NovelToon NovelToon
Jejak Naga Langit

Jejak Naga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: HaiiStory

"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."

Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serpihan Waktu yang Menari

Sebelum Mei bisa memproses kata-kata Wei An, suara retakan halus memenuhi udara. Bukan berasal dari Cermin di tangannya, tapi dari lantai pagoda di bawah kakinya. Garis-garis tipis mulai muncul di permukaan kayu, membentuk pola yang anehnya familiar—seperti tulisan kuno yang pernah dia lihat di gulungan-gulungan tua Wei An, tapi lebih... hidup. Setiap garis bergerak seperti akar yang tumbuh, meliuk-liuk membentuk karakter-karakter yang berubah sebelum bisa dibaca.

"Bahasa Pertama," Liu Xian berbisik, suaranya dipenuhi kekaguman dan ketakutan. "Bahasa yang digunakan para naga sebelum mereka belajar berbicara dengan manusia."

Naga Jade mendengung dalam nada yang membuat daun-daun di sekitar pagoda bergetar. Dalam gemerisik dedaunan itu, Mei bisa mendengar bisikan-bisikan samar—suara-suara dalam bahasa yang tidak dia kenal tapi entah bagaimana bisa dia pahami:

Ketika air dan api bertemu dalam harmoni...

Ketika bumi dan langit bertukar tempat...

Ketika yang terpisah menjadi satu...

"Ramalan kuno," si cendekiawan menjelaskan, matanya tidak lepas dari tulisan yang terus bergerak di lantai. "Tapi tidak seperti yang pernah kami dengar sebelumnya."

Mei merasakan getaran dari kedua Cermin di tangannya berubah, menciptakan resonansi yang berbeda. Dalam pantulan mereka, dia tidak lagi melihat ribuan versi dirinya, tapi sesuatu yang lebih tua, lebih dalam—seperti ingatan yang sudah ada sebelum dia lahir.

"Lihat," Madam Lian berkata lembut, menunjuk ke arah cangkir teh di mana sisik Naga Lazuli masih berputar. Permukaan teh mulai berubah warna, dari hitam pekat menjadi keemasan, kemudian perak, hijau jade, biru lazuli, dan merah—berputar dalam spiral yang semakin cepat hingga semua warna berbaur menjadi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Master Song melangkah maju dengan susah payah, sisik-sisiknya yang redup kini berkilau dengan cahaya yang berubah-ubah mengikuti warna teh. "Segel yang kami ciptakan..." dia berhenti sejenak, seolah berat untuk melanjutkan, "...bukan untuk mengurung sesuatu yang jahat, tapi untuk melindungi sesuatu yang terlalu berharga untuk dibiarkan bebas."

"Pengetahuan," Wei An melanjutkan, retakan di matanya kini memantulkan warna-warni yang sama. "Pengetahuan tentang bagaimana dunia seharusnya—bagaimana manusia dan naga seharusnya hidup berdampingan. Pengetahuan yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan jatuh ke tangan yang salah."

Naga Emas—ibu Mei—tiba-tiba bergerak mendekat, matanya yang keemasan menatap dalam ke mata putrinya. Dalam tatapan itu, Mei melihat serentetan gambar berkelebat: seorang wanita muda menuang teh di sebuah kedai yang tampak asing namun familiar, para naga dalam wujud manusia duduk bersama para cendekiawan membahas filosofi alam, anak-anak bermain dengan naga-naga kecil di taman yang dipenuhi bunga sakura...

"Keseimbangan yang sempurna," Liu Xian berbisik. "Dunia sebelum ketakutan dan keserakahan mengubah segalanya."

Tapi ada sesuatu yang janggal dalam gambaran-gambaran itu. Sesuatu yang membuat Mei mengernyitkan dahi. "Tunggu," dia berkata perlahan, "dalam semua gambar ini... di mana para Penjaga? Di mana para Pengembara?"

Keheningan yang menyusul pertanyaannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Para Penjaga dan Pengembara saling bertukar pandang, ekspresi mereka sulit dibaca.

"Kami," Master Song akhirnya berkata, "tidak seharusnya ada."

"Maksudmu?" Mei bertanya, meski dalam hatinya dia mulai memahami sesuatu yang mengerikan.

"Para Penjaga, para Pengembara..." Wei An melanjutkan, suaranya bergetar, "kami adalah anomali. Produk dari ketakutan dan kesalahpahaman. Dalam dunia yang seimbang, tidak ada kebutuhan untuk penjaga atau pengembara, karena tidak ada yang perlu dijaga atau dijelajahi."

"Tapi kalian bilang ritual kedua adalah untuk menyegel pengetahuan ini," Mei berargumen. "Bukankah itu berarti kalian melindunginya?"

Madam Lian menggeleng perlahan, sisik-sisik di lehernya terus berguguran. "Kami tidak melindunginya, Mei. Kami menguburnya. Karena kami takut... takut bahwa jika pengetahuan ini tersebar, semua yang kami bangun—semua kekuasaan dan kontrol yang kami miliki—akan hancur."

Air mata mulai mengalir di pipi Mei, tapi air mata itu berkilau dengan warna-warni yang sama seperti teh dalam cangkir. "Jadi ketika kalian bilang aku adalah kunci..." dia tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Ya," si cendekiawan mengangguk sedih. "Kau adalah kunci untuk mengembalikan dunia ke keadaan seharusnya. Dan itu berarti..."

"Kami harus lenyap," Liu Xian menyelesaikan dengan suara yang anehnya damai.

Tepat saat kata-kata itu terucap, sisik terakhir Naga Lazuli jatuh ke dalam cangkir teh. Permukaan teh yang berwarna-warni tiba-tiba berhenti berputar, menjadi sejernih kristal. Dan dalam kejernihan itu, Mei melihat pantulan yang berbeda dari semua yang pernah dia lihat—bukan masa lalu atau masa depan, tapi sesuatu yang lebih mendasar.

Kebenaran.

Teh dalam cangkir itu masih sejernih kristal, tapi sekarang ada sesuatu yang berbeda dalam kejernihannya—seperti cermin yang memantulkan cahaya yang belum pernah ada di dunia ini. Mei mengamati permukaannya yang tenang, bertanya-tanya apakah kebenaran yang dia lihat sebelumnya masih ada di sana, tersembunyi di balik ketenangan itu.

"Kita harus membawanya ke Paviliun Bulan Kembar," Madam Lian tiba-tiba berkata, suaranya lebih lembut dari biasanya. Sisik-sisik di lehernya telah berhenti rontok, tapi yang tersisa kini tampak lebih... manusiawi, seperti tato kuno yang setengah memudar.

Wei An, yang matanya masih retak tapi tidak lagi memantulkan bayangan-bayangan, menggeleng pelan. "Paviliun itu sudah tidak ada sejak tiga ratus tahun yang lalu," dia mengingatkan. "Hancur dalam Pertempuran Fajar Terakhir."

"Tidak," Liu Xian menyela, matanya yang keemasan berkilat penuh arti. "Paviliun itu masih ada. Hanya saja... tidak di waktu yang sama dengan kita."

Mei merasakan getaran samar dari kedua Cermin di tangannya—bukan getaran keras seperti sebelumnya, tapi lebih seperti bisikan yang mencoba menarik perhatiannya. Dalam pantulan mereka, dia melihat sekilas bayangan sebuah bangunan yang tampak familiar sekaligus asing: sebuah paviliun bertingkat lima dengan dua menara kembar yang menjulang tinggi, dikelilingi pohon-pohon willow yang daunnya berkilau keperakan.

"Aku pernah melihat tempat ini," Mei berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. "Dalam mimpiku... atau mungkin dalam teh yang kuseduh?"

Master Song mengangguk perlahan, sisik-sisiknya yang redup kini berpendar dengan cahaya yang mirip dengan kilau daun willow dalam pantulan Cermin. "Paviliun Bulan Kembar adalah tempat di mana waktu mengalir berbeda," dia menjelaskan. "Di sana, semua waktu—masa lalu, masa kini, dan masa depan—mengalir bersama seperti sungai yang bercabang dan menyatu kembali."

"Tapi bagaimana kita bisa mencapai tempat yang bahkan tidak ada dalam waktu kita?" Mei bertanya, masih mengamati bayangan paviliun dalam Cermin.

Si cendekiawan tua melangkah maju, tubuhnya yang transparan kini lebih solid dari sebelumnya. "Dengan cara yang sama seperti para naga pertama kali mengajari manusia untuk menyeduh teh," dia berkata penuh makna. "Dengan memahami bahwa waktu, seperti air, bisa mengalir ke segala arah jika kau tahu cara menuangnya."

Di atas mereka, lima naga masih melayang dalam formasi yang seolah mengikuti musik yang tak terdengar. Tapi sekarang Mei menyadari sesuatu: gerakan mereka membentuk pola yang identik dengan riak-riak yang dia lihat di permukaan teh sebelumnya.

"Teh dalam cangkir ini..." Mei mulai mengerti sesuatu. "Bukan hanya teh biasa, kan?"

Madam Lian tersenyum—senyum yang mengingatkan Mei pada saat pertama dia belajar menyeduh teh. "Tidak ada yang namanya 'teh biasa', Mei. Setiap tetes teh yang pernah diseduh membawa serpihan waktu di dalamnya. Hanya saja... teh ini membawa lebih banyak serpihan dari yang seharusnya."

"Dan dengan sisik naga di dalamnya..." Wei An menambahkan, matanya yang retak kini terfokus pada cangkir teh, "...serpihan-serpihan itu mulai menyatu kembali."

Tiba-tiba, angin bertiup kencang, membawa aroma yang membuat Mei tertegun. Bukan aroma teh atau hujan atau apa pun yang dia kenal, tapi sesuatu yang lebih tua—seperti ingatan yang sudah ada sebelum waktu itu sendiri.

"Kita harus bergerak sekarang," Liu Xian berkata dengan nada mendesak. "Batas antara waktu mulai menipis. Jika kita tidak mencapai Paviliun sebelum bulan kembar terbit..."

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi Mei bisa merasakan urgensi dalam suaranya. "Bulan kembar?" dia bertanya. "Tapi hanya ada satu bulan."

"Tidak malam ini," Master Song menjawab sambil menatap langit yang mulai gelap. "Tidak di waktu seperti ini."

Mei mengikuti arah pandangannya dan melihat sesuatu yang membuat nafasnya tercekat. Di langit yang semakin gelap, dua bulan mulai tampak samar—satu berwarna perak seperti biasa, satu lagi berwarna keemasan seperti mata Naga Emas.

"Bagaimana...?" Mei tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.

"Dunia sedang mengingat," si cendekiawan menjawab dengan suara bergetar. "Mengingat bagaimana seharusnya ia terlihat sebelum segel pertama dibuat."

Naga Emas—ibu Mei—tiba-tiba mendengung dalam nada yang membuat udara bergetar. Dalam dengungnya, Mei bisa mendengar melodi yang familiar—lagu pengantar tidur yang selalu dia ingat tapi tidak pernah tahu dari mana asalnya. Tapi kali ini, ada kata-kata dalam melodi itu:

Ketika dua bulan berdansa di langit malam,

Waktu yang terpisah akan bersatu kembali.

Di antara cermin dan teh yang menari,

Kebenaran yang terlupakan akan bangkit dan bernyanyi.

"Itu bukan sekadar lagu pengantar tidur," Mei berbisik, pemahaman mulai menyusup dalam benaknya. "Itu petunjuk... petunjuk yang sudah ada sejak aku kecil."

"Ya," Madam Lian mengangguk. "Seperti teh hitamku yang konon bisa menyembuhkan patah hati. Bukan tehnya yang menyembuhkan, tapi ingatan yang dibawanya—ingatan tentang dunia yang belum patah."

Wei An melangkah maju, matanya yang retak kini memantulkan cahaya dari kedua bulan di langit. "Kita harus mengikuti jalan air," dia berkata sambil menunjuk ke arah yang mengejutkan—ke dalam cangkir teh.

"Maksudmu..." Mei menatap cangkir di tangannya dengan ragu.

"Ya," Liu Xian mengangguk. "Teh adalah jalan tertua antara dunia manusia dan dunia naga. Dan malam ini, dengan dua bulan di langit dan sisik naga dalam teh..."

"...jalan itu terbuka kembali," Master Song menyelesaikan.

Mei menatap permukaan teh yang jernih, dan untuk sesaat, dia melihat pantulan dirinya yang berbeda—bukan seperti yang dia lihat dalam cermin biasa, tapi seperti versi dirinya yang mungkin ada dalam waktu yang berbeda. Dalam pantulan itu, dia melihat dirinya mengenakan pakaian kuno dengan motif naga yang bergerak-gerak seperti hidup, menuang teh dari teko jade yang dia yakini sudah hilang berabad-abad yang lalu.

Tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu dari penampilan dirinya dalam pantulan itu—sesuatu dalam cara dia tersenyum, seolah dia tahu sesuatu yang Mei sekarang belum tahu.

"Kita harus memilih," Madam Lian berkata lembut. "Begitu kita mengikuti jalan ini, tidak ada jalan kembali. Waktu yang retak akan mulai menyatu, dan semua yang kita kenal..."

"...akan berubah selamanya," Wei An menyelesaikan.

Mei menatap kedua Cermin di tangannya, kemudian ke arah lima naga yang masih melayang dalam formasi mereka, dan akhirnya ke arah cangkir teh yang tampak terlalu normal untuk semua keajaiban yang dikandungnya.

Dia mengambil nafas dalam-dalam, mencium aroma yang kini dia kenali sebagai aroma waktu itu sendiri, dan membuat keputusannya.

1
muhammad haryadi
Makasih kak
Pisces gemini
semangat kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!