Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Keputusan yang menentukan
Pekan debat antar sekolah tinggal menghitung hari. Persiapan intensif terus dilakukan oleh Keisha dan Davin. Setiap sore mereka berlatih di ruang khusus debat sekolah, berdiskusi tentang topik yang akan dibahas. Keisha terkesan dengan cara Davin berpikir—analisisnya tajam, caranya menyusun argumen begitu terstruktur. Namun, di sisi lain, semakin sering mereka bersama, semakin terasa jarak yang tumbuh antara Keisha dan Rama.
~
Pagi itu, Keisha berdiri di depan kelas, menatap Rama yang tengah sibuk membaca buku. Ia berusaha mendekatinya, ingin berbicara seperti dulu, tanpa rasa canggung. Namun, begitu ia menyapanya, respons Rama terasa hambar.
“Rama, kamu sibuk?” Keisha mencoba memulai percakapan.
Rama mengangkat pandangannya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Lumayan. Ada yang bisa aku bantu?”
Nada formalnya membuat hati Keisha sedikit sakit. “Aku cuma mau ngobrol, sih. Kita jarang ngobrol akhir-akhir ini.”
Rama menutup bukunya perlahan, lalu menatap Keisha dengan tatapan sulit ditebak. “Aku rasa, kamu sibuk dengan Davin. Jadi aku nggak mau ganggu.”
Keisha terkejut mendengar nada sarkastis yang jarang sekali keluar dari Rama. “Rama, kenapa kamu bilang gitu? Davin cuma teman debat. Aku nggak pernah menganggap dia lebih dari itu.”
Rama tertawa kecil, tetapi tawanya tidak menunjukkan kebahagiaan. “Keisha, aku tahu aku bukan siapa-siapa dibanding Davin. Dia pintar, populer, semua orang suka dia. Jadi wajar kalau kamu lebih nyaman sama dia.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Keisha. Ia merasa salah paham ini semakin besar, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
“Rama, dengar dulu. Kamu nggak perlu merasa begitu. Kamu selalu istimewa buat aku,” ucap Keisha, suaranya nyaris berbisik.
Rama terdiam sejenak, tetapi sebelum ia sempat membalas, bel berbunyi, menandakan kelas akan dimulai. Ia menghela napas dan berkata singkat, “Aku harus ke kelas. Nanti kita lanjut.”
Keisha hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasa bahwa jarak di antara mereka semakin sulit dijangkau.
~
Hari-hari berlalu, dan Keisha semakin terjebak di antara dua dunia—latihan debat bersama Davin dan hubungannya dengan Rama yang semakin renggang. Di sisi lain, Davin tampaknya semakin nyaman dengan kehadiran Keisha. Ia bahkan mulai menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar teman.
Suatu sore, setelah latihan selesai, Davin mengajak Keisha duduk di taman sekolah. Mereka menikmati senja yang mulai menghilang, diiringi suara angin yang berbisik pelan.
“Keisha, aku mau bilang sesuatu,” ujar Davin tiba-tiba, memecah keheningan.
Keisha menoleh, sedikit terkejut dengan nada seriusnya. “Apa itu?”
Davin menatapnya dengan pandangan lembut yang belum pernah Keisha lihat sebelumnya. “Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku merasa nyaman banget sama kamu. Kamu berbeda dari cewek lain yang pernah aku kenal.”
Keisha tertegun. Ia tidak pernah menyangka Davin akan mengungkapkan hal seperti itu.
“Davin... aku...” Keisha mencoba mencari kata-kata, tetapi pikirannya kacau.
“Aku nggak minta jawaban sekarang,” potong Davin dengan senyum kecil. “Aku cuma mau kamu tahu apa yang aku rasakan. Tapi kalau kamu mau kasih aku kesempatan, aku bakal tunjukin kalau aku serius.”
Keisha terdiam, menatap senja yang semakin redup. Di satu sisi, ia merasa tersanjung dengan perhatian Davin. Namun, di sisi lain, hatinya masih tertambat pada Rama—seseorang yang kini semakin menjauh darinya.
~
Sementara itu, Rama duduk sendirian di taman belakang sekolah. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Davin dan Keisha yang semakin dekat. Hatinya dipenuhi rasa frustrasi dan kecemburuan yang tidak mampu ia ungkapkan.
“Kenapa aku nggak bisa bilang perasaanku?” gumamnya pada dirinya sendiri. “Apa aku terlalu takut ditolak? Atau aku memang nggak cukup baik untuk dia?”
Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tetapi semakin ia berpikir, semakin ia sadar bahwa ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.
~
Hari perlombaan tiba. Suasana di aula besar SMA Pelita Bangsa penuh semangat. Seluruh siswa berkumpul untuk mendukung tim debat mereka, sementara Keisha dan Davin bersiap di ruang tunggu. Keisha merasa gugup, tetapi Davin tetap tenang seperti biasa.
“Kamu pasti bisa, Keisha,” ujar Davin sambil menepuk pundaknya. “Kita sudah latihan keras. Aku percaya sama kamu.”
Keisha tersenyum tipis, meski hatinya masih dihantui oleh percakapan mereka beberapa hari lalu.
Saat nama mereka dipanggil, Keisha dan Davin melangkah ke panggung dengan percaya diri. Topik debat hari itu adalah tentang “Dampak Teknologi terhadap Pendidikan,” dan Keisha berhasil menunjukkan kemampuan terbaiknya. Ia berbicara dengan penuh semangat, menyampaikan argumen yang tajam dan meyakinkan.
Namun, di tengah sorakan penonton, Keisha tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sepasang mata yang tidak pernah ia lihat sepanjang hari itu—mata Rama.
~
Setelah lomba selesai, Keisha menerima banyak ucapan selamat dari teman-teman sekelasnya. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Rama. Ia tahu bahwa ia harus menyelesaikan semuanya sebelum salah paham ini semakin besar.
Sore harinya, Keisha memutuskan untuk mencari Rama di taman belakang sekolah—tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dan benar saja, ia menemukan Rama duduk di bangku kayu, memandang langit yang mulai gelap.
“Rama,” panggil Keisha pelan.
Rama menoleh, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Keisha mendekat dan duduk di sebelahnya.
“Kamu kenapa nggak datang ke lomba tadi?” tanya Keisha.
Rama menghela napas panjang. “Aku nggak yakin aku harus ada di sana. Kamu sudah cukup hebat tanpa aku.”
Keisha merasa hatinya semakin sakit mendengar itu. “Rama, kenapa kamu selalu meremehkan dirimu sendiri? Aku butuh kamu, bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu adalah kamu.”
Rama menoleh, menatap Keisha dengan mata yang penuh emosi. “Tapi kamu punya Davin sekarang. Dia jauh lebih baik dari aku.”
Keisha menggeleng dengan tegas. “Davin cuma teman, Rama. Kalau aku harus memilih, aku selalu pilih kamu.”
Rama terdiam, mencerna kata-kata itu. Hatinya terasa hangat, tetapi juga penuh rasa takut.
“Keisha, aku nggak tahu apa aku cukup berani untuk mengungkapkan perasaanku. Tapi aku tahu satu hal—aku nggak mau kehilangan kamu,” ucapnya akhirnya.
Keisha tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Rama. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Rama. Karena aku juga nggak mau kehilangan kamu.”
Di bawah langit senja yang berwarna oranye keemasan, mereka berdua saling menatap dengan penuh kejujuran. Ini adalah awal baru bagi mereka, sebuah langkah kecil menuju hubungan yang lebih dalam dan bermakna. Namun, mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, penuh dengan tantangan yang harus dihadapi bersama.