Novel ini menceritakan kisah seorang Naila Shababa, santri di pondok pesantren Darunnajah yang di cap sebagai santri bar-bar karena selalu membuat ulah.
Namun, siapa sangka nyatanya Gus An, putra dari pemilik pesantren justru diam-diam menyukai tingkah Naila yang aneh-aneh.
Simak selalu di novel yang berjudul “GUS NACKAL VS SANTRI BARBAR.” Happy reading🥰🥰...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Naila menuruni anak tangga setelah berhasil mengacaukan suasana kelas dengan Gus An. Rasanya sangat puas karena telah membalas dendam, membuat dongkol Gus An karena kejadian semalam.
“Naila, mau kamu apa sih...? ” suara yang sudah tak asing membuat langkah Naila terhenti.
“Mau pulang...” dengan spontan Naila menjawab seperti itu, tanpa melihat wajah orang dibelakangnya.
“Ikut saya sekarang juga...”
“Ada apa lagi...? saya tidak mau... ”
“Diam, jangan banyak bicara...! ” Naila terpaksa mengikuti perintah Gus An meskipun dengan perasaan yang masih dongkol. Gus An berjalan menuju ke ruang tamu dan__
“Udah lama Pak...? ” Gus An menyalami tangan seorang laki-laki yang sudah menunggu diruang tamu sendirian. Naila sangat terkejut karena laki-laki yang disalami Gus-nya ternyata adalah Ayahnya sendiri. Dan anehnya lagi saat bersalaman dengan Ayahnya, kenapa Gus An mencium punggung tangan sang Ayah. Bukannya seharusnya terbalik...?
“Ayah kenapa ada disini...? ” Naila merasa heran dan bingung.
“Kamu dipulangkan dari pesantren ini. Saya akan skors kamu karena sering bolos dan suka membantah ucapan guru.” ungkapan Gus An membuat Naila membulatkan matanya syok.
“Hah...?? di skors...? ” Naila menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
“Iya, saya yang telah menghubungi Ayahmu dan menceritakan semua kenakalan yang telah kamu perbuat. Ayahmu tidak keberatan jika kamu di skors.” dada Naila sesak saat mendengar perkataan Gus An barusan.
“Ayah, Naila tidak nakal... Ayah percaya kan sama Aku...? ” matanya sudah berkaca-kaca karena hal yang paling ditakuti adalah ketika Ayahnya marah. Saat ini Ayahnya hanya terdiam tidak mengucapkan sepatah kata apapun.
“Naila nggak mau di pulangkan, Naila mau disini saja Ayah... ” Ayahnya masih terdiam tidak ada ekspresi apapun diwajah beliau.
“Tadi katanya kamu mau pulang, sekarang giliran dikasih kesempatan pulang malah nggak mau. Malah nangis lagi... ” Naila menatap tajam Gus An yang dia rasa bertindak semena-mena karena tidak ada Abi dan Umi.
“Aku bakal adukan ke Umi' kalau Gus An memperlakukan saya seperti ini... ”
“Naila... jangan bantah... ” ucapan Ayah Naila dengan volume agak tinggi membuat dadanya bergemuruh.
“Ayo kita pulang sekarang, kemasi barang-barangmu. Ayah sudah capek dengerin kamu yang selalu bikin ulah di pesantren ini. Kamu bikin malu Ayah saja... ”
...****************...
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Naila hanya terdiam dengan mata sembab. Ayahnya sesekali mengajaknya berbicara tapi Dia hanya diam. Tenaganya terkuras habis setelah menentang Gus An agar tidak berbuat semena-mena.
“Udah jangan nangis terus, ini semua pasti ada hikmahnya kok... ” Ayahnya mengusap air mata Naila yang jatuh di pipi.
“Naila selalu bikin malu ya Ayah...? maafkan Naila, karena selama ini belum bisa jadi anak yang baik. Naila selalu merepotkan Ayah, bikin malu Ayah.”
“sudah Ayah maafkan kok, tapi kamu harus bisa terima hukuman dari Gus An ini. Semua kejadian pasti ada hikmah yang terkandung sayang... ”
“Naila sebenarnya nggak mau pulang Ayah, padahal setiap hari selalu pengen pergi jauh dari pesantren. Tapi nggak tau, tiba saatnya dipulangkan malah nggak ingin pulang.”
Sampai di rumah Naila langsung mencium punggung tangan ibunya. Kemudian segera masuk kamar untuk menghempaskan tubuhnya di kasur yang tiap hari Dia rindukan. Biasanya kalau pulang Naila selalu menikmati moment seperti ini. Tapi kali ini tidak. Dia justru merasa bersalah dengan Ayah dan ibunya.
tok... tok... tok... pintu kamar diketuk dari luar. Ibunya masuk dengan membawa segelas susu dan sepiring nasi.
“Ibu... ”
“Kamu makan dulu ya sayang... ” Ibunya hanya meletakkan makanan tersebut kemudian keluar lagi tanpa mengucapkan apapun. Naila semakin merasa bersalah, pasti ibunya saat ini sangat kecewa dengan dirinya. Dia tatap seluruh isi ruangan dan berhenti pada satu titik. Piala.
Naila bangkit, kemudian meraih satu piala yang paling tinggi diantara yang lainnya. Dia tatap lamat-lamat benda mati itu. Air matanya menetes dipelupuk mata.
“Peserta terbaik... ” Naila memeluk erat piala yang bertuliskan seperti itu. Dia menangis terisak, menangis sejadi-jadinya sampai dadanya terasa sesak.
“Setelah Aku mendapatkan ini, Aku berubah 360°. Sifatku, sikapku tidak ada yang baik. Bahkan Aku dicap sebagai santri paling malas, pembuat onar. Maafkan Aku Ayah, ibu... ” kedua orangtuanya yang menguping dibalik pintu ikut meneteskan air mata. Berharap hukuman dari Gus An dapat mengembalikan Naila yang dulu.
”Aku anak semata wayang Ayah, tapi selalu bikin malu... Ayah sering dipanggil ke sekolah cuma gara-gara Aku membantah guru. Dan bodohnya lagi, kenapa Aku tidak sadar dari dulu. Dua tahun itu lama, tapi kenapa tidak cukup untuk menyadari duri dalam dagingku ini... hiks hiks... ” Ayahnya menahan Ibu Naila yang sudah ingin memeluk anak satu-satunya menangis tersedu sendirian dikamar.
“Jangan masuk, biarkan Naila bisa menyadari kesalahannya... ”
“Tapi Yah... ”
“Kita mengharapkan yang terbaik bukan...? ” Ibu Naila mengangguk.