Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Selama aku tidak ada di samping mu, kalung ini yang akan menemanimu. Dan jika kau merindukanku, cukup pejamkan matamu, bayangkan aku ada di sampingmu."
Suara itu terdengar begitu nyata di dalam mimpinya, begitu hangat dan menenangkan.
Axeline perlahan membuka matanya, membiarkan dirinya kembali ke dunia nyata. Cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah tirai, menyinari wajahnya yang dihiasi senyuman tipis.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, dia selalu terbangun karena mimpi yang sama. Tangannya terangkat, menyentuh liontin berbentuk setengah hati yang selalu melingkar di lehernya. Ia mengusapnya pelan, seolah merasakan kehadiran seseorang yang sangat ia rindukan.
Axeline tersenyum. Ia bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, bersiap menjalani hari yang baru, dengan janji yang masih ia genggam erat di dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, Axeline menenteng tasnya dan keluar dari kamar dengan langkah penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai anak magang di perusahaan keluarganya sendiri, yang merupakan bagian dari tugas akhirnya di kampus.
"Selamat pagi, Mom! Dad!" sapanya, sebelum mencium pipi Keyra dan Alexio bergantian, lalu duduk di kursinya.
"Selamat pagi, Sayang," balas Keyra lembut.
Alexio memperhatikan putrinya, lalu bertanya, "Jadi, kau benar-benar akan magang di perusahaan Uncle Keyvan?"
Axeline mengangguk mantap. "Iya, Dad. Tapi Daddy tenang saja. Aku sudah meminta Uncle untuk tidak memperlakukanku dengan istimewa. Aku ingin belajar dan berusaha dengan kemampuanku sendiri."
Keyra tersenyum bangga mendengar tekad putrinya. Ia mengambilkan makanan untuknya sebelum berkata, "Kami tidak khawatir, Sayang. Justru kami senang karena kau magang di perusahaan Uncle Keyvan. Tapi, kenapa kau tidak memilih perusahaan Daddy, hm?"
Axeline mendesah pelan. "Aku tidak mau, Mom. Yang ada, Kakak pasti akan terus mengejek dan mengerjai ku."
Axel yang dari tadi sibuk menikmati sarapannya, terlihat tersenyum simpul. "Itu karena kau bodoh," celetuknya santai tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.
Axeline membelalak kesal. "Lihat! Kakak sudah mulai, kan?" Dengan wajah cemberut, ia memalingkan wajahnya, enggan melihat Axel. Namun, alih-alih menanggapinya dengan serius, Axel justru mengusap kepala Axeline dengan santai, seolah tidak terganggu oleh kemarahan adiknya.
"Jangan membuat onar di perusahaan Uncle, ya," ucapnya sebelum bangkit dan melenggang pergi.
"Kakak!" pekik Axeline kesal karena Axel sudah membuat rambutnya berantakan.
Sementara itu, Alexio dan Keyra hanya bisa saling melirik sebelum menggeleng pelan.
Di rumah ini, tiada hari tanpa pertengkaran kecil antara kedua anak mereka. Tapi mereka tahu, meskipun Axel terlihat suka mengejek Axeline, sebenarnya ia sangat menyayangi adiknya.
Axeline mendengus kesal. "Huh, dasar menyebalkan," gerutunya. "Dia selalu mengejekku bodoh hanya karena dia pintar dan mengikuti kelas akselerasi saat sekolah. Aku jadi ragu, apakah aku benar-benar adiknya atau bukan. Kenapa dia begitu padaku?"
Sejenak, suasana di meja makan menjadi hening. Keyra merasakan sesuatu mencubit hatinya, tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Alexio menggenggam tangannya erat dan menggeleng pelan, seolah memberi isyarat untuk tenang.
Keyra menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Sudahlah, Sayang. Kakakmu memang seperti itu. Tapi kau tahu, kan? Dia hanya ingin menjagamu dengan caranya sendiri."
Axeline hanya mendengus pelan, masih merajuk. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu jika Axel menyayanginya.
"Oh iya, Sayang. Daddy sudah meminta Uncle agar kau bisa pulang lebih awal," ucap Alexio tiba-tiba.
Axeline mengerutkan kening, merasa penasaran. "Kenapa begitu?"
Alexio hanya tersenyum misterius. "Nanti kau juga akan tahu. Pokoknya, jangan keluyuran setelah jam pulang, oke?"
Axeline mendesah pelan. Ia tahu, jika ayahnya sudah berkata seperti itu, artinya tidak ada ruang untuk berdebat. "Baiklah," jawabnya dengan sedikit enggan.
Selesai sarapan, Axeline bergegas berangkat dengan taksi yang sudah ia pesan sebelumya. Ia terlihat tegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Hari pertama magang bukan sekadar formalitas baginya, ini adalah langkah awal untuk membuktikan diri, untuk berkembang, dan juga untuk membangun kariernya di masa depan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku pasti bisa," gumamnya lirih, sebelum menatap ke luar jendela, menyaksikan jalanan yang perlahan membawa dirinya menuju awal perjalanan barunya.
Tidak membutuhkan waktu lama, taksi yang ia tumpangi mulai menepi. Axeline turun dari taksi, mendongak menatap gedung pencakar langit yang menjulang megah di depannya. Logo besar NA Company terpampang jelas di bagian atas, memancarkan aura kesuksesan.
Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan rasa gugup yang samar terasa di dadanya. "Hari pertama, aku pasti bisa."
Dengan senyum tipis, ia melangkah mantap memasuki gedung, bergabung dengan para mahasiswa lain yang juga magang di sana.
Hari pertama dimulai dengan orientasi dan pengenalan perusahaan. Mereka berdiri rapi, mendengarkan pemaparan dengan serius. Namun, di tengah sesi, langkah tegas seseorang menarik perhatian mereka.
Keyvan melewati mereka dengan aura dominasi yang begitu kuat. Wajahnya datar, tatapan matanya tajam dan dingin, jauh berbeda dari pria yang biasanya tersenyum hangat saat di rumah.
Axeline bergidik pelan. Ia menelan ludah, menatap sosok Keyvan yang tampak begitu berbeda.
"Uncle di tempat kerja terasa seperti orang lain. Jauh berbeda dengan seseorang," batinnya. Senyumnya terbit saat tangannya tanpa sadar mengusap liontin berbentuk setengah hati yang tergantung di lehernya.
...****************...
Waktu berlalu begitu cepat. Hari pertama magang berjalan lancar, meskipun cukup melelahkan.
Axeline yang baru saja sampai di rumah, terlihat masuk dengan langkah lunglai, dan wajah yang lelah.
"Kau sudah pulang, Sayang?" suara lembut Keyra menyambutnya.
Axeline menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke sofa. "Iya, Mom. Aku lelah sekali. Dari tadi aku harus mondar-mandir membantu karyawan di sana mengerjakan pekerjaan mereka," keluhnya.
Keyra tersenyum lembut, lalu mengusap kepala putrinya. "Jika kau lelah, istirahatlah dulu. Mommy bisa bicara dengan Uncle Keyvan dan Aunty Nayya nanti," ucapnya.
Mendengar itu, Axeline langsung menegakkan tubuhnya dengan rasa penasaran yang memenuhi benaknya. "Memangnya ada apa, Mom?"
Keyra menatap putrinya sejenak, sebelum akhirnya tersenyum lembut. "Kau tidak tahu?" tanya Keyra yang dijawab gelengan oleh Axeline. "Hari ini, Keynan akan pulang, Sayang."
Tubuh Axeline menegang. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang hanya mendengar namanya saja. Apalagi, hari ini ia akan segera bertemu dengan pria yang selama ini ia rindukan.
"Aku akan segera bersiap, mom!" tanpa peringatan, Axeline bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri dan memakai gaun terbaiknya.
Dan, di sinilah Axeline sekarang berada, di rumah utama keluarga Dirgantara. Dia duduk terdiam dengan mata yang terus terpaku ke arah pintu rumah besar itu. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa menggema di dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan getaran yang merayap ke seluruh tubuhnya.
Sudah lima tahun sejak Keynan pergi. Dan kini, ia kembali.
Dia mendongak saat pintu berderit perlahan, seolah waktu ikut melambat bersama napasnya yang tertahan.
Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam ingatannya.
Keynan, dia lebih tinggi dari yang ia ingat, rahangnya lebih tegas, sorot matanya lebih tajam. Dia masih pria yang sama, namun sekaligus terasa begitu asing baginya.
Axeline menelan ludah, matanya mencari-cari cahaya di balik tatapan itu. Seulas senyum kecil yang dulu selalu menyambutnya, tidak terlihat.
Tidak ada kehangatan, tidak ada pelukan, tidak ada sapaan hangat seperti yang Axeline harapkan. Pria itu hanya melewatinya begitu saja, seolah ia hanyalah orang asing yang kebetulan berada di sana.
Axeline tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa membeku. Hatinya yang sejak tadi berdebar penuh harapan kini terasa kosong. Begitukah caranya Keynan menyambutnya setelah lima tahun? Bukan dengan senyum, bukan dengan sapaan hangat, melainkan dengan tatapan dingin dan sikap acuh?
Seketika, sesuatu di dadanya terasa sesak. Jemarinya meremas liontin di lehernya, seakan mencari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan dari pria itu. Tapi yang tersisa kini hanyalah keheningan yang menyakitkan.