Bagaimana rasanya satu sekolah dengan pembunuh berantai? Ketakutan? Tentu nya perasaan itu yang selalu menghantui Shavinna Baron Maldives. Anak perempuan satu-satu nya dari keluarga mafia terkenal. Mungkin ini akan terdengar cukup aneh. Bagaimana bisa anak dari seorang mafia ketakutan dengan kasus pembunuhan anak SMA?
Bukan kah seharus nya ia sudah terbiasa dengan yang nama nya pembunuhan? Pasti begitu yang kalian semua pikirkan tentang Shavinna. Memang benar dia adalah anak dari seorang mafia, namun orang tua nya tak pernah ingin Shavinna tahu tentang mafia yang sebenarnya. Cukup Shavinna sendiri yang berfikir bagaimana mafia dari sudut pandang nya. Orang tua nya tak ingin anak mereka mengikuti jalan mereka nanti. Lalu bagaimana nya cara Shavinna menghadapi kasus pembunuhan yang terjadi di sekolah nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iqiss.chedleon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PULANG
Di sepanjang perjalanan Shavinna, Seanna, Jovan, Evan, Sebastian, dan Riki mencoba menutup Glori dari para siswa. Namun karena mata anak Edelweiss sangat lah jeli, mereka mulai berbisik-bisik melihat Glori yang dilindungi seperti itu. Bahkan ada beberapa anak yang dengan sengaja mengolok-ngolok Glori.
“Itu pembunuh nya kan?”
“Ih, jadi sekarang dia bener-bener niru bapak nya nih?”
“Kok jadi takut ya ngeliat nya. Pembunuh kaya gitu harus nya dihukum berat ga sih.”
Seanna benar-benar muak mendengar omongan mereka terhadap Glori.
“Itu yang mulut nya ga bisa dijaga, mau gue potong lidah lu? Biar ga bisa ngomong sekalian,” bentak Seanna.
“Mata nya mau di colok sekalian kah?” tambah Jovan.
Semua siswa jadi terdiam dan tak berani berbicara apa-apa lagi. Saat tiba di ruang guru, semua guru terkejut melihat tampilan Glori. Namun melihat orang-orang di samping nya membuat para guru tak bisa berkutik. Mereka berusaha bersikap lembut pada Glori, mengingat orang tua Glori yang tak akan tinggal diam jika putri nya kenapa-napa. Membuat sekolah tak bisa langsung menuduh Glori.
“Glori ikut saya sama Pak Polisi ya? Kita berbincang sebentar,” ucap kepala sekolah.
“Saya bareng Glori pas kejadian pak,” tambah Jovan.
“Baiklah, kita berbincang sebentar. Yang lain bisa menunggu di luar dulu ya.” Jawab Kepala Sekolah.
Shavinna, Seanna, Riki, Sebatian, dan Evan menunggu di luar ruang guru. Mereka merasa sangat khawatir menunggu di luar, tapi berbeda dengan Evan yang sibuk dengan hp nya sendiri.
“Glori dia apain ya didalem?” sahut Seanna.
“Kan ada Jovan, semua bakal baik-baik aja kok,” balas Sebastian.
Tiba-tiba mulai banyak wartawan yang muncul di Edelweiss, mereka seperti mengikuti seseorang. Ternyata orang itu adalah kedua orang tua nya Glori. Seingat Seanna mereka berdua seharusnya masih di luar negeri sekarang, namun sekarang sudah tiba saja di Edelweiss. Dari raut wajah mereka, kedua orang tua Glori terlihat sangat khawatir.
“Itu orang tua Glori? Aku baru liat kali ini,” ucap Sebastian.
“Sama, kaya nya mereka galak ga sih,” tambah Seanna.
“Ga kok, mereka baik.” Balas Shavinna.
Para wartawan sibuk saja mengerumuni orang tua nya Glori. Hal itu membuat semakin banyak bodyguard yang di kerah kan untuk menjauhkan para wartawan.
Tidak disangka kedua orang tua nya Glori malah menghampiri Shavinna.
“Om, Tante. Langsung masuk aja, Glori nya udah di dalam,” ucap Shavinna.
“Jovan juga di dalam?” tanya Ayah nya Glori.
“Eh, iya Om,” balas Shavinna yang terkejut.
“Makasih ya.” tambah Ibu nya Glori.
Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam ruang guru. Para wartawan pun mulai rusuh di luar. Karena di anggap berlebihan, Wakil Kepala Sekolah langsung turun untuk mengusir mereka.
“Kok mereka bisa tahu Jovan?” tanya Seanna pada Shavinna.
“Mana aku tahu, Sean. Mungkin mereka emang saling kenal?” Shavinna juga masih kebingungan mengapa orang tua Glori bisa mengenal Jovan. Padahal selama Shavinna berteman dengan Glori, ia tak ada membicarakan soal Jovan dan orang tua nya. Selama ini Shavinna kira mereka baru kenal saat SMA ini.
Di dalam ruang guru hawa nya sangat menyeramkan. Karena para Polisi itu menaruh semua bukti di hadapan Glori dan juga Jovan. Padahal Glori sudah mengatakan bukan dia pelakunya, namun Polisi itu kekeh mencoba segala cara agar Glori jujur. Orang tua Glori malah di halangi untuk bertemu dengan anak nya sebelum pemeriksaan selesai.
“Mau dibilang berapa kali sih? Bukan Glori pelaku nya,” ucap Jovan yang mulai kesal dengan Polisi itu.
“Namun ini bukti nya terlalu kuat. Bagaimana bisa handphone Glori tertinggal tepat di belakang mayat itu?” jelas Polisi itu.
“Hp nya emang ketinggalan di lab. Tapi ga di belakang mayat itu, saya liat secara langsung loh Pak,” bantah Jovan.
“Yang saya tanya itu Glori, bukan kamu,” bentak Polisi itu.
“Kan tadi udah dijelasin sama Glori, Pak. Bapak ga dengerin apa gimana sih? Penjelasan nya udah kuat banget loh, kenapa jadi di tekan begini? Bapak sengaja ngejadiin Glori sebagai tersangka?” keadaan semakin memanas setelah Jovan berusaha membela Glori.
“Udah nak Jovan. Biar Glori sendiri yang menjawab,” ucap Kepala Sekolah yang berusaha melerai.
“Hp saya emang ketinggalan di lab. Tapi saya taruh di atas meja dekat alat praktik nya. Saya sengaja naruh hp saya disana, soalnya saya mau liat ada apa di belakang lab itu, Pak. Dan setelah kejadian itu saya langsung ke lapangan belakang sama Jovan. Saya ga ada menyentuh hp saya lagi setelah kejadian itu Pak,” jelas Glori yang mulai lelah menghadapi Polisi keras kepala itu.
Polisi itu terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba rekan nya menghampiri Polisi itu sambil membawa bukti lain.
“Pak, ini kami menemukan catatan yang ada di kantung celana korban,” ucap rekan nya itu.
Catatan itu bertulis kan
‘JANGAN GANGGU CEWE KU LAGI!'
Polisi itu terdiam setelah membaca catatan itu. Ia memberikan catatan itu pada Glori. Glori dan Jovan terkejut membaca catatan itu.
“Nah, udah kan? Ini pelaku nya sudah jelas pasti laki-laki. Berarti kami bisa keluar dari sini kan,” sahut Jovan.
“Sebentar, bisa saja kalian berdua bersekongkol untuk membunuh korban kan? Apa lagi kalian bersama saat di TKP,” lagi-lagi Polisi itu beralibi tak jelas.
“Astaga Bapak. Kalian ini memang nargetin kami ya dari awal? Kan kita sudah melihat CCTV tadi. Udah jelas saya muter-muter terus duduk di tangga. Dan akhirnya masuk ke lab karena Glori teriak. Salah siapa CCTV nya di matikan saat malam hari? Uang donasi selama ini kemana memang nya?” ucapan Jovan membuat Kepala Sekolah cukup kesal.
“Sudah, Pak. Biarkan mereka bertemu orang tua mereka dulu. Kita lanjutkan lagi besok,” balas Kepala Sekolah.
“Huh, kita liat aja besok. Kalau anda masih di pangkat yang sekarang.” Ancam Jovan sambil membantu Glori berdiri.
Jovan benar-benar kesal setelah menghadapi Polisi menyebalkan itu. Padahal mereka tahu Glori seorang perempuan, bagaimana bisa mereka menaruh darah sebagai barang bukti di depan Glori persis. Terlihat jelas mereka ingin cepat-cepat menutup kasus itu dan menjadikan Glori sebagai tersangka. Ditambah lagi, Jovan kesal bagaimana bisa hp Glori berpindah tempat. Jelas-jelas ia melihat Hp Glori ada di atas meja, persis seperti yang Glori jelaskan.
“Aku laper,” ucap Glori yang sudah lemas.
“Nanti aku buatin puding,” jawab Jovan.
“Ga mau, yang kemarin ga enak,” balas Glori.
“Kalau gitu nanti biar Mona yang buat,” Jovan benar-benar kasihan dengan Glori yang harus terlibat masalah seperti ini.
Glori hanya tersenyum mendengar jawaban Jovan. Sebenarnya Glori senang dengan setiap momen bersama Jovan.
Akhirnya Glori bertemu dengan kedua orang tua nya setelah dua bulan lebih tidak bertemu. Sejujur nya Glori tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini. Namun dari mata kedua orang tua nya, Glori tahu bahwa mereka sangat khawatir pada Glori. Melihat keadaan putri nya yang sangat kacau, membuat kedua orang tua nya Glori kesal.
“Putri ku. Kamu kenapa nak. Mana yang sakit nak? Siapa yang ngebuat kamu kaya gini?” ucap Ibunya Glori yang khawatir.
Tak tau harus menjawab apa, Glori hanya bisa menangis di depan kedua orang tua nya.
“Siapa yang berani bikin kamu nangis kaya gini?” sahut Ayah nya Glori yang sudah sangat kesal.
Semua Guru dan Polisi di sana ketakutan melihat Ayah nya Glori, terutama Jovan.
“SIAPA JOVAN?” bentak Ayah nya Glori.
“Polisi itu, Om. Padahal Glori sudah menjelaskan semua nya, tapi dia ga percaya juga dan malah memojokan Glori,” balas Jovan sambil menunjuk Polisi tadi.
Tanpa basa-basi Ayah nya Glori langsung memerintahkan bawahan nya untuk membawa Polisi itu mendekat.
“Wah, telinga nya masih bagus ya? Jadi telinga Anda mau di potong di sini, hah?! Anda buta apa gimana? Kondisi Putri saya sudah seperti ini, masih Anda paksa bicara? Anda mau Putri saya menjadi tersangka ya? Kita akan bicara besok, jika pangkat Anda masih bertahan!” ancaman Ayah nya Glori membuat seisi ruang guru ketakutan.
Polisi itu langsung di bawa oleh bawahan Ayah nya Glori pergi. Entah akan seperti apa nasib nya nanti. Awal nya Kepala Sekolah ingin berbincang dengan Ayah nya Glori, namun mental nya langsung mengecil. Ia takut besok tak bisa ada di sekolah itu lagi.
“Mah, aku mau pulang,” sahut Glori.
“Iya, kita pulang sekarang ya. Kamu jangan takut lagi, ada mama disini,” jawab Ibu nya Glori sambil memeluk putri nya itu.
Ayah nya Glori perlahan mendekati Kepala Sekolah.
“Jika Putri saya di perlakukan seperti ini lagi, siap-siap saja sekolah ini lenyap dari peredaran.” Bisik Ayah nya Glori pada Kepala Sekolah itu.
Karena ketakutan, Kepala Sekolah langsung membungkuk meminta maaf kepada Ayah nya Glori. Selama ini Ayah nya Glori jarang muncul di sekolah. Selalu Ibu nya Glori yang membicarakan soal donasi atau apa pun. Jadi kepala sekolah dan guru-guru disana tidak menyangka jika Ayah nya Glori akan semarah ini.
Glori, kedua orang tua nya, dan Jovan langsung pergi dari sana. Saat mereka keluar, Shavinna dan yang lain nya sudah benar-benar khawatir. Namun Ayah nya Glori terlihat masih marah besar.
“Ma, aku pamit dulu,” pinta Glori.
Ibunya hanya mengiyakan keinginan putri nya itu.
“Aku pulang dulu ya?” pamit Glori pada teman-teman nya itu.
“Hati-hati ya Glori. Tenangin diri mu dulu ya?” ucap Shavinna.
“Jovan juga pulang?” tanya Seanna.
Glori hanya tersenyum dan pergi meninggalkan teman-teman nya. Tak ada yang berani mengikuti Glori dan keluarga nya, melihat ke arah mereka saja tak berani.