Nada Azzahra, siswa baru di SMA Nusantara Mandiri, adalah gadis ceria yang mudah bergaul. Kepribadiannya yang ramah dan penuh semangat membuatnya cepat mendapatkan teman. Namun, kedatangannya di sekolah ini mempertemukannya dengan Bara Aryasatya, cowok tengil yang ternyata adalah "musuh bebuyutan"-nya semasa SMP.
Di masa SMP, Nada dan Bara bagaikan Tom & Jerry. Pertengkaran kecil hingga saling usil adalah bagian dari keseharian mereka. Kini, bertemu kembali di SMA, Bara tetap bersikap menyebalkan, hanya kepada Nada. Namun, yang tak pernah Nada sadari, di balik sikap tengilnya, Bara diam-diam menyimpan rasa cinta sejak lama.
Setiap hari ada saja momen lucu, penuh konflik, dan menguras emosi. Bara yang kikuk dalam mengungkapkan perasaannya terus membuat Nada salah sangka, mengira Bara membencinya.
Namun, seiring waktu, Nada mulai melihat sisi lain dari Bara. Apakah hubungan mereka akan tetap seperti Tom & Jerry, ataukah perasaan yang lama terpendam akan menyatukan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Kelas
Sesampainya di sekolah, Nada memarkir mobil dengan hati-hati. Begitu keluar, beberapa siswa yang sedang berkumpul di halaman langsung memperhatikan mobil baru itu.
“Eh, itu mobil siapa? Wah, keren banget!” terdengar bisik-bisik dari beberapa siswa.
Nada yang merasa jadi pusat perhatian hanya tersenyum kecil sambil berjalan menuju kelasnya. Namun, baru beberapa langkah, ia mendengar suara yang familiar.
“Nada, mobil baru, ya? Wah, mewah juga,” suara Bara muncul entah dari mana, membuat Nada terkejut.
Nada menoleh dan melihat Bara berdiri tak jauh dari mobilnya, sambil menyandarkan tubuh di tiang sekolah dengan tangan di saku. Tatapan isengnya tetap sama seperti kemarin.
Nada mendengus. “Iya, kenapa? Mau numpang? Enggak boleh.” Nada menyilangkan tangan di dada, mencoba bersikap cuek.
Bara hanya terkekeh kecil. “Santai, aku cuma nanya. Tapi keren juga sih, cocok sama kamu.”
Nada mendelik. “Aku enggak butuh komentar kamu, Bara.”
Sebelum Bara sempat membalas, suara lain memanggil dari belakang. “Nada, Bara! Eh, pagi-pagi sudah berdebat aja?” Dimas dan Rio muncul, membawa energi khas mereka.
“Nada, serius nih mobil baru? Kok enggak bilang-bilang? Wah, teman sebangku makin keren nih,” goda Rio sambil menatap mobil Nada dengan kagum.
“Udah ah, kalian lebay banget,” balas Nada sambil berjalan cepat menuju kelas, meninggalkan Bara dan teman-temannya yang masih terkikik.
Bara menatap kepergian Nada dengan senyum tipis. Dalam hatinya, ia merasa senang bisa melihat Nada di pagi hari, bahkan jika hanya untuk saling mengusik. "Hari ini bakal seru," pikir Bara sambil mengikuti langkah teman-temannya menuju kelas.
Sesampainya di kelas, Nada, Bara, Rio, dan Dimas masih berbincang santai. Tapi ketika mereka masuk, Bara langsung mengambil langkah cepat menuju meja Nada dan duduk di kursi Rio tanpa basa-basi.
"Eh, Bara, itu tempat gue," protes Rio sambil mengernyit bingung.
Bara hanya mengangkat bahu santai. “Mulai hari ini, gue yang duduk di sini. Sampai lulus.”
Rio melongo. “Sampai lulus? Seriusan, Bro?”
“Serius banget,” jawab Bara sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tak peduli dengan tatapan heran Nada di sampingnya.
Nada yang dari tadi diam akhirnya angkat suara. "Tunggu, tunggu. Lo pikir gue enggak masalah, Bara? Nih, gue masalah banget. Ngapain lo duduk di sini?!”
Bara menoleh dengan senyum jahil. “Kenapa? Gue mau duduk di sini aja. Lo enggak keberatan, kan?”
