Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata..
Beberapa waktu kemudian setelah melewati hari-hari yang panjang.
Langit mendung menggantung di atas istana, seperti pertanda muram akan kehancuran yang segera tiba. Di dalam kamar, Ratu Baily duduk di kursi dengan punggung tegak, tapi matanya kosong menatap bayangannya sendiri di cermin. Tidak ada suara selain angin lembut yang berhembus menerpa tengkuk. Setiap hembusan seolah menghitung mundur waktu yang tersisa. Ia pun berdiri, menanyakan pada penjaga ketika mendengar sayup-sayup orang-orang melangkah.
"Apakah itu suara langkah kaki orang-orang yang mengiringi kepergian anakku?"
"Benar Yang Mulia Ratu, Pangeran Raze sudah digiring menuju tempat eksekusi." Hati Baily mencelos.
Dia berdiri, melangkah perlahan ke jendela. Dari sana, dia bisa melihat alun-alun tempat eksekusi Raze akan berlangsung. Tubuhnya menggigil meski udara di dalam kamar tak terlalu dingin. Dia tersenyum sakit, mencoba memberitahu Raze kalau mereka akan bertemu kembali di tempat yang indah.
Namun, saat kematian Raze adalah tontonan, sedangkan dia... dia hanya akan mati dalam sepi, itulah yang membuat Baily remuk karena tidak dapat memeluk putranya disaat-saat terakhir.
Ratu Baily kembali duduk di tempat semula. Dia bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Aku sangat menyayangimu, Raze… dan aku juga sangat mencintai suamiku. Tidak ada yang perlu disalahkan atas kejadian ini, dari awal akulah yang bersalah telah hadir di hidup Raja. Ini hanya takdir yang harus aku jalani."
Baily menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia berpikir tentang Arven, anak dari Ratu Athera, yang sering kali ia pandang sebagai pengingat masa lalu yang menyakitkan. Namun, di hatinya yang hancur, dia tetap menyayangi pemuda itu, meskipun kehadirannya tidak pernah diterima oleh Arven. Pangeran Arven, aku ingin kau lekas menjadi Raja selanjutnya Nak.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan nampan berisi gelas cairan racun yang akan mengakhiri segalanya. Pelayan itu menundukkan kepala, matanya menolak bertemu pandang dengan ratu yang kini menunggu ajalnya sendiri.
"Sudah waktunya, Yang Mulia," ujar pelayan dengan suara gemetar.
Baily menerima gelas itu dengan tangan yang gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Dia mengamati cairan di dalam gelas itu. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil, pahit namun penuh ketabahan. "Akhirnya aku bisa menyusul Raze, kita pasti akan berkumpul lagi Nak." gumamnya sambil mengangkat gelas ke bibirnya.
Namun sebelum cairan itu menyentuh bibirnya, terdengar bunyi pecahan keras. Gelas di tangannya tiba-tiba hancur berkeping-keping. Racun itu tumpah ke lantai, meninggalkan noda gelap di karpet. Baily terkejut, memandang pecahan gelas di tangannya yang berdarah karena pecahan kaca.
Dari luar kamar, Arven berdiri dengan napas tertahan. Jarinya baru saja ia turunkan, kekuatan dalam yang jarang ia gunakan kini menembus batas, menghancurkan gelas itu dari kejauhan. Baily menyadari ada sesuatu yang tidak wajar. Dia hendak memandang ke luar jendela, mengintai ke arah alun-alun, namun dihadang oleh penjaga.
...***...
Sementara itu,
Ratusan pasang mata tertuju pada panggung eksekusi, dimana Raze, putra Raja Veghour berdiri dengan tenang di hadapan Algojo. Tubuhnya tegap meski terikat, dan wajahnya... sulit diartikan. Bukan ketakutan yang terpancar di sana, melainkan kekecewaan yang mendalam.
Tatapannya tak pernah lepas dari sosok Raja Veghour, yang duduk di kursi kehormatan di atas tribun. Sorot mata Raze seolah bertanya tanpa suara, mengapa ayah mengambil keputusan ini?
Kerumunan bergemuruh. Sebagian bersorak meminta darah, sebagian lagi berbisik cemas. Namun, tak ada satu pun mengalihkan pandangan dari sosok Pangeran yang akan di eksekusi.
Di depan Raze, Algojo bertubuh besar dengan wajah topeng baja menghunus pedang panjang. Cahaya kelabu dari bilah pedang memantulkan kilau suram, bagaikan bayang kematian yang siap menjemput. Algojo melangkah maju dengan mantap, setiap langkahnya menggema di antara heningnya penantian.
Pengawal kerajaan membacakan tuduhan dengan lantang. Suaranya tajam menusuk keheningan.
Raze tetap diam. Wajahnya datar, hanya sesekali melengkungkan senyum penuh arti yang tidak bisa diterjemahkan. Ia perlahan berlutut di depan balok kayu eksekusi, lehernya ditopangkan ke atas permukaan yang kasar. Dia tak melawan. Bahkan, nafasnya begitu tenang seakan ia tak gentar dengan kematian di depan mata.
"Letakkan kepala," perintah Algojo, suara serak dan berat.
Raze menutup mata sejenak, seperti seseorang yang tengah menikmati embusan angin terakhir.
Pedang terangkat tinggi ke udara, berkilauan di bawah langit kelabu. Hanya ada keheningan dan ketegangan yang menggantung di udara. Setiap orang menahan nafas.
Swiing!!!
Suara panah melesat, menabrak pedang yang hampir menyentuh Raze dengan jarak hanya dua detik. Duak! pedang besar itu terlempar jatuh ke lantai kayu dengan bunyi dentang keras.
Kerumunan bergemuruh, penuh dengan kebingungan dan ketakutan. "Apa yang terjadi?! siapa yang memanah?!"
Raze mengangkat kepalanya perlahan, matanya menyipit, menatap pedang dan panah yang tergeletak secara bergantian. Kemudian, matanya menangkap sang pemanah yang ternyata adalah Raja Veghour, sebelum busur emas itu perlahan-lahan menghilang. Semua orang pun melihat apa yang dilihat oleh Raze.
Lalu, serempak prajurit mengarahkan senjata kepada...
Arx, Kasim Istana.
Apa yang terjadi? Begitulah kira-kira pertanyaan yang mengerubungi kepala orang-orang disana. Bersamaan dengan itu, para petinggi bangsawan dan para menteri terpecah menjadi dua bagian. Rupanya pihak Arx cukup banyak di dalam Istana.
Arx yang sudah tahu dirinya ketahuan dan terkepung hanya tersenyum tipis, seakan situasi ini sudah masuk dalam perhitungannya.
.
.
Bersambung.
Next berupa flashback yang cukup panjang.