Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Alvian bereaksi cepat. Hendak melepas tangan Riana, namun...Semakin erat pelukan itu.
"Jangan lepas, Al. Apa kamu tahu kalau aku sangat mencintai kamu?" Ia bersuara lirih. Sengaja sedikit mendesah dengan maksud menggoda.
"Lepas, Riana!"
Bukannya melepas, Riana malah menciumi punggung polos Alvian. Mengeratkan kedua tangannya hingga tubuh mereka benar-benar menyatu.
"Kamu kenapa sih selalu cuek sama aku? Aku kurang apa? Aku wanita yang cantik, modern dan cerdas. Aku sangat layak untuk kamu."
Jika Riana berpikir Alvian akan tergoda dengan kemolekan tubuhnya, maka salah besar. Karena Alvian malah bersikap biasa-biasa saja. Seolah tak ada hasrat dalam dirinya dan tak ada rasa maupun gejolak seperti saat bersama Ajelabeberapa bulan lalu.
"Sekali lagi aku minta lepaskan!" Alvian menghempas tangan Riana dengan kasar. Namun, Riana belum mau menyerah. Ia berpindah berdiri tepat di hadapan Alvian. Belahan dadanya kini lebih terlihat jelas karena sengaja menurunkan tanktopnya.
"Lihat aku sekali ini saja, Al. Buka hatimu untuk aku. Aku yakin kamu bisa menerima aku seperti aku menerima kamu."
Alvian menyeringai, yang sialnya malah terlihat menyeramkan di mata Riana. Kepercayaan diri wanita itu perlahan luntur oleh sikap dingin Alvian.
"Ingat satu hal, Riana. Aku bersedia bertunangan dengan kamu bukan karena aku menyukai kamu. Tapi demi memenuhi keinginan mama. Jadi jangan berharap lebih dariku."
Detik itu juga pipi Riana yang merona berubah menjadi pucat. Alvian mendorongnya hingga terjatuh ke sofa.
"Sekarang keluar dari sini.Aku sedang ingin istirahat!"
Sepasang bola mata Riana tergenang cairan bening. Untuk ke sekian kali ia harus memendam kecewa. Entah dengan cara apa lagi untuk bisa menaklukkan Alvian.
Kemolekan tubuh dan cantik wajahnya bahkan tak cukup untuk meluluhkan lelaki itu.
Huh, ternyata kucing satu ini tidak begitu tertarik dengan ikan salmon.
**
**
Di sisi lain, Ajela sedang duduk seorang diri di dalam sebuah masjid. Sudah beberapa hari ini ia tidur di masjid karena belum mendapatkan hunian baru.
Beberapa tempat yang ia datangi cukup mahal, sedangkan uang yang tersisa tak lagi cukup. Ia juga belum berani kasbon di tempat kerja yang baru, karena baru beberapa hari bekerja.
Ajela membelai perutnya.
Sedari tadi bayi di dalam sana terus bergerak. Namun, kali ini Ajela merasa sedikit aneh. Jika biasanya ia merasa bahagia dan tenang saat merasakan gerakan bayinya, kini rasanya berbeda. Entah mengapa ada rasa sakit di hati yang tidak tahu berasal dari mana.
Jika sedih karena belum mendapatkan tempat tinggal, sepertinya bukan. Hidup seperti sekarang jauh lebih baik dari pada saat tinggal bersama Riana dan ibunya. Di mana ia sering dipukuli atau dianggap sampah.
Tiba-tiba saja air mata
berderai tanpa dapat ditahan. Dalam hitungan detik Ajela sudah terisak-isak. Hati kecilnya berkata bahwa kesedihan sekarang adalah bawaan bayi dalam kandungannya. Apalagi pikiran Ajela tiba-tiba tertuju pada Avian. Konon katanya, bayi dalam kandungan memiliki ikatan batin yang kuat dengan ayah biologisnya.
"Kamu kenapa, Sayang? Kamu sedih, ya?"
Ia kembali membelai perut.Tangannya bergerak mengikuti gerakan-gerakan bayi mungil itu.