“Keberatan banget!” Nada menatap Bara tajam, tapi Bara malah pura-pura tidak mendengar.
Rio yang melihat keributan kecil itu hanya menghela napas. “Ya udah, Nada. Tempat duduk doang kok. Gue enggak masalah, asal jangan lupa traktir gue, Bara.”
Dimas tertawa dari belakang. “Nah, itu baru deal yang adil!”
Nada memutar bola matanya kesal. "Dasar cowok-cowok aneh," gumamnya pelan sambil menahan rasa bete. Tapi apa boleh buat, akhirnya ia membiarkan Bara duduk di tempat Rio, meskipun dalam hati ia sudah punya sejuta rencana untuk membalas Bara nanti.
Bara, di sisi lain, merasa puas dengan aksinya. Bisa duduk di samping Nada adalah langkah kecil yang ia nikmati sepenuhnya.
Saat mereka tengah berbincang santai, tiba-tiba terdengar teriakan melengking memanggil nama Nada dari arah pintu kelas.
"Nadaaaa!!"
Nada, Bara, Rio, dan Dimas otomatis menoleh ke sumber suara. Di sana berdiri Gisel dan Jessika dengan senyum lebar di wajah mereka.
Nada langsung bangkit dari kursinya. “Gisel! Jessika!” serunya penuh semangat.
Mereka bertiga berlari ke tengah kelas dan langsung berpelukan erat sambil melompat-lompat kegirangan, seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
“AAAAAA! Aku enggak percaya kalian kesini! Kenapa gak chat aku duluan, aku kan bisa siap siap dengan karpet merah” Nada berteriak histeris, suaranya memenuhi seluruh ruangan.
“Yaaa, lebay banget kamu. Aku masih kangen banget sama kamu, Nad!” balas Gisel.
“Kita bakal bareng-bareng terus sekarang!” tambah Jessika dengan antusias.
Melihat tingkah mereka bertiga, Bara, Rio, dan Dimas hanya saling berpandangan sambil memutar bola mata.
“Ini baru hari kedua, dan mereka udah kayak pesta reuni aja,” bisik Rio sambil menahan tawa.
“Cewek, Bro. Biasanya gitu,” komentar Dimas santai.
Bara hanya mengangkat bahu, tapi matanya tetap memperhatikan Nada. "Berisik banget, tapi lucu juga melihat nada," gumamnya dalam hati.
Sementara itu, teman-teman sekelas yang tidak tahu hubungan mereka bertiga sejak SMP hanya bisa bertanya-tanya.
“Lho, itu kan nada, anak baru?” bisik salah satu siswa.
“Iya, baru juga dua hari di sini. Kok udah heboh aja?” tambah yang lain.
“Nada itu anaknya siapa sih? Kok bisa langsung akrab sama Gisel dan Jessika?”
Gisel dan Jessika memang dikenal di sekolah itu sebagai anak dari keluarga donatur besar. Nama mereka cukup membuat banyak siswa segan.
Setelah puas berpelukan, Nada akhirnya bertanya, “Eh, tapi kalian ngapain ke sini? Bukannya bentar lagi bel masuk?”
Jessika menjawab sambil tersenyum lebar, “Oh, kita cuma mau bilang, kita pindah kelas bareng kamu!”
Nada langsung melongo, lalu melompat kegirangan. “Serius?! Kalian bakal satu kelas sama aku?”
Gisel mengangguk penuh semangat. “Iya dong! Gimana enggak seru tuh?”
Nada hampir tidak bisa menahan rasa senangnya. Tapi tiba-tiba, Gisel dan Jessika menatap bangku di depan meja Nada. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum mendekati dua siswa yang duduk di sana.
“Ehem,” Gisel membersihkan tenggorokannya. “Maaf ya, kita mau duduk di sini. Kalian bisa pindah ke tempat lain, kan?”
Dua siswa itu awalnya terlihat bingung, tapi begitu menyadari siapa yang berbicara, mereka langsung berdiri tanpa banyak protes. "Iya, iya, silakan duduk," jawab salah satu dari mereka sambil membawa bukunya ke tempat lain.
Gisel dan Jessika tersenyum puas, lalu duduk di bangku yang sekarang resmi jadi milik mereka.
Melihat itu, Rio berbisik ke Dimas. “Itu kekuatan anak donatur, Bro.”
