Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7. Makan Malam
Alvaro masih menikmati pide dan kopi di cafe dekat area fakultas Ayzel, cuaca mendung membuat suasana sekitaran cafe menjadi lebih syahdu. Kurang lebih dua jam dia duduk di sana, entah apa yang ada di pikiriannya, padahal dia bisa pulang dulu ke apartemen. Alih-alih pulang, Alvaro malah tetap berada di cafe.
“Mau ikut kita makan malam gak Ay?” Naira dan rekan kampusnya akan mampir makan malam dulu, mungkin saja Ayzel juga mau ikut jadi dia bertanya.
“Sepertinya tidak, aku masih ada urusan lain” Ayzel melihat arlojinya, sudah jam empat lebih. Lagi pula dia tadi sudah menjanjikan atasannya, Ayzel akan mentraktir Alvaro makan malam.
“Ok kalau begitu kita pergi dulu Ay,” Ayzel berpisah dengan rekan kampusnya, karena mereka menuju arah yang berbeda.
Ayzel menyusuri jalanan ke luar fakultasnya, dia biasa pulang dengan berjalan kaki. Pemandangan senja di Istanbul memang indah, di tambah saat