Bu Guru, Jadi Mommy-ku!

Logan menangis sambil berlutut dihadapan Keira.

Keira terkejut, masih tidak mengerti kenapa Logan bersikap seperti ini kepadanya.

"Aku bukan Tuhan! Jadi berdiri, jangan berlutut di hadapanku!" ucap Keira, tegas menatap tajam Logan. Ia tidak bersimpati sama sekali melihat tangisan pria tersebut.

"Aku bersalah, aku berdosa kepada Kei. Kau bebas menghukumku, aku terima," ucap Logan di sela tangisnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap seperti ini, merendahkan diri, berlutut dan memohon maaf serta ampunan kepada Keira. Semua itu karena rasa bersalah dan rasa penyesalannya yang begitu besar.

Logan mendongak menatap Keira. "Kenapa kau tidak mengatakan kepadaku, kenapa tidak jujur padaku, Kei, bahwa kau hamil anakku," ucap Logan, menuntut penjelasan, seraya menyerahkan foto yang ia pegang.

Keira tersenyum kecut mendengar ucapan sialan itu. Keira menarik nafas panjang, seraya menyambar foto tersebut. Ia terkejut melihat Logan mempunyai foto ini. "Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Keira, hatinya berdenyut nyeri dan pikirannya kembali mengingat kejadian 9 tahun lalu saat ia melahirkan putranya penuh perjuangan.

"Bibi Jolie."

Keira sudah menebak, karena hanya Bibi Jolie yang mempunyai foto ini selain dirinya.

"Katakan kepadaku kenapa kau tidak mengatakan kepadaku tentang semua ini, Kei?" Logan kembali mengulang pertanyaannya.

"Apakah dengan aku jujur akan merubah segalanya? Apa kau tidak mengingat saat terakhir kali kita bicara, sebelum aku pergi dari rumahmu?" tanya Keira, dengan nada tinggi, menandakan saat ini ia sangat emosional. Kedua matanya merah menahan amarah dan juga tangisnya.

"Terakhir kali kita bicara?" Logan bergumam, berusaha mengingat kejadian 9 tahun lalu.

Flashback.

"Tuan, bisa kita bicara?" Keira  mendekati Logan yang tengah duduk di tepi kolam renang. Sebelum ia pindah ke rumah utama ia ingin berpamitan pada pria tersebut.

Logan menoleh, menatap dingin pelayan tersebut. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi!" ucapnya datar.

"Aku tahu kau bersikap seperti ini karena takut pada orang tuamu 'kan? Tapi, aku mohon jangan tatap aku seperti itu," ucap Keira dengan suara bergetar menahan sakit hati yang sangat dalam.

"Jangan menyebut orang tuaku!" Logan beranjak berdiri, menatap lebih tajam pada gadis itu. "Kenapa sebelumnya kau tidak pernah mengatakan jika kau adalah wanita malam! Menjijikan!!" Logan memaki gadis itu dengan penuh amarah.

Keira  berusaha tetap tenang meski hatinya sangat sakit seperti di tusuk ribuan belati. Ucapan pria itu sangatlah tajam.  "Aku pikir kau sudah memahaminya. Kau adalah pria pertama untukku! Apakah masih membutuhkan penjelasan lagi?!!" Keira tidak mampu menahan air matanya lagi. Ia pergi begitu saja dari sana meninggalkan Logan yang membeku di tempat.

Logan  mengerjabkan mata ketika ingatan itu melintas di benaknya. 'Menyesal' satu kata itu yang tertancap di hati dan pikirannya.

Keira pun mengingat hal yang sama. 9 tahun lalu, ketika dia berniat memberitahukan kehamilannya pada Logan, tapi pria itu malah menghinanya habis-habisan, saat itu juga, Keira memutuskan mengurungkan niatnya memberitahu kehamilannya pada pria itu. Dia pergi dari rumah besar keluarga Eughino dengan membawa luka yang sangat dalam.

Keira menarik nafas panjang berharap rasa sakit dan rasa sesak yang menekan dadanya berkurang, tapi sayang segala rasa itu malah semakin berkecamuk di dalam dada.

Logan mengusap wajahnya kasar. Menyesal kenapa dulu tidak mendengarkan ucapan Keira, tapi malah menghina wanita itu.

"Kau sudah tahu semuanya. Jadi aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi! Aku harap setelah ini aku tidak pernah lagi bertemu denganmu!" tegas Keira, seraya beranjak menuju pintu, membuka pintu apartemen, mengusir Logan.

Kalimat yang dilontarkan Keira seperti cambukan untuknya. Hatinya sakit mendengarnya. Seperti inikah rasa sakit yang di alami Keira dulu.

Dengan lutur bergetar, Logan berdiri, menatap Keira dengan wajah sembab. "Aku tidak akan menyerah," tegas Logan.

"Kau ingin aku memaafkanmu setulus hati bukan?" tanya Keira menatap tajam Logan.

Logan mengangguk.

Keira tersenyum sinis melihatnya seraya bersedekap di dada ia berkata, "Jangan pernah muncul lagi di hadapanku untuk selamanya! Dengan begitu aku akan memaafkanmu!" tegasnya, tidak main-main. "Keluar dari sini!" usirnya lagi, kali ini suara naik tiga oktaf.