Dimas hanya tertawa pelan. “Enggak ada lawannya.”
Bara, di sisi lain, hanya geleng-geleng kepala sambil memandangi Nada yang terlihat semakin bahagia dikelilingi sahabat lamanya. "Ya ampun, sekarang gue harus bersaing sama dua cewek cerewet juga," pikirnya sambil menahan senyum kecil.
Nada, yang duduk di antara Gisel dan Jessika, tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dengan ekspresi bingung, dia memiringkan kepala dan menatap kedua sahabatnya.
“Eh, tunggu deh. Kok kalian tiba-tiba bisa pindah kelas? Kan enggak gampang gitu aja, kan?” tanyanya dengan nada penuh kepo.
Gisel dan Jessika hanya saling pandang dan tertawa kecil, seolah mereka berbagi rahasia yang tidak mau langsung diungkap.
“Ya, ada lah,” jawab Gisel singkat sambil memainkan rambutnya.
Jessika menambahkan dengan senyum penuh arti, “Pokoknya, yang penting sekarang kita satu kelas. Udah, enggak usah banyak tanya.”
Nada semakin penasaran. “Ya enggak bisa gitu dong. Aku tahu, di sekolah ini kalau mau pindah kelas itu ribet banget. Kalian nyogok siapa, nih?” godanya, tapi matanya masih memancarkan rasa ingin tahu.
Gisel terkikik, tapi akhirnya ia mengalah. “Oke, oke. Enggak nyogok kok. Gampang aja buat kami pindah kelas. Kan...”
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Jessika memotong, “Rahasia perusahaan!”
Nada mendesah kesal. “Aduh, kalian ini. Rahasia apaan lagi? Aku serius, loh!”
Dari bangkunya, Bara, Rio, dan Dimas memperhatikan percakapan itu sambil berusaha menahan tawa. Mereka sudah bisa menebak alasan sebenarnya.
“Kayaknya Nada belum tahu, ya,” bisik Rio ke Dimas.
“Dia pasti bakal kaget kalau tahu. Sahabatnya ini kan anak donatur gede,” jawab Dimas sambil mengangkat bahu.
Sementara itu, Bara hanya diam, mengamati Nada yang sibuk dengan Gisel dan Jessika. Ia mulai merasa kesal karena sejak kedatangan mereka, Nada hampir tidak menghiraukannya.
“Ck, dari tadi ceria banget sama mereka. Gue aja dicuekin,” gumam Bara pelan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
Namun, sesaat kemudian, Bara mendekati Nada dengan ekspresi datar seperti biasanya.
“Nad, lo enggak mau tahu alasan mereka pindah kelas?” tanyanya tiba-tiba.
Nada menoleh, terlihat senang Bara akhirnya ikut nimbrung. “Mau banget! Lo tahu?”
Bara mengangkat bahu, lalu melirik Gisel dan Jessika. “Kalau mereka enggak cerita, ya biar aja. Tapi gue yakin, lo pasti bisa nebak kalau mikir sedikit.”
Nada semakin bingung. “Mikir apa? Eh, kalian semua tahu sesuatu yang aku enggak tahu, ya?”
Jessika terkikik lagi, lalu akhirnya berkata, “Udah, Nad. Singkatnya, orang tua kita kan donatur di sekolah ini. Jadi ya gampang lah kalau cuma pindah kelas.”
Mata Nada langsung melebar. “HAH? Donatur?!”
Gisel tertawa, mengangguk dengan santai. “Iya, makanya kepala sekolah nurut aja. Lo kira gimana lagi?”
Nada menghela napas panjang, merasa kalah. “Pantes aja.”
Gisel dan Jessika hanya tertawa, sementara Bara menyunggingkan senyum tipis.
“Udah, Nad. Enggak usah kaget. Yang penting sekarang mereka udah di sini. Lo senang, kan?” kata Bara, mencoba mengalihkan perhatian Nada dari rasa kagetnya.
Nada menatap Bara, akhirnya tersenyum. “Ya, senang banget sih. Kalian semua jadi lengkap sekarang.”
Bara merasa sedikit lebih baik setelah Nada memperhatikannya lagi. Tapi tetap saja, ia masih agak kesal karena Nada terlalu asyik dengan Gisel dan Jessika.
“Ya udah, nikmatin aja hari ini,” kata Bara sambil kembali ke kursinya.