Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Api dalam Diam
Hari itu, kampus seperti biasanya, ramai, riuh, dan penuh aktivitas. Tapi entah kenapa, firasatku mengatakan sesuatu yang tidak biasa akan terjadi.
Aku baru saja selesai dari perpustakaan, membawa beberapa buku referensi untuk tugasku. Saat berjalan menuju kantin, Aku mendengar suara gaduh dari taman belakang kampus.
“Kenapa lagi, nih?” gumamku sambil mendekati sumber suara.
Di tengah kerumunan, Aku melihat Rifky, anak pemilik kampus yang terkenal arogan, berdiri dengan ekspresi marah. Di depannya, seorang mahasiswa junior tampak menunduk, menggenggam buku yang sudah sedikit kusut.
“Lo sengaja, kan? Jatuhin buku gue, terus pura-pura nggak tahu!” suara Rifky menggema.
“Maaf, Ki, gue nggak sengaja,” jawab mahasiswa itu gugup.
“Nggak sengaja apanya? Mata lo di mana, hah?” Rifky melangkah maju, membuat mahasiswa itu semakin mundur.
Aku, merasa darahku mendidih. Tanpa pikir panjang, aku menerobos kerumunan.
“Apaan sih, Ribut-ribut kayak pasar!” tegurku tajam.
Kerumunan langsung terdiam. Rifky menoleh, tampak tidak senang melihat Senja.
“Lo nggak usah ikut campur, Senja. Ini bukan urusan lo,” katanya dengan nada dingin.
Aku berdiri di antara Rifky dan mahasiswa itu, menatap Rifky tanpa takut. “Lo ini nggak capek bikin drama? Orang udah minta maaf, masih aja nyari masalah.”
Rifky menyipitkan matanya. “Lo pikir lo siapa, Senja? Berani ngomong kayak gitu ke gue?”
“Gue siapa, nggak penting. Yang penting lo sadar kalau lo bukan raja di sini, Rifky,” balasku dengan nada santai tapi tajam.
Kerumunan mulai bergumam pelan. Semua tahu Rifky tidak suka dihadapi seperti ini, terutama oleh seseorang seperti aku.
Wajah Rifky memerah. “Lo tau gue siapa, kan? Lo tau gue anak pemilik kampus ini? Jangan sok jago, Senja.”
Aku tersenyum sinis. “Gue tau lo siapa. Justru karena itu, lo harusnya jadi contoh yang baik, bukan main otot kayak begini.”
Perkataan itu membuat Rifky kehilangan kendali. Dia maju dan berusaha menarik kerah bajuku.
Refleks, Aku menepis tangannya. “Jangan coba-coba, Rifky,” ujarku dengan nada dingin.
Kerumunan semakin tegang. Beberapa mahasiswa mencoba melerai, tapi Rifky tampak semakin marah.
“Lo pikir lo bisa ngelawan gue, hah?” Rifky melayangkan tangannya, tapi sebelum dia sempat melakukan apa pun, sebuah suara berat menghentikannya.
“Rifky!”
Semua orang menoleh. Galaksi berdiri di sana, matanya memandang tajam ke arah Rifky.
“Lo udah cukup bikin onar. Berhenti sekarang juga,” katanya, berjalan mendekat.
Rifky terlihat ragu. Galaksi bukan hanya mahasiswa biasa. Meskipun tidak sekuat Rifky dalam hal status, dia dihormati banyak orang karena sikapnya yang tegas dan adil.
“Lo mau ikut campur, Galaksi?” tanya Rifky sinis.
Galaksi berdiri di samping Senja, menatap Rifky tanpa gentar. “Ini bukan soal ikut campur. Ini soal lo tahu batas. Lo mau pakai status lo sebagai anak pemilik kampus? Silakan, tapi jangan rusak reputasi keluarga lo sendiri.”
Rifky terdiam. Kata-kata itu membuatnya terlihat bingung sejenak.
“Gue nggak akan lupain ini,” ujar Rifky akhirnya, sebelum berbalik dan pergi dengan wajah kesal.
Kerumunan perlahan bubar, tapi tatapan kagum tertuju padaku dan Galaksi.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Galaksi, menatap diriku.
“Gue baik-baik aja,” jawabku. “Thanks, Galaksi. Tapi gue bisa urus ini sendiri.”
“Gue tahu lo bisa,” jawab Galaksi sambil tersenyum kecil. “Tapi gue nggak bakal diam kalau ada orang ngerendahin lo.”
Aku terdiam. Kata-katanya membuat aku merasa hangat, meskipun aku masih ragu dengan hatiku.
Namun satu hal yang pasti, dia tahu bahwa hidup di kampus ini tidak akan pernah mudah jika dia terus menjadi diriku sendiri. Tapi berubah? Itu bukan pilihan.
To Be Continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi