Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : The Trouble King
Jeon Junseok itu tipikal berandalan bertubuh kekar yang tidak hanya membuat kakak kelas menangis, para guru pun sampai angkat minta tolong agar dijauhkan darinya.
Bocah satu ini langganan keluar masuk ruang konseling. Catatan hitamnya banyak, padahal baru kelas satu. Dijuluki "The Trouble King" bukan tanpa sebab.
Tantang Junseok dan dia akan menyambutnya lebih cepat daripada seekor anjing yang mengejar tulang. Dia hobi menindas, tapi dia populer karena selalu menyediakan pertunjukan bernilai hiburan, meski untuk melakukan itu, dia membutuhkan tumbal.
Junseok adalah pemberontak aturan. Dia tidak berjalan masuk ke kelas dengan cara biasa selayaknya orang normal. Dia meluncur di atas skateboard sambil mengumpulkan pujian dari orang-orang yang dilewatinya. Dia suka memelesetkan lagu-lagu, memutar-mutar bola basket dalam kelas pada saat guru-guru tengah menerangkan materi, dan karena dimarahi tidak mempan, ujung-ujungnya dia membuat guru-guru terkena serangan frustasi. Dia senang menindas orang lain, tapi kebanyakan dari penontonnya hanya bisa tertawa melihat ulahnya, tidak ada yang nekat atau mencoba sok jadi pahlawan dengan membela korban-korban yang dia tindas—untuk melindungi diri sendiri.
Mereka cuma penonton biasa dalam tatanan kelompok sosial di sekolah menengah. Fungsi para figuran ini sekedar penikmat dalam pertunjukan apa pun yang disuguhkan Junseok dan kawan-kawannya. Bagi mereka, bisa hidup tenang, bernapas dan menapakkan kaki di kantin saja sudah cukup.
Dalam dunia pukul 14.00, sebelum kelas agama dimulai, Jiha sempat mendengar Junseok dan para komplotannya berencana menggantung sebuah balon diisi tinta pulpen di atas pintu ruangan Daesung ssaem, lalu ada gunting yang mau mereka ikat pakai tali di atas balon. Begitu Daesung ssaem masuk, talinya mereka potong, guntingnya jatuh di atas balon, balonnya pecah... Daesung ssaem mandi tinta seperti gurita.
Daesung ssaem termasuk jajaran guru killer yang paling banyak memiliki "penggemar". Dari kelas 1 sampai kelas 3. Tak heran dia sering sekali apes.
Nah, karena setiap kelas agama murid-murid kelas 1, 2, 3 digabung dalam auditorium besar, bukan sesuatu yang mustahil mereka saling kenal dan menyebarkan gosip satu sama lain. Bukan mustahil juga cinta lintas angkatan bersemi di auditorium itu.
Sesuai makan siang pada hari Rabu, murid-murid digiring untuk segera merapat ke auditorium melalui pengumuman dari alat pengeras suara. Seringnya, sebelum guru agama masuk, para pemain orkestra berkolaborasi dengan grup paduan suara dari klub musik tampil di atas panggung. Lalu beberapa atlet yang nekat adakalanya merebut mikrofon dan menyanyikan rap improvisasi sambil diiringi piano klasik. Hyunjung ssaem guru agama tua bangka menghambur masuk sambil ngomel-ngomel, menyeret mereka semua turun dengan cara menjewer kuping.
Namun kali ini panggung praktis kosong, tanpa alat-alat musik berjejer rapi di atasnya, hanya ada layar proyektor maha besar.
Jiha yang baru kembali dari toilet, praktis melihat Junseok melalui jendela. Dia menempelkan hidungnya ke jendela, mengintip ke dalam auditorium untuk melihat lebih jelas. Bocah itu menggenggam satu tabung lem super. Di tangan yang lain dia memegang alkitab. Cowok itu mendongak dari meja, pandangan mereka bertemu, Jiha berdebar-debar saat bocah ingusan itu mengedipkan mata, tak lupa senyum manis di bibir tipisnya.
Terpukau oleh secuil senyuman pangeran kelinci (yang mana jarang diperlihatkan Junseok), Jiha yang terlanjur tertangkap basah hanya bisa membalas dengan seringai dungu.
Begitu Jiha menjauh dari jendela, dia berbalik dan tanpa sengaja bertabrakan dengan Hyunjung ssaem. Kalau Jiha pergi, cowok itu bakal tertangkap. Tapi kalau Jiha mengalihkan perhatian Hyunjung ssaem, Junseok aman.
"Siang, pak." Jiha membungkuk sedikit. "Apa kabar?"
Seharusnya Jiha tidak mengintai di koridor sebelum kelas agama dimulai. Ini kesalahan pertama yang dibuatnya.
Kemampuan mengobrol Jiha masuk ke gigi empat, Hyunjung ssaem terpesona mendengar murid seperti Jiha menyimpan kepedulian terhadap guru, mereka berjalan di sepanjang koridor dan terlibat perbincangan mendalam tentang penyakit usus buntu Hyunjung ssaem.
Setelah semua anak selesai makan siang dan berbondong-bondong memasuki auditorium, Junseok sengaja mengambil tempat di bagian paling atas, kursi paling belakang, mengayun-ayunkan kaki sambil tertawa bersama Jaehyun dan Mingyu. Lima belas menit setelah kelas dimulai, Junseok mengacungkan satu jari, meminta Hyunjung ssaem menjelaskan bagaimana Tuhan menciptakan bumi menurut versi alkitab.
Kelas mulai gaduh ketika Hyunjung ssaem mencoba membuka kancing pengait alkitab. Bukannya terbuka, tangan Hyunjung ssaem malah lengket, menempel di sampul alkitab. Anak-anak kelas satu mulai cekikikan melihat gurunya menderita.
Hanya butuh dua detik bagi Hyunjung ssaem untuk memutuskan siapa pelakunya. Dia berbalik dan menatap Jiha.
"Park Jiha!" suaranya lebih lembut dariapda auman, lebih keras daripada teriakan.
"Yes?" Jiha kaget karena dipanggil.
"Bisa tolong jelaskan apa yang kau lakukan saat jam makan siang tadi? Mengintip di luar auditorium? Kau sedang menyusun rencana agar tanganku menempel di alkitab?"
Sekarang seluruh anak tertawa mendengar kalimat itu.
"Saya tidak melakukan apa-apa, ssaem!" bantah Jiha cukup keras dan lantang. Tidak berani mencuri-curi lirikan ke atas sana, ke arah Junseok. Itu bisa langsung membuka rahasia. Sangat mematikan dampaknya. Tidak hanya Junseok dikirim ke ruang guru, Jiha bakal menyandang gelar sebagai target bulan-bulanan. Sumpah dia malas berurusan dengan Junseok.
Jiha malah dengan naif menunggu cowok itu mengaku pakai mulutnya sendiri.
Hyunjung ssaem mengedarkan pandangan mengamati seisi auditorium. "Ada saksi mata lain?"
Sunyi, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut komplotan Junseok.
"Jiha, saya kecewa sekali, ini perbuatan yang sangat rendah," ucap Hyunjung ssaem.
"Bukan saya yang melakukan itu!"
"Kalau memang bukan kau, kau pasti tahu sesuatu tentang ini. Jadi siapa pelakunya?" tuntut Hyunjung ssaem.
Jiha benci berada dalam posisi tersudut seperti ini. Masalahnya dia terbiasa bermain aman, berada di pihak netral. Tidak harus membully orang meski kedua kawannya pembully sejati. Jiha terbiasa diam.
Itulah yang dia lakukan, diam, menantang Hyunjung ssaem. Dia pasti tahu bukan Jiha pelakunya. Selama ini catatan kriminal Jiha bersih putih bebas dari noda. Dia tidak pernah cari gara-gara dengan siapa-siapa. Jiha bukan tipe orang yang akan melakukan perbuatan seperti itu. Tapi di mata Hyunjung ssaem, menolak membuka kedok pelaku sama saja dengan melakukannya.
Jiha benar-benar terjebak.
Sialan! Cowok itu keparat! Sialnya lagi Jiha baru sadar betapa brengsek dan bajingannya Jeon Junseok. Menggunakan wajah tampan untuk menjebak hati seorang gadis yang rawan godaan.
"Baiklah, Jiha, ini pilihanmu. Aku akan ke ruang P3K untuk melepaskan buku ini dari tanganku. Sampai bertemu di ruang hukuman pada hari minggu, ingat, kelakukanmu ini akan mengurangi lima angka di buku catatanmu."
Satu suara lantang tiba-tiba muncul dari sudut ruangan. "Anda tidak punya bukti, ssaem!"
"Maaf?" Hyunjung ssaem beralih menatap Yoohan. "Apa katamu?"
"Anda bersikap tidak adil, anda tidak punya bukti Jiha yang melakukannya."
Jiha memandangi Yoohan dengan sorot terkejut, agak terharu.
"Ini bukan urusanmu!" seru Hyunjung ssaem. "Saya lihat sendiri Jiha berdiri di luar kelas ini saat jam makan siang. Lagipula dia tidak mungkin sedang mengagumi dekorasi ruangan."
"Ya tetap saja itu tidak membuktikan dia bersalah!"
"Itu benar, ssaem." Jiha membela diri. "Saya baru kembali dari toilet, mengintip karena ingin melihat apakah auditorium sudah penuh."
"Omong kosong," bantah Hyunjung ssaem. "Kau menempel di jendela!"
Ledakan tawa membahana. Rupanya "menempel di jendela" terdengar lucu di telinga bocah-bocah itu.
"Ini bukan untuk ditertawakan!" Wajah pak tua memerah.
"Setidaknya Jiha masih bisa lepas dari jendela, ssaem." Yoohan cengar-cengir.
"Oke." Hyunjung ssaem menganggap Yoohan sedang menantangnya. "Kau juga, sampai ketemu di ruang hukuman."
"Baiklah." Yoohan angkat bahu.
"Aku tidak ingin ada murid sombong di kelasku!" bentak Hyunjung ssaem. "Buka bab lima di buku kalian dan kerjakan semua soalnya! Siapa pun belum selesai mengerjakannya saat aku kembali, akan bergabung dengan Jiha dan Yoohan hari minggu nanti!"
Hyunjung ssaem berbalik dan pergi tergesa-gesa, tak lupa membanting pintu.
"Jiha, serius kau yang melakukannya?" tanya Yerin, melotot.
"Kapan kau merencanakannya? Kenapa kami tidak diberitahu sih!" dengus Nayoung.
"Itu keren sekali," Yerin tertawa. "Lucu lucu lucu. Boleh lah! Hiburan supaya kami tidak mengantuk."
"Bukan aku pelakunya." Jiha cemberut.
"Lalu siapa kalau begitu?" desak Nayoung penasaran.
"Entah! Sudah deh kau diam saja." Jiha kesal. Toh mereka tidak berguna. Tidak bisa membantunya keluar dari masalah. Cuma bisa tertawa.
Pokoknya Jeon Junseok tidak boleh dibiarkan lolos. Jiha bertekad untuk membalas.
Bahkan setelah semua itu, Junseok masih memiliki keberanian untuk tersenyum dan melempar kedipan sok ganteng.
Seusai kelas, Jiha langsung menghampiri Yoohan, cowok itu tengah memasukkan buku dan semuanya ke dalam tas ransel, bersiap-siap untuk pulang.
"Yoohan, maaf ya, terima kasih telah membelaku tadi. Gara-gara aku, kau jadi ikut dihukum deh. Maaf..." Bibir Jiha cemberut imut.
Yoohan stay cool, sengaja mengatur ekspresinya ke mode tenang. "Tidak apa-apa, santai saja, sebenarnya kau tidak harus menerima hukuman dari perbuatan yang tidak kau lakukan."
Jiha berani sumpah Yoohan melirik ke arah Junseok ketika mengatakan itu, Junseok tidak sadar, terlalu sibuk tertawa penuh kemenangan bersama gerombolan bedebah sambil merayakannya dengan tos.
.
.
.
Keesokan harinya, Jiha tidak mau makan apapun. Dia hanya menatap spaghetti dan bakso-bakso daging di meja kantin tanpa selera. Puding coklat pun tampak tidak menarik lagi di mata koloni cacing dalam perutnya.
Jiha mendongak dari puding dan kembali menyoroti Junseok yang sedang dikelilingi para fans-fansnya. Amarah Jiha mencuat ke permukaan.
Tatapan Jiha beralih dari benda kenyal di nampannya lalu ke Junseok.
Puding.
Junseok.
Puding.
Junseok.
Rasanya makanan itu seperti memanggil namanya. Bukan untuk dimakan, tapi untuk dilempar ke seberang ruangan hingga mendarat tepat di batok kepala Junseok. Menghentikan aksi tebar-tebar pesona dan senyum peluluh hatinya yang sangat memuakkan itu.
Setelah melihat keadaan sekitar dan memastikan tidak ada yang memperhatikan dirinya, termasuk Yerin dan Nayoung yang sibuk main mata dengan cowok kelas sebelah, Jiha mulai bertindak. Dengan satu kali ancang-ancang, Jiha melempar si puding kuat-kuat. Hanya saja, perjalanan si puding coklat tidak semulus perkiraan, karena bukannya mendarat di kepala Junseok, puding itu malah mendarat di kepala Taera yang kebetulan lewat dan menghalangi lintasan terbang puding coklat.
Gumpalan coklat yang lengket dan kenyal meleleh di pipi dan rambut Taera. Sebagian lelehan coklat menetes dari wajah dan menodai baju seragamnya. Jiha terpaksa nahan ketawa melihat cewek malang itu berteriak histeris. Dia tidak bermaksud melakukan itu. Tapi tampang cewek itu kocak juga, ketutupan leleran puding.
Saat itulah Jiha menoleh dan memergoki Junseok tengah menatapnya. "Dia yang melempar puding!" dia mengadu ke Taera, cukup keras sehingga bisa didengar siapa pun. "Dia melemparkan puding itu kearahmu!"
Heck! Dasar pengadu!
Usaha Jiha membuahkan hasil. Tidak hanya menarik perhatian Junseok, dia juga menarik perhatian seisi kantin.
"Aku tidak melakukannya!" bantah Jiha panik.
"Barusan aku melihatmu melempar!" Junseok makin ngotot.
Jiha terpaksa mengalah, mengelak membuat dia sederajat dengan si bangsat, Jiha bukan pecundang. "Baiklah. Kau menang! Aku yang lempar!"
Pengumuman kecil itu membuat Taera geram bukan main. Jiha sering melihat cewek itu marah sebelumnya, tapi nggak separah ini. Matanya menyipit ke ukuran ekstrem dan hanya berupa garis lurus, dia mengangkat nampan tinggi-tinggi lalu melemparkannya ke Jiha. Nampan Taera beserta seluruh isinya mendarat di dekat sepatu Nayoung.
"Shit!" pekik cewek itu tidak terima. "Jangan sepatu baruku!"
Roti selai krim isi pisang coklat tidak cocok untuk dilempar, jadi Nayoung mencobloskan sedotan ke kotak jus, membidikkannya ke Taera dan meremasnya hingga seluruh isi jus anggur muncrat ke wajah Taera. Memperparah penampilannya. Lengkap sudah. Puding coklat dipadu anggur. Setengah penghuni kantin bersorak melihat cewek itu megap-megap. Merasa harga dirinya sudah diinjak-injak.
Mimik wajah Taera saat mengamati kemeja penuh nodanya sangat menakutkan, sanggup membuat ribuan bunga di taman jadi layu. "Astaga. Kalian harus menerima balasannya." desis Taera berang melalui gigi yang terkatup rapat.
"PERANG MAKANAN!" teriak Junseok makin memperkisruh keadaan. Semenit kemudian seisi kantin hiruk pikuk. Meja-meja dan kursi dibalik hingga membentuk tameng, anak-anak berlindung di belakang meja serta ratusan makanan berterbangan di udara.
Spageti, puding, kue, salad, sup, hotdog, bubur gandum, dan macam-macam makanan melayang ke seluruh penjuru kantin. Jihaburu-buru merunduk di bawah meja saat tembakan bakso melayang tepat kearahnya. Dia meraih beberapa butir bakso dari nampan dan balas melempari Junseok. Bidikan Jiha payah memang, tapi setidaknya dia masih sempat mengenai cowok itu beberapa kali. Ini hal paling seru yang pernah dia alami selama dua tahun bersekolah di Seoryeong Academy.
Jiha baru akan berdiri untuk melempari Junseok beserta komplotannya ketika pintu kantin terbanting membuka dan muncul sosok Ibu kepala sekolah dari sana. Wajahnya tegang, siap ngamuk. Dengan menggunakan pengeras suara, teriakannya berdenging dan membahana di segala penjuru. "BERHENTI! JATUHKAN SEMUA MAKANAN ITU! SEKARANG!"
.
.
.
.
"Aku ingin semua diam!" perintah Mrs. Soyeon. Kantin berubah hening, sehening kuburan. Dia menjauhkan pengeras suara dari depan wajahnya. Dia tidak membutuhkan benda itu lagi, tidak ada yang cukup gila untuk melawan ketika dia sedang murka. "Aku tidak bisa membiarkan semua kekacauan ini terjadi di sekolahku!" bentaknya tegas.
Dia memandang berkeliling, sesekali matanya hinggap di sejumlah orang yang biasa berbuat onar. Hampir semua anak menunduk takut dan tidak ada yang berani bertatapan langsung dengan sorot tajam Mrs. Soyeon. "Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini semua."
Krikrikrikkrik. Para jangkrik menjawab pertanyaannya.
"SEKARANG!"
Ketika semuanya sibuk bersembunyi dan saling sikut satu sama lain, Jiha memutuskan untuk maju. Lebih baik bermain sportif daripada diadukan Junseok atau para komplotannya. "Saya." Jiha maju selangkah demi selangkah mendekati Mrs. Soyeon. "Saya yang memulai."
Wanita itu mengamati Jiha sedemikian rupa. Agak kaget dengan Jiha yang selama ini dikenal kalem sekarang telah berani mengacau di kantin sekolah. "Kenapa?" tanyanya singkat, padat dan jelas.
Jiha menunduk sambil angkat bahu. "Karena... karena... itu bodoh. Dan aku menyesal."
"Ayo ikut." Mrs. Soyeon memberi kode bagi Jiha untuk jalan duluan.
"Tunggu dulu!" tahan Jiha. "Saya ingin mengakui bahwa saya tidak bersalah kemarin, Hyunjung ssaem tangannya menempel di alkitab karena dia!" telunjuknya menuding lurus ke wajah cowok itu.
Junseok menyipitkan mata, menatap Jiha tanpa senyum sama sekali.
Mrs. Soyeon menarik napas panjang. "Kalian berdua ikut ke ruangan saya. Kita akan selesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya.
Junseok nggak bisa lolos begitu saja. Jiha jelas tidak terima dijebak.
"Saya tidak tahu dia ngomong apa," ucap Junseok sok polos. "Dia sudah mencoba mengganggu saya sejak awal." Kemudian tatapan penuh simpatinya beralih ke Jiha. "Kita ini bukan bocah ingusan lagi, noona. Kalau suka padaku bilang saja. Jangan malah sengaja cari gara-gara demi menarik perhatian."
WHAT?! Berani sekali dia?! Ckckck! Tidak hanya bajingan, cowok itu juga pembohong terhebat. Ekspresi wajahnya meyakinkan sekali. Pasti setelah ini akan beredar rumor buruk kalau Park Jiha berusaha menggoda anak kelas satu dengan cara barbar, melempar puding dan memulai perang makanan.
Bisa Jiha rasakan di setiap tatapan Junseok ada ribuan pisau belati berterbangan, siap mengoyak tubuhnya jadi serpihan.
"Aku tidak suka padamu! Aku bahkan membencimu sejak pertama kali melihatmu!" balas Jiha tak mau kalah. Enak banget cowok itu menindasnya. Jiha tidak mau jadi cewek lemah.
"Biasanya, jika orang terlalu banyak protes itu artinya dia tidak mau mengakui kenyataan." Junseok berhasil membuat Jiha mati kutu parah.
Bagaimana dia harus menanggapi hal itu? Kalau Jiha membantah, itu artinya dia banyak protes. Otomatis itu akan mendukung tuduhan bullshit cowok itu, tapi kalau Jiha diam saja, maka semua orang akan berpikir Jiha menyetujui ucapan Junseok.
Saat Jiha sibuk gelagapan dilanda dilemma, tatapan Mrs. Soyeon beralih ke Junseok. "Kalian berdua ikut ke ruanganku! Dan, oh iya, khusus untukmu, Junseok, sebaiknya kau jelaskan perbuatanmu kemarin di depan Hyunjung ssaem langsung."
Junseok tenang-tenang saja mengekori Mrs. Soyeon menyusuri koridor. Dasar muka badak. Alih-alih membalas sorot judes yang dilempar Jiha, dia malah bersiul-siul. Benar-benar cari mati!
Cowok model begitu yang Jiha lindungi kemarin? Jiha tidak habis pikir sama dirinya sendiri. Kemana otaknya kemarin? Dia jadi cemen hanya gara-gara disenyumi bocah. Ya tuhan! Jiha malu sama diri sendiri kalau ingat kejadian kemarin.
Sekarang buku catatan kriminal Jiha mulai bervariasi, bukan cuma lembaran-lembaran putih.
Terima kasih kepada Jeon Bastard.
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami