semoga Allah menghapus rasa ini tanpa meninggalkan luka.

Arpa."

Air mata Arpa mengalir saat ia menyelesaikan surat itu. Ia melipatnya dan menyimpannya di dalam buku catatannya, seolah menyimpan semua perasaan yang belum siap diungkapkan.

-------------------

Pertemuan Terakhir Sebelum Kepergian

Beberapa hari kemudian, Arpa mendapat pesan dari Nayla.

Nayla: “Ara, besok Fathir berangkat ke bandara. Temanku bilang dia mau ke Timur Tengah dalam dua hari lagi. Kalau kamu mau… ini mungkin kesempatan terakhir buat lihat dia.”

Jantung Arpa berdebar kencang. Ia tahu ini bukan tentang bertemu atau berbicara, tapi tentang melihat dari kejauhan dan merelakan.

Keesokan harinya, Arpa dan Nayla berada di bandara, berdiri di sudut yang cukup jauh dari area keberangkatan. Di sana, Fathir sedang bersama beberapa teman pondoknya, termasuk Irwansyah.

Arpa memperhatikan dari kejauhan. Ia melihat Fathir tersenyum, tapi ada sesuatu di wajahnya — ketenangan yang bercampur dengan kesedihan.

Tanpa sadar, mata mereka bertemu. Jarak yang cukup jauh tak menghalangi mereka untuk saling mengirimkan pesan lewat tatapan. Tidak ada kata, tidak ada gerakan, hanya pandangan yang dipenuhi makna.

Fathir tersenyum tipis dan mengangguk kecil, seolah berkata, “Aku pamit.”

Arpa mengangkat tangan sedikit, membalas dengan isyarat yang sama, “Aku mendoakanmu.”

Tak lama kemudian, Fathir berjalan menuju gerbang keberangkatan. Arpa menunduk, air mata mulai jatuh, tapi kali ini tanpa rasa sesak. Ia tahu, ini saatnya merelakan sepenuhnya.

---

Refleksi Malam Itu

Malam harinya, Arpa duduk di balkon rumah, memandangi langit malam yang penuh bintang.

"Ya Allah, aku ikhlas. Aku pasrahkan semua rasa ini kepada-Mu. Jika memang dia takdirku, aku yakin Engkau akan mempertemukan kami lagi. Tapi jika bukan, aku percaya Engkau punya rencana yang lebih indah."

Di pesawat yang mengudara di atas awan, Fathir juga menutup mata, berdoa dalam hati.

"Ya Allah, jagalah dia. Meski jarak memisahkan, izinkan aku terus mendoakannya dalam diam. Dan jika Engkau mengizinkan, pertemukan kami di waktu terbaik."

---

“Terkadang, cinta bukan tentang bersama saat ini, tapi tentang saling menjaga dalam doa, bahkan ketika jarak memisahkan"

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!