Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persahabatan
Kanaya menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Jadi, kamu menyukai kami berdua?" suaranya tercekat. "Bagaimana bisa? Kita sahabat, Migo. Bagaimana kamu bisa melakukan ini?"
Migo tertunduk, rasa bersalah mencengkeram hatinya. "Aku tahu ini salah, Kanaya. Aku tidak bermaksud menyakiti kalian. Perasaanku... aku tidak bisa menjelaskannya. Aku menyayangi kalian berdua dengan cara yang berbeda."
Kanaya tertawa getir. "Cara yang berbeda? Itu hanya alasan, Migo. Kamu memilih untuk menyakiti salah satu dari kami. Atau mungkin, kamu akan mencoba untuk memiliki kami berdua?"
"Tidak, jangan salah paham," Migo membela diri. "Aku tidak mau seperti itu. Aku bingung, aku benar-benar bingung."
"Bingung? Itu bukan alasan untuk menyakiti orang lain," Kanaya membentak, suaranya bergetar. "Aku tidak mau lagi melihatmu, Migo. Aku perlu waktu untuk sendiri." Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Migo sendirian dengan beban perasaannya yang berat.
Migo merasa hancur. Ia telah kehilangan dua orang yang sangat berharga baginya. Ia duduk di bangku taman, memandangi jalanan yang lengang. Pikirannya melayang pada Anya dan Kanaya, pada persahabatan mereka yang kini telah retak.
Beberapa hari kemudian, Anya menemui Migo. Wajahnya tampak pucat dan sedih. "Aku mendengar apa yang terjadi antara kamu dan Kanaya," katanya lirih. "Aku... aku minta maaf, Migo. Aku tidak tahu harus berkata apa."
Migo menatap Anya dengan mata berkaca-kaca. "Aku telah menyakiti kalian berdua," katanya dengan suara serak. "Aku bodoh."
Anya mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Migo. "Kita harus menyelesaikan ini, Migo. Kita harus menemukan cara agar kita semua bisa baik-baik saja."
Migo mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya, Anya. Tapi aku akan mencoba."
Mereka berdua terdiam sejenak, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. Persahabatan mereka, yang telah terluka parah, kini membutuhkan waktu dan usaha untuk diperbaiki. Migo harus belajar untuk bertanggung jawab atas perasaannya, dan Anya dan Kanaya harus belajar untuk memaafkan dan mengatasi rasa sakit hati mereka. Jalan menuju penyelesaian masih panjang dan berliku, tetapi mereka bertiga sepakat untuk menjalaninya bersama-sama, demi persahabatan yang pernah mereka jaga selama ini. Mungkin, cinta segitiga ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka semua. Pelajaran tentang kejujuran, pengorbanan, dan arti persahabatan yang sesungguhnya.
Minggu berikutnya, Anya, Kanaya, dan Migo bertemu lagi. Bukan di tempat yang ramai seperti biasanya, tapi di sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Suasana masih tegang, tapi ada secercah harapan di antara mereka.
Anya memulai pembicaraan, suaranya pelan namun tegas. "Migo, aku dan Kanaya sudah memikirkan semuanya. Kita semua terluka, tapi kita tidak bisa terus seperti ini."
Kanaya mengangguk, menunjukkan sedikit senyum tipis. "Aku masih marah, tapi aku juga menyadari bahwa kita semua salah. Kita semua terjebak dalam perasaan yang rumit."
Migo menatap mereka berdua, rasa bersalah masih terasa, tapi juga ada secercah lega. "Aku tahu. Aku sangat menyesal. Aku tidak bermaksud menyakiti kalian."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Anya.
Migo menghela nafas panjang. "Aku rasa... kita perlu waktu untuk merenungkan semuanya. Untuk memahami perasaan kita masing-masing, dan untuk memutuskan apa yang terbaik untuk kita semua. Persahabatan kita lebih penting daripada perasaan sesaat."
Kanaya setuju. "Aku setuju. Kita perlu waktu untuk sembuh. Tapi, aku berharap kita bisa tetap berteman, walaupun mungkin tidak seperti dulu lagi."
Anya menambahkan, "Ya, persahabatan kita lebih berharga daripada segalanya. Kita harus belajar dari kesalahan ini."
Ketiga sahabat itu terdiam sejenak, masing-masing merenungkan kata-kata yang telah terucap. Mereka menyadari bahwa jalan menuju penyembuhan tidak akan mudah. Akan ada banyak tantangan dan hambatan yang harus mereka hadapi. Tapi, dengan saling memahami dan saling mendukung, mereka yakin bisa melewati semuanya. Mereka sepakat untuk menjaga komunikasi, untuk saling berbagi perasaan, dan untuk saling memberikan dukungan. Cinta segitiga itu telah meninggalkan luka, tapi juga telah mengajarkan mereka tentang arti persahabatan yang sejati. Mereka berjanji untuk membangun kembali persahabatan mereka, lebih kuat dan lebih berharga daripada sebelumnya. Mungkin, masa depan mereka tidak akan sama seperti dulu, tapi mereka akan tetap bersama, sebagai sahabat.