Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Old New Things
“Arrggghhh, gara-gara Akasia nih! Liburan gue jadi nggak asyik.” Selena marah-marah di kamarnya. "Gue udah menelan harga diri buat minta maaf ke Akasia, padahal tinggal dia bujuk aja Endry supaya akur lagi sama gue." Ia melirik boneka yang baru saja ia temukan.
‘Cerita apa dia? Tentang saingannya?’ Hayashi yang ada di boneka itu menebak dalam batinnya, ‘Kalau memang tidak suka, racuni saja, selesai.’
“Diam-diam gue udah racuni makanannya sih. Hah, seandainya membunuh itu nggak kena pidana, bakal gue lakukan deh! Sayangnya gue cuma bisa kasih makanan yang bikin dia alergi waktu minta maaf. Endry pasti lihat muka jeleknya waktu alerginya kumat di tempat kerja. Hahahaha, rasain!” Cerita Selena seolah menjawab saran Hayashi.
Hayashi terkejut dengan kesinambungan jawabannya. Ia yakin hanya berkata dalam hati, ‘Apa dia bisa menebak suara batinku? Sakti juga perempuan ini. Lagipula jarang aku bertemu perempuan dengan pemikiran segila ini.’ Hayashi mengagumi keberanian dan kenekatan perempuan di depannya, ‘Menarik!’
Selena melihat jam, “Waktunya pulang ke Jakarta. Lu harus ikut ya, nanti gue ceritakan lebih banyak.” Ia mengambil boneka Jepang itu dan membawanya dengan satu tangan, sementara di tangan lain ia menggeret kopernya. Ia menaiki mobil masih dengan mendekap bonekanya. Ia mengabaikan obrolan teman-teman wanitanya yang menurutnya membosankan.
“Lu harus tau, gue udah tujuh tahun bersahabat dengan Endry. Tujuh tahun! Dan itu hancur cuma karena Akasia, karena satu cewek doang. Padahal selama ini gue yang selalu ada buat Endry, gue bantu dia semampu gue, dan kita sering pergi bareng kemanapun. Gue yang paling tahu tentang Endry, cuma gue yang dia butuhkan.” Selena bercerita dengan penuh kekesalan, menyambung curhatannya begitu sampai di kediamannya di Jakarta.
‘Memang kesalahan apa sih yang sudah kamu lakukan?’ Hayashi membatin heran.
“Padahal gue cuma omongin kenyataan tentang kondisi keluarga Akasia yang memang amburadul, itu pun ke teman-teman sekelas aja. Tanpa gue omongin juga itu kayaknya udah jadi rahasia umum, deh. Eh gue dibilang sengaja nyebarin aib. Dan berbicara tentang Akasia, dia juga nggak sepolos itu kok. Nih lihat, dia juga kasih ancaman ke gue,” Selena membuka ponselnya dan mencari chat Akasia, “Gue bacain ya.
'Selena, ini ultimatum dari gue. Gue tahu kelakuan jahat lu ke cewek-cewek di sekitar Endry, gue juga tahu lu nggak mau Endry tahu soal perbuatan lu itu. Karena itu, terserahlu mau cari masalah sama siapa, but don't mess with me! Jangan pernah celakain tubuh gue lagi, atau gue bongkar semua kelicikanlu ke Endry. Ingat itu!’”
‘Kejahatanmu seperti apa?’ Hayashi curiga.
“Berlebihan banget dibilang jahat! Gue cuma jaga Endry dari cewek-cewek genit. Kalau ada yang coba dekati Endry atau kegenitan sama dia, gue kasih pelajaran doang. Paling cuma gue siram air pel terus dikunciin di kamar mandi, atau taruh cicak mati di tasnya atau kolong mejanya, atau dislengkat aja, nanti juga jatuh, malu sendiri. Tapi tanpa Endry tahu ya, di depan dia sih gue gadis manis yang baik dan lembut,” Selena menerangkan, “Siapa suruh dekati Endry, he is mine!”
‘Hebat, kamu tahu cara menyingkirkan sainganmu dengan taktik.’ Hayashi mengagumi strategi perempuan itu.
“Emang gue jahat ya kalau jagain pendamping masa depan gue? He and i mean to be together. Sejak kelas 3 SD gue sudah klop banget sama Endry, ortu kita juga teman akrab, lancar banget kayaknya jalan menuju masa depan gue yang cerah berdua, sampai tiba-tiba si Akasia muncul dan ngejegal aja gitu. Hell no!” Selena mempertanyakan, “Gue cuma realistis, menjaga keutuhan rencana masa depan gue.”
‘Kenapa cerita kepadaku? Bukan ke teman-temanmu?’ Hayashi mempertanyakan kejanggalan yang ia temukan.
“Kalau orang lihat gue ngobrol sama boneka begini mungkin gue bakal disangka gila kali ya. Teman-teman cewek gue itu nggak ada yang nyambung sama gue, mereka selalu meremehkan masalah gue karena mereka lihat gue hidup makmur. Mereka nggak paham, ada banyak masalah yang nggak bisa diselesaikan cuma dengan uang.” Gadis itu menertawakan hidupnya, “Segitunya kesepian kali ya gue. Gimana nggak, orangtua gue aja anggap rumah ini kayak terminal, kalau butuh ya datang, nanti pergi lagi buat urus kerjaannya, sibuk banget. Nggak masalah sih gue, gue bisa sendiri kok,” Selena mencoba menampik perasaannya sendiri.
‘Bohong.’ Hayashi membatin sambil tersenyum paham. Ia juga pernah berlagak kuat dan independen seperti itu, hingga akhirnya ia sadari, tanpa bantuan dari orang-orang di sekitarnya ia tidak akan mampu sampai di puncak kejayaannya, pada akhirnya ia baru menyadari ia bisa berdiri di titik terhebatnya karena bantuan dari orang-orang sekitarnya. Bahkan ia pernah menggantungkan kebahagiaan hatinya pada satu wanita.
“Oke, sejujurnya gue berharap orangtua gue bisa lebih sering bersama gue. Tapi gue nggak mau merengek kayak anak manja buat minta itu, tunggu kesadaran mereka sendiri aja.” Selena berkata lebih jujur kali ini.
Seseorang mengetuk pintu kamar Selena, hingga gadis itu mempersilakannya, “Maaf non, sudah waktunya latihan anggar.” Lapor seorang wanita yang tampaknya bekerja untuk keluarga itu.
“Lu mau lihat gue berpedang nggak? Biar lu tahu gimana kerennya gue. I'll show you how good i am, i'm a lot better than her for sure!” Selena mempersiapkan pakaian ganti di tasnya dan membawa serta boneka Jepangnya.
Di tempat Selena latihan anggar, boneka Jepang itu ditaruh untuk menyaksikan gadis itu berpedang dengan cekatan melawan pelatihnya. Pemandangan itu membuat Hayashi ingat dan merindukan masa lalunya. Ia sebenarnya salut dengan kekuatan dan kemahiran gadis itu, kalau saja ia mau menekan egonya sendiri. Kemampuannya mempertahankan apa yang dirasa menjadi miliknya pun cukup membuat Hayashi bangga, meski prakteknya salah, ‘Tunggu, apa mungkin aku bisa berhasil kalau aku memakai strategi sebrutal dia ya?’ Hayashi jadi berandai-andai, andai saja ia bukan pria yang terlalu idealis mungkin ia akan seradikal gadis itu.
Tapi satu yang ia pahami, gadis ini suka mendominasi. Ia jarang melihat tipe wanita seperti ini, dan tidak menyangka sekarang ada di genggaman tangannya, ‘Kukira dulu cuma Kemuning wanita yang bisa mendominasiku.’ Pikirnya sambil tertawa dalam hati, menertawai nasibnya sendiri.
Siang itu kamar pribadi Selena sepi, Selena si pemilik kamar sedang bersekolah. Boneka Hayashi duduk dengan sabar menunggunya. Meski diam pikirannya dipenuhi oleh rasa empatinya kepada Selena. Dimatanya gadis pemilik kamar mewah tersebut sebenarnya beruntung karena bisa memiliki apapun yang ia bisa beli. Tapi ia juga bisa mengerti rasa kesepian gadis itu dan menjadi prihatin dengannya, itu memang masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan uang. Belum lagi sahabatnya yang mendadak menjauhinya. Pasti berat rasanya hidup sendiri tanpa kawan akrab, ia tidak bisa membayangkan karena selama hidupnya kawan-kawan anggota pasukannya selalu menjadi pendukungnya.
Ia jadi teringat dengan Endo, kaki tangannya yang mengkhianatinya. Orang kepercayaannya yang telah didapuknya sebagai sahabat yang malah membunuh wanita yang dicintai dan paling menginspirasinya. ‘Kenapa Endo melakukan itu?’ Hayashi mengingat-ingat apa perilaku Kemuning yang mungkin menyinggung Endo.
Hayashi terbawa suasana, terbayang kejadian setelah tragedi di masa lalunya itu. Ia menyerahkan Endo untuk ditangani pasukannya, sementara ia ikut memulangkan jasad Kemuning ke kediamannya dengan rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Sesampainya di sana ia meminta maaf kepada orangtua Kemuning hingga berlutut, ia merasa sangat menyesal karena gagal mengawasi bawahannya hingga kehilangan nyawa wanita cerdas yang dicintainya itu.
Setelah kematian wanitanya dunianya terasa kelabu, semua serba hitam dan putih. Ia kembali kepada ketegasannya, tidak pernah mau menemui Endo lagi dalam pengasingannya di penjara. Hayashi khawatir jika ia menemui Endo, ia akan membunuh anak buahnya itu tanpa bisa dikontrol.
Ia terlalu kehilangan sosok wanita yang dicintainya hingga hatinya terasa kebas. Saat ia tenggelam dalam depresi, ia berencana menuju sebuah hutan untuk membunuh dirinya sendiri, seppuku dengan pedang kebanggaannya. Sebelum ia melaksanakan niatnya itu ia lebih dulu pamit ke orangtua Kemuning, disitulah ia menerima sumpah serapah yang mengubah wujudnya menjadi seperti ini.
“Dasar pongah! Kau sangka selama ini hanya dirimu yang unggul, bukan? Sampai bertemu Kemuning, wanita yang mampu menggenggam kendali atas pikiran dan perbuatanmu . Adakah siapapun orang lain yang mampu sedemikian mempengaruhi laku hidupmu? Biarlah engkau tenggelam dalam kesombonganmu itu, menjalani kesendirian hingga habis daya. Hingga nanti apabila takdir mempertemukanmu dengan wanita lain yang mampu mengunggulimu dengan akal, budi, serta memperlakukanmu sebagai manusia sejati, barulah kutukan ini akan luruh!”
Hayashi merasakan perubahan dalam dirinya, badannya terasa membesar dan berat, “Hah, kenapa ini?” Gumamnya, hingga ia menyadari ia sudah berwujud manusia seperti dulu.
Ia mendekati kaca besar yang menempel di dinding kamar itu, memastikan itu adalah sosoknya persis seperti ingatannya terakhir kali, lengkap dengan hakama yang dikenakannya untuk rencananya bunuh diri, “Aku menjadi manusia lagi?" Pekiknya girang, sebelum menyadari ia tetap harus menyembunyikan diri, "Apa yang harus kulakukan kalau begini? Bagaimana kalau Selena pulang nantinya?"
Beberapa saat kemudian Hayashi menjadi sosok boneka kembali, ‘Fyuh, ternyata cuma sementara.’ Batinnya sedikit kecewa sekaligus lega. Ia pikir mungkin kedepannya ia harus bersiap-siap jika benar-benar berhasil melunturkan kutukan itu sepenuhnya.
semangat /Good/