Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Raga!"
Seorang gadis berperawakan layaknya model catwalk berlari ke arah mereka. Aline ikut memutar tubuhnya, menengok pemilik suara lembut yang memanggil pria jangkung itu. Dari sikapnya saja Aline sudah paham kalau gadis itu memang akrab sekali dengan pria bernama Raga ini.
Gadis itu memakai setelan gaun tanpa lengan berwarna nilakandi dan memadukannya dengan sneakers putih hasil karya mantan perwira militer, Kihachiro Onitsuka. Rambutnya yang panjang dan bergaya wavy sukses memperlihatkan sisi femininnya kepada Aline.
"Ini siapa lagi, Ra? Mahasiswa baru juga?"
Pria itu mengangguk. "Dia terlambat gara-gara kamu."
"Loh, kok, jadi aku yang disalahkan?" Gadis itu mengernyit bingung. Ia melirik Aline sebentar lalu beralih menatap Raga.
Raga menarik napas panjang. "Ingat, nggak? Kemarin kan kamu yang diminta tolong sama Ms. Jane buat menginformasikan jadwal perubahan ke mahasiswa baru."
Gadis itu mengamati Aline lalu menjawab setelah berpikir sejenak. "Ya, sih, kemarin Ms. Jane menyuruhku untuk membantunya. Tapi memangnya ada apa? Sepertinya kamu serius sekali sampai memanggil aku ke sini."
"Jelas saja serius. Saya memanggil kamu ke sini karena saya ingin memarahi kamu, mengerti?"
"Marah? Sama aku? Apa kamu nggak salah, Ra?" Mata gadis itu membulat lebar. Entah karena ia berpura-pura kaget atau memang ia benar-benar terkejut. Tapi yang jelas, ekspresi gadis itu terkesan seperti dibuat-buat.
"Kamu memang pantas untuk dihukum!"
Aline menutup mulutnya. Saking kagetnya mendengar pengakuan Raga. Tampaknya, Aline baru saja melihat sisi lain dari pria ini.
"Hukuman itu berlaku untuk orang yang berbuat salah. Aku buat kesalahan saja nggak, kenapa kamu main hukum saja?" Gadis itu mulai ketus.
Raga menaikkan sebelah alisnya. "Saya tidak akan menghukum seseorang kalau tidak ada alasannya. Justru saya bersikap seperti ini karena kamu telah berbuat kesalahan. Sebagai senior, seharusnya kamu itu bisa bertanggung jawab, kan? Lihat, anak ini terlambat gara-gara kecerobohan kamu. Gara-gara kamu melewatkan informasi itu, anak ini jadi nggak bisa menghadiri apel pagi, tahu."
Gadis itu menyentuh dahinya.
"Serius deh, Ra. Aku yakin seratus persen kalau aku itu tidak melakukan kesalahan. Seingat aku, kemarin itu aku sudah kirim informasinya ke semua email dan nomor yang dikasih oleh Ms. Jane. Mana mungkin, sih, aku melewatkan sesuatu yang sangat penting." kata gadis itu polos.
"Kalau begitu kenapa cuma dia saja yang tidak dapat informasi perubahan itu?"
Gadis itu melirik Aline sekali lagi. Dahinya sedikit mengernyit. Ia sendiri juga bingung kenapa pesan itu bisa tidak sampai pada Aline.
"Kamu benar-benar tidak mendapat pesan dari kampus? Jangan-jangan kamu tidak lihat email."
Aline menggeleng yakin. "Tidak ada pesan masuk sampai pagi tadi."
Gadis itu menggaruk kepalanya. "Bagaimana mungkin cuma kamu yang tidak mendapatkan informasinya? Aku benar-benar sudah mengirimkan pesan itu menggunakan komputer di ruang Ms. Jane. Sistem pengirimannya juga sudah disetel jadi otomatis, seharusnya tidak akan ada satu email pun yang terlewatkan. Tapi kalau kamu tidak mendapatkannya ... Rasanya mustahil sekali."
Raga berdecak. "Tidak ada yang mustahil di dunia ini, terutama jika Nona Ode Melanie Putri telah melakukan kesalahan yang tidak disadari."
"Aku? Tapi aku benar-benar yakin, Ra. Aku sudah cek semua daftar itu dan tidak ada satu nomor atau email pun yang aku lewatkan kemarin." Ode terus membantah.
"Lah, tapi ini buktinya ada, loh. Anak ini terlambat, bahkan dia nggak tahu jadwal baru kita." Raga menunjuk Aline.
Ode mengusap ujung kepalanya dan mengembuskan napas berat.
"Oke, aku minta maaf sama kalian berdua. Aku mengakui kalau aku memang ceroboh. Tetapi aku yakin seratus persen, kalau aku tidak merasa melewatkan satu email pun. Yah, tapi kalau kejadiannya seperti ini, mungkin saja kan, kalau data yang dikasih sama Ms. Jane kemarin juga tidak lengkap." tutur Ode tetap bersikeras bahwa ia tidak bersalah.
"Makanya, lain kali kalau kerja itu harus lebih teliti. Pokoknya apa pun alasan kamu, saya tidak mau tahu. Sekarang kamu harus mempertanggungjawabkan kesalahan kamu ini."
"Ya, ya, Raga bawel. Aku bakal tanggung jawab, kok."
"Bagus. Kalau begitu mumpung kamu sudah ada di sini. Saya akan titipkan dia sama kamu. Tolong lakukan juga pekerjaan saya, ajak dia untuk tur kampus."
"Lah, kalau semua kerjaan kamu dikasih ke aku, terus kamu mau ke mana? Bolos?"
"Saya masih ada urusan di luar sebentar. Oh, ya, nanti tolong sampaikan juga pada Mrs. Laura kalau saya akan terlambat. Mungkin saya nanti kembali setelah magrib."
"Duh, enak banget, sih, jadi kamu."
"Menurut kamu begitu?"
Ode mengangguk. "Habisnya kamu tuh kalau datang ke kampus suka seenaknya sendiri dari dulu. Sudah jarang masuk ke kelas, sekarang pakai alasan sibuk segala. Gara-gara kamu kan aku jadi sering ditanya-tanya terus sama Mrs. Laura. Pusing tahu memikirkan alasan buat menutup-nutupi kebolosan kamu ini."
Raga menghela napas. "Kalau masalah absen itu saya minta maaf. Dan, kalau soal Mrs. Laura, saya percaya kalau kamu pasti bisa menanganinya."
"Ck, jangan suka seenaknya sendiri, dong. Bagaimanapun aku juga kesulitan kalau harus terus berhadapan sama Mrs. Laura setiap harinya." Ode bersungut-sungut.
Raga menaikkan alisnya. "Sudah selesai bicaranya?"
"Buat apa panjang-panjang ngomong kalau kamu sendiri nggak mau mendengarkan aku." gerutu Ode.
Raga menyeringai.
"Saya tahu kamu pasti marah sama saya. Walau bagaimanapun juga Mrs. Laura itu, kan, lebih percaya sama kamu daripada saya. Karena itu, saya minta tolong supaya kamu tetap membantu saya sampai semester depan. Selebihnya, kamu tahu, kan, apa yang sebaiknya kamu lakukan?"
"Iya, ya, aku tahu. Alasan kamu bersikap begitu juga aku tahu. Tapi, Ra—"
Raga menempatkan jari telunjuknya di mulut Ode. "Sudah, ya. Saya masih banyak urusan. Bye!"
Ode mendesis. Tanpa berlama-lama lagi, Raga berbalik meninggalkan mereka.
"Bentar dulu, Raga!"
Ode berusaha menahan Raga. Kaki jenjangnya bergerak menyusul langkah Raga yang panjang.
Aline yang masih berdiri di sana terlihat sedang berpikir. Ia bingung dengan apa yang sebenarnya sedang diperbincangkan oleh dua seniornya itu. Tetapi saat melihat mereka berdua saling beradu mulut, entah kenapa Aline merasa gemas.
Tidak seperti dugaanku. Ternyata keakraban mereka berdua itu lebih mirip dengan karakter kucing dan tikus.
Aline mendekapkan tangannya, memandangi punggung Ode yang perlahan menjauh pergi. Dua pasang muda-mudi itu telah menghilang dari pelupuk matanya. Lantas ke manakah Aline harus pergi sekarang?
Aline terdiam lagi, menghela napas perlahan. "Apa sebaiknya aku tunggu Kak Ode saja di sini?"
...•••...
Lima belas menit kemudian....
"Huh, si Raga itu, ya, dari dulu nggak pernah mau berubah. Selalu saja seenaknya. Mentang-mentang dia paling senior, dia pasti sudah merasa hebat. Apalagi dia itu dikenal dengan semua pencapaian karyanya yang dianggap genius. Padahal kalau bukan karena aku juga dia tidak akan menjadi apa-apa. Huh, nyebelin. Kenapa sih dia selalu saja merepotkan aku?" Ode datang sambil menggerutu.
Aline yang duduk di kaki tangga segera beranjak mendekatinya. Banyak hal yang Ode keluhkan tentang Raga. Saking asyik mengomel, Ode bahkan hampir tidak menyadari keberadaan Aline di belakangnya.
"Ah, menyebalkan! Awas saja kamu Raga" sungut Ode.
"Awas saja! Aku akan bikin perhitungan sama kamu." tambah Ode sembari meninju tangannya ke udara.
Karena terus diabaikan dan perkataannya tidak didengar oleh Ode, Aline nekat menepuk bahu Ode keras-keras.
"Kak Ode!"
"Astaga!" Ode tampak kaget. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. "Aline!! Sejak kapan kamu di sini?!"
Hening sesaat.
Dahi mulus Aline mengerut. Ada yang aneh. Tidak disangka-sangka Ode juga mengetahui namanya.
Apa Kak Ode tahu namaku dari Kak Raga?
"Woi, malah bengong." Ode menepuk tangannya di depan muka Aline.
"Ah, maaf, Kak." suara Aline terbata-bata.
"Kamu sejak kapan di sini?"
"Sedari tadi aku di sini. Kakak saja yang tidak sadar."
"Kamu nungguin aku?"
Aline mengangguk dan tak lupa tersenyum ramah.
"Ya ampun. Maaf, ya, aku benar-benar enggak sadar kalau kamu ada di belakangku sedari tadi. Gara-gara Raga, nih, bisanya bikin kesel aku melulu. Lagi pula, kamu kenapa tidak menyapa aku saja, sih?"
"Aku sudah melakukannya dari tadi, tetapi Kakak tidak mendengar suara aku."
"Astaga. Maaf, maaf. Saking kusutnya pikiran aku, aku jadi tidak bisa mendengar apa pun. Maaf, ya."
Aline menggeleng. "Tidak apa-apa, Kak."
"Nggak usah panggil kakak. Mulai sekarang panggil nama aku saja, Ode. Bisa, kan?"
"Tapi, Kak Ode, kan, senior aku."
"Enggak apa-apa. Jangan memandang aku sebagai senior kamu. Kamu bisa, kan? Supaya lebih akrab." Ode mengedipkan sebelah matanya.
"I, iya, Kak."
"Hei, aku suruh kamu buat panggil namaku, lho. Kenapa kamu masih panggil kakak, sih?"
"Ah, itu ... maaf, Kak. Eh, maksudku Ode." Aline menundukkan kepala.
Ode menghela napas. "Ya sudahlah. Jangan terlalu dipaksakan. Kalau kamu lebih nyaman memanggil aku dengan sebutan kakak, ya sudah, tidak apa-apa, kok."
Ya, itu lebih baik. Dari tadi, dong!
Aline tersenyum.
Ini memang jauh lebih baik daripada ia harus memanggil gadis itu dengan sebutan nama saja. Meski usia Aline mungkin berada di atas gadis itu, tapi tetap saja Aline merasa ia harus tetap menghormati Ode sebagai seniornya. Entah aturan dari mana, yang jelas Aline merasa nyaman jika ia bisa memanggil semua senior di sini dengan sebutan kakak. Berasa punya keluarga baru. Kedengarannya sedikit lucu, tapi begitulah adanya.
"Makasih banyak, Kak Ode."
"Santai saja kalau sama aku." Ode tersenyum.
Aline mengikuti Ode menuju tangga darurat. Mereka berbincang sebentar di sana.
"Oh, ya, ngomong-ngomong, baju kamu jadi kotor begitu, kenapa? Jangan-jangan kamu tadi disuruh Raga buat beres-beres aula, ya? Atau kamu didorong sama dia pas hujan tadi?"
Aline cepat-cepat menggeleng.
"Tidak, Kak. Ini bukan karena Kak Raga. Kak Raga tidak melakukan apa pun kepadaku. Malah sebaliknya, Kak Raga menjemput aku saat hujan."
"Kalau bukan karena ulahnya Raga, terus kenapa baju kamu bisa kotor seperti itu?"
"Ini ... ini, karena ...." Aline ragu mengatakannya, jadi ia menjeda perkataannya sebentar.
"Sebetulnya, tadi aku kena muntahan anak kecil di bus."
"Ya ampun, kasihan sekali sih kamu. Sudah kena muntahan, kehujanan pula."
Ah, syukurlah.
Aline terlihat lega. Tadinya ia berpikir Ode akan mencibir dan meninggalkannya. Tapi ternyata, pemikiran seperti itu hanya berasal dari kecemasan Aline saja.
"Sepertinya kamu perlu ganti baju dulu, deh." ucap Ode sembari memandangi wajah Aline.
"Rambut kamu juga berantakan, tuh." tunjuk Ode, mengambil helaian daun kering yang menempel di belakang telinga Aline.
"Aku mau ke toilet dulu dan bersih-bersih." kata Aline.
"Sekalian ganti baju saja."
"Eh, tapi kan aku nggak bawa baju ganti, Kak."
"Sudah tenang saja. Kamu nggak perlu pikirkan soal baju. Baju itu masalah gampang. Ikut aku saja, yuk."
"Ke mana, Kak?"
"Ambil baju."
"Maksudnya, Kak Ode mau kasih pinjam baju kakak buat aku?"
Ode mengangguk. "Anggap saja sebagai permintaan maaf aku karena aku sudah membuat kamu terlambat di hari pertama kamu masuk kampus ini."
Baik sekali dia...
Aline berterima kasih. Kedua gadis itu lalu bergerak, meneruskan perjalanan mereka menyusuri koridor yang panjangnya lebih dari sepuluh meter.
Mereka naik ke lantai dua dan tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi oleh berbagai macam pakaian dan kostum lucu, unik dan ciamik. Ada berbagai macam rak yang dipenuhi oleh lipatan-lipatan kain, payet dari berbagai ukuran dan bentuk, peralatan pelengkap seperti; jarum, kancing, benang dan berbagai jenis lainnya.
Ruangan itu masih didominasi oleh warna putih. Kalau Aline tidak salah, ruangan ini dikhususkan untuk menyimpan hasil karya alumni dan mahasiswa berprestasi yang telah berkontribusi dengan sekolah ini. Tempatnya mirip seperti butik; agak luas dan memanjang ke dalam.
Ode membuka pintu di sebelah kanan. Ia mempersilakan Aline untuk masuk terlebih dulu. Rupanya, ruangan seluas itu dibagi lagi untuk beberapa orang. Ada lima pintu, masing-masing memiliki nama yang tertempel di papan pinggir pintunya. Dan—yang saat ini dimasuki oleh Aline adalah ruangan milik Raga.
"RagamOde?"
"Ini nama brand pakaian yang dibuat Raga."
"Eh, Kak Raga sudah mengeluarkan produk sendiri?"
"Tidak sangka, kan? Tapi inilah kenyataannya. Darah itu lebih kental daripada air. Aku sendiri masih tidak percaya, orang yang suka bolos seperti Raga, ternyata lebih pintar daripada yang aku pikirkan. Bikin iri saja, ya?"
"Ya?" Aline menaikkan alisnya. Ia tidak paham dengan ucapan Ode barusan.
"Sudahlah, kamu pilih saja baju mana yang kamu suka. Setelah itu kita lanjutkan kegiatan turnya."
"Aku boleh pilih baju-baju di sini, Kak?"
"Iya. Pilih saja baju yang nyaman dan kamu suka."
"Tapi, apa Kak Raga nggak akan marah?"
"Jangan khawatirkan soal Raga. Lagipula Raga sendiri yang sudah menyuruh aku buat bawa kamu ke sini."
"Heh?" Aline mengerutkan dahinya. Ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Raga. Padahal mereka baru bertemu dan belum saling kenal satu sama lain.
Kenapa Kak Raga melakukan ini padaku?
"Jangan kebanyakan mikir, Al. Raga memang sengaja memberikan akses masuk ke ruangan ini, dan menyuruh kamu buat memakai baju dia itu semata-mata buat menebus kesalahan aku saja, kok. Jadi, kamu nggak perlu merasa nggak enak sama aku atau Raga, ya."
"Oh, begitu."
Aline mengerti sekarang. Ia menyimpulkan, Ode melakukan kecerobohan yang telah membuat Aline terlambat. Dan, sebagai senior yang bertanggung jawab, Raga mencoba menebus kesalahan Ode dengan memberikan baju untuknya. Ya, teori ini biasanya sering dijadikan alasan terkait dengan hubungan seseorang.
"Ternyata Kak Raga baik sekali." tanpa sadar Aline melontarkan pujian untuk pria itu.
Ode tersenyum padanya. "Aslinya dia tidak seperti itu, loh. Kamu harus hati-hati sama dia."
Aline mengerling. Ia ingin bertanya lagi, tapi Ode buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Di ruangan itu adalah tempat Raga menyimpan semua koleksi bajunya. Raga bilang, kamu boleh memakai baju-baju yang ada di sana—semuanya—jangan pakai baju lain."
"Seriusan, Kak?"
Pertanyaan Aline langsung ditanggapi oleh anggukan Ode.
Tapi baju-baju koleksi itu kan biasanya mahal? Apa Raga serius meminjamkan bajunya untuk aku?
"Aku keluar sebentar, ya. Kamu bersih-bersih di sini saja. Anggap rumah sendiri. Nanti ruang gantinya ada di sebelah kanan kamu, kalau kamar mandi dan kamar rias ada di sebelah kiri. Lampunya nanti dinyalakan saja, ya. Aku perginya nggak lama, kok. Aku harus kasih laporan ke ruang Mrs. Laura dulu. Nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar?"
Aline mengangguk.
Setelah Ode pergi dari ruangan itu, Aline berkeliling di sana. Ternyata, di balik pintu masuk yang kecil tadi terdapat ruangan lain yang menyimpan karya seindah dan sebanyak ini.
Aline berdecak kagum. Raga memang bertalenta. Semua koleksi bajunya bagus-bagus. Aline berjalan ke sudut-sudut tempat Raga menyimpan beberapa maneken. Ada satu unit komputer dan mesin jahit juga di sana. Koleksi dari berbagai tema pun terlihat memenuhi isi lemarinya.
"Sepertinya Kak Raga sudah bekerja keras untuk mendedikasikan dirinya sebagai perancang busana." gumam Aline.
Setelah puas berkeliling, Aline mulai memilih pakaian mana yang hendak ia gunakan. Semuanya terlihat bagus, cantik dan anggun. Semua ukurannya juga cocok sekali untuk Aline, tidak kurang sedikit pun. Benar-benar sesuai untuk ukuran badan Aline.
"Ini seperti kebetulan. Padahal selama ini aku sering kesusahan mencari pakaian yang pas dengan bentuk tubuh aku yang kecil, tetapi di sini, semua koleksi Kak Raga malah pas sekali dengan ukuran tubuhku. Gaya pakaiannya juga sama persis dengan yang pakaian yang biasanya aku pakai. Kalau Kak Raga mengizinkan, nanti aku akan meminta pada Margin supaya dia membeli beberapa potong baju-baju ini pada Kak Raga."
Aline tersenyum simpul. Ia segera mengambil satu setel pakaian dan bergegas ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Lagi-lagi retro style, pikir Aline.
Entah bagaimana Aline suka sekali dengan potongan baju itu. Overall panjang yang dipadukan dengan kaos lengan panjang yang hangat. Usai memandangi penampilannya di cermin, Aline pergi ke ruang rias, memperbaiki rambutnya yang berantakan. Kali ini Aline tidak lagi memakai pita di rambut, melainkan ia menggunakan pita merah yang tadi telah ia keringkan menggunakan hand dryer, sebagai pengganti ikat pinggangnya yang berbau anyir.
"Selera kamu boleh juga." puji Ode.
Aline menengok ke belakang. Ode berdiri dengan membawa dua gelas coklat hangat dan beberapa lembar kertas putih di tangannya.
"Sudah siap untuk tur?"
Aline mengangguk.
"Baiklah, lebih cepat lebih baik, bukan?"
Ode memberikan segelas minuman hangat dan lembaran kertas itu pada Aline. Katanya itu adalah jadwal mata kuliah Aline sekaligus agenda selama satu semester. Aline sangat berterima kasih atas kebaikan Ode. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya.
Hujan memang telah berhenti sejak dua puluh menit yang lalu. Jarum jam di dinding koridor saat ini menunjukkan pukul sepuluh tepat. Ode mengajak Aline ke luar, ia menyisir jalan dari satu gedung ke gedung lainnya. Melihat-lihat isi dalam kampus, memperkenalkan Aline kepada beberapa orang yang ia temui di sana.
Benar-benar tur yang menyenangkan—jauh lebih menyenangkan dari tur virtual kemarin.
Hal ini menjadi pengalaman yang tidak biasa untuk Aline. Kecemasan Aline sedikit berkurang karena Ode berhasil membuat Aline cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus ini.
Seperti yang telah Aline ketahui, gedung kampus ini sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan tampilan yang ada di internet. Semuanya sama persis; mulai dari halaman kampusnya, kantin, kelas-kelas khusus dan ruang pelayanan murid—semua sama.
Aline bahkan sudah dapat menghafal semuanya sekarang. Melakukan tur secara nyata seperti ini, ditemani oleh senior baik seperti Ode, rasanya sungguh menyenangkan.
Walau awan tampak mendung, Aline seperti melihat pelangi berkilauan di sekelilingnya.
Berkat Ode yang memandunya berkeliling kampus, Aline jadi tahu bagaimana kehidupan yang terjadi di dalam kampus itu. Contohnya saja; Aline jadi tahu kebiasaan mahasiswa-mahasiswa di kampus ini. Di jam-jam istirahat, mereka berbondong-bondong menyerbu kantin. Menu utama yang mereka serbu adalah soto babat kuning buatan Pak Muh. Apalagi setelah hujan seperti ini, kantin itu dipenuhi oleh mahasiswa yang mengantre untuk makan dan minum di sana.
Di ruang kelas, di perpustakaan dan koridor, Aline menjumpai para mahasiswa dengan penampilan yang berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka memang senang berkumpul di kafe kampus. Namun tak sedikit juga yang datang ke kantin atau pojok baca di koridor gedung utama.
"Oh ya, aku belum sempat mengambil kartu mahasiswaku." kata Aline saat melihat gedung pelayanan murid di seberang mereka.
"Ya sudah, pergi bareng aku saja."
"Tidak usah, Kak. Dari sini aku bisa sendiri, kok. Kak Ode pasti capek sudah menemani aku tur keliling kampus."
"Tidak apa-apa. Aku juga mau sekalian bicara sama Ms. Jane di pos pelayanan siswa."
"Oh, ya sudah kalau begitu."
Hanya membutuhkan waktu tiga menit dari kafe menuju pos itu. Aline berbincang sebentar dengan Ms. Jane dan mendapatkan kartu mahasiswanya. Setelah itu Aline keluar dari ruang administrasi. Tak lama Ode menyusulnya. Mereka kembali terlibat pembicaraan ringan seraya berjalan ke luar kampus melalui pintu belakang.
"Kamu tahu tidak, Al?"
"Tahu apa, Kak?"
"Itu, loh, emm..." Ode terdiam sejenak dan memandangi wajah tirus Aline. "Kalau menurutku, sih, sepertinya Raga suka sama kamu, deh."
"Ha?!"
Bersamaan dengan itu, di belakang mereka terdengar suara seorang gadis yang menjerit-jerit. "Tidak mungkin! Mustahil!"