"Sabar ya, Nak. Kalau dapat uang nanti mama akan cari tempat tinggal yang baru. Jadi kita tidak akan kedinginan tidur di lantai lagi
**
**
"Nak, kamu sebenarnya siapa dan mau ke mana? Sudah beberapa hari ini ibu lihat kamu tidur di sini ." Suara seorang wanita mengagetkan Ajela yang sedang menyapu di dalam masjid.
"Maaf, Bu. Nama saya Ajela .
Saya nginap di sini karena sudah beberapa hari cari kontrakan, tapi belum dapat juga yang murah."
Sejenak wanita berusia kira-kira 45 tahunan itu memandangi Ajela dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia memperhatikan perut buncit Ajela yang tertutup mukena.
"Kamu sedang hamil?"
Ajela mengangguk ragu.
"Suami kamu di mana?"
Kali ini Ajela bungkam. Tak tahu harus menjawab apa. Jika ia berbicara jujur dan mengatakan tidak memiliki suami karena hamil di luar nikah, mungkin ia akan diusir dan tidak diizinkan menginap di sana lagi.
"Saya...." Ajela menunduk demi menyembunyikan air mata yang menggenangi bola matanya. Dan wanita itu sepertinya dapat melihat kesedihan yang tersembunyi.
"Tidak apa-apa, Ajela . Kalau kamu tidak keberatan, saya ada kontrakan yang masih kosong. Kamu bisa tinggal di sana kalau mau."
"Tapi sewanya berapa ya, Bu?"
"Tidak usah kamu pikirkan masalah sewanya. Kebetulan rumah itu memang sudah beberapa bulan kosong karena penyewa lama pulang kampung. Dari pada kosong dan banyak debu kan lebih baik kamu tinggal di sana ."
"Terima kasih, Bu. Maaf saya akan merepotkan Ibu."
"Tidak apa-apa. Ayo, ikut ibu."
Hati Ajela dipenuhi rasa syukur bertemu dengan seorang wanita baik yang mau memberi tumpangan. Lokasi rumah Bu Rani tidak begitu jauh dari masjid, hanya berjalan kaki mereka sudah tiba. Rumah kontrakan itu cukup sempit, berada tepat di sebelah rumah tinggal Bu Rani.
"Rumahnya agak berdebu karena lama kosong. Kamu bisa bersihkan. Air dan listriknya jalan, kok."
"Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih."
Ajela memandangi rumah itu.
Baginya hunian ini cukup layak untuknya. Setelah kepergian Bu Rani, ia mulai membersihkan debu dan sampah yang berserakan.
Hingga tak terasa sore berganti malam.
Ajela terkulai lemas di atas kasur busa. Cukup melelahkan membersihkan rumah berkurusan kecil itu bagi wanita hamil besar sepertinya.
Ayin terdiam sebentar sambil memandangi rumah itu. Menyedihkan memang. Ia hidup dalam kemiskinan, sementara ayah dari anak yang dikandungnya memiliki kekayaan tak terhitung.
**
**
Beberapa hari kemudian ....
Hari pertunangan Alvian dan Riana akhirnya tiba. Hotel tempat digelarnya acara sudah tampak ramai oleh para tamu.
Alvian berada di tengah ruangan sedang berbincang dengan beberapa teman. Sedangkan Mama Veny dan oma sedang menyambut kerabat yang berdatangan.
Di sisi lain ada Riana yang malam ini tampil sangat cantik dalam balutan gaun indah. Ia sedang duduk dengan sang mami yang konon katanya baru tiba dari luar negeri. Ya, mami palsu yang disewanya itu malam ini juga tampak sangat berkelas. Riana membekali dengan pakaian bermerk yang mahal dan juga assesories yang identik dengan wanita karier dari kalangan atas.
"Ingat, kalau bicara hati-hati, jangan bikin malu," bisik Riana kepada wanita itu. Sudah berulang-ulang ia menekankan kalimat yang sama.
"Kamu tenang saja, Riana. Saya sudah tahu harus melakukan apa."
"Aku hanya mau ngingetin Tante. Jangan sampai mengacaukan hari pertunangan aku."
"Iya-iya. Kamu tenang aja kenapa sih."
Riana melirik Mama Veny dan juga Alvian sambil berusaha menghilangkan rasa gugup. Tidak lama lagi mereka akan memasuki acara inti, yaitu tukar cincin yang menandai resminya pertunangan antara Riana dan Alvian.
"Riana, kamu sudah datang, ya ." Mama Veny dan juga Oma Titin menghampiri Riana dan maminya.
"Iya, Mah. Maaf, aku lama. Soalnya lama dandan di salon."
"Tidak apa-apa. Acara juga baru mau mulai, kok."
"Oh ya, Mah, Oma, kenalin ini mamiku. Baru datang kemarin dari luar negeri."
Mama Veny dan Oma melirik wanita di samping Riana. Mereka saling berkenalan dengan berpelukan.
"Saya senang sekali Jeng Trisha mau datang ke acara malam ini. Tadinya saya pikir Jeng Trisha tidak bisa datang," ucap Mama Veny. Terlihat sangat senang bertemu calon besan.
"Iya, Jeng Veny. Tadinya saya memang sangat sibuk karena ada perusahaan dari luar yang mau bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi Riana terus menghubungi. Jadi saya menyempatkan diri datang."
Aman! Untuk perkenalan pertama segalanya aman dan terkendali. Mami Trisha menjalankan perannya dengan sangat baik tanpa kecurigaan siapapun.
Tetapi, tentu saja bangkai yang ditutupi serapat mungkin baunya akan tetap tercium. Mami Trisha yang sejatinya berasal dari kalangan bawah tentu terkagum-kagum dengan pesta ala kalangan atas yang meriah dan gemerlap.
Setelah perkenalan itu, kini Mami Trisha sedang mengagumi beberapa tamu artis yang datang.
Ia sempat sembunyi-sembunyi minta foto dengan beberapa artis.
Setelah itu ia terfokus dengan berbagai hidangan yang tersedia.
Ia bahkan sudah beberapa kali mencicipi makanan yang menggugah selera.
Dan hal itu tak lepas dari pengawasan Oma Titin yang memiliki tingkat ke-kepoan tinggi.
"Kamu tidak merasa aneh dengan maminya Riana?" bisik Oma Titin.
"Aneh bagaimana, Bu?"
"Lihat di sana." Oma menunjuk ke arah wanita itu. "Pakaiannya sih berkelas, tapi sikap itu tidak pantas."
Mama Veny melirik calon besannya. Terdiam sambil berpikir sejenak.
"Memang agak aneh sih, Bu.
Tapi sudahlah. Mungkin karena dia lama di luar negeri jadi jarang makan makanan Indonesia."
"Bisa jadi sih."
Mama Veny mengulas senyum.
Meskipun tanda tanya mulai bermunculan di kepalanya melihat keanehan dari calon besan.
**
**
Jika Riana terlihat sangat bahagia, berbeda dengan Alvian yang sedari tadi berwajah murung. Tak ada raut bahagia di wajahnya. Semua terasa hambar. Tatapannya kosong dengan pikiran melayang-layang. Bahkan Riana yang berada di sisinya tak ia pandang sedikit pun.
Hingga akhirnya sesuatu berhasil mencuri perhatian Alvian. Ia terpaku sosok yang tengah menata beberapa menit di meja tengah.
Bagaimana tidak, sosok wanita di antara ratusan tamu itu adalah Ajela . Alvian terpaku memandangi Ajela yang malam itu tampak manis alami. Perutnya semakin membesar.
Untuk ke sekian kali Alvian merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Melihat Ajela cukup kerepotan dengan perut yang membesar. Pasti sangat sulit baginya untuk melakukan semua pekerjaan itu.
Dan, bukan hanya Alvian yang terkejut melihat keberadaan Ajela . Ajela pun sama terkejutnya saat menoleh dan baru menyadari bahwa sang empunya acara ternyata adalah Alvian dan Riana.
"Jadi yang tunangan itu Tuan Alvian dan Kak Riana?"
Tiba-tiba Ajela merasakan dadanya penuh sesak. Ayah dari anak dalam kandungannya kini sedang bersama wanita lain dalam posisi cukup mesra di mata Ajela .
Dan, dengan bodohnya air mata yang berusaha ditahan itu meleleh.
Ajela berusaha menyembunyikan agar tak seorang pun melihat.
"Aku harus cepat pergi dari sini."
Sementara itu, Riana yang menyadari Alvian sedang terfokus akan sesuatu, ikut mengarahkan pandangannya ke tempat yang sama. Alangkah terkejut Riana saat mendapati adik tirinya berada di sana. Pantas saja sejak tadi Alvian terkesan mengabaikan dirinya.
"Sialan! Jadi Ajela adalah salah satu karyawan katering." Riana membatin kesal. Detik itu juga berbagai rencana jahat tersusun di otaknya.
Tidak akan ia biarkan Ajela mengacaukan apa yang sudah ia perjuangkan mati-matian.
"Kamu kenapa sih, Al? Dari tadi aku lihat kamu diam saja," tanya Riana, yang kini bergelayut manja di lengan laki-laki itu.
"Tidak apa-apa. Dari dulu aku memang seperti ini, kan?"
"Aku tahu, tapi ini hari pertunangan kita. Setidaknya kamu senyum, dong." Bermaksud mengalihkan perhatian Alvian dari Ajela .
Alvian hanya menghela napas kasar. Ia melepas tangan Riana yang melingkar di lengannya.
Kemudian melangkah begitu saja tanpa kata.
Riana yang kesal hanya dapat menatap punggung Alvian yang berjalan menuju ruangan depan. Ia lantas memberi isyarat kepada seorang petugas hotel.
"Mas, bisa bantu saya?"
ucapnya, sambil merogoh tas dan mengeluarkan lembaran uang.
Kemudian membisikkan sesuatu di telinga pria tersebut.
**
**
Ajela melangkah dengan sedikit terburu-buru. Ia harus segera meninggalkan gedung hotel sebelum Alvian atau Riana menemukannya.
Sedikit tanda tanya terbesit di benaknya, mengapa saat ia ingin menjauh, takdir seolah mempertemukannya kembali dengan Alvian. Lelaki yang sebelumnya memberi ancaman akan menghancurkan hidupnya.
Ketika hendak menuruni tangga, Ajela tiba-tiba merasakan dorongan kuat pada punggung, yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Sehingga terjerembab di antara anak tangga. Kemudian terguling ke bawah dan terhempas dengan posisi perut mendarat lebih dulu.
"Argh." Ajela mengerang keras ketika merasakan nyeri menjalar ke perut. Nyeri hebat yang jauh lebih besar dibanding kontraksi palsu yang biasa dialaminya.
Jeritan Ajela memenuhi udara.
Sakit yang berpusat di perut terasa semakin menjadi-jadi.
Dan hanya dalam hitungan detik, orang-orang yang berada di sekitar sudah berkerumun.
Suasana panik pun mendominasi.
**
**
Alvian sedang menenangkan diri di luar ruangan. Pertemuan dengan Ajela tadi membuatnya kehilangan fokus.
Terlebih saat turun dari panggung, ia tak menemukan wanita itu lagi di antara para tamu. Entah Ajela menghilang ke mana.
Seharusnya Alvian tak perlu peduli dengan Ajela . Terserah ia tinggal bersama siapa dan bekerja sebagai apa. Toh, bukan urusannya. Tetapi, entah mengapa Alvian selalu merasakan sesuatu yang aneh setiap kali memandangi perut Ajela . Dan ia merasakan sakit ketika melihat Ajela masih bekerja dengan perut membesar.
Lamunan Alvian buyar kala
mendengar suara keributan yang berasal dari kerumuman orang-orang tak jauh dari tempatnya duduk. Ada kepanikan di sana.
"Di sana ada apa ya, Pak?"
tanya Alvian pada seorang petugas hotel yang tampak terburu-buru.
"Itu ada wanita hamil jatuh dan pendarahan," jawab pria itu.
Dahi Alvian berkerut tipis.
Entah mengapa pikirannya langsung tertuju pada Ajela .
Bersambung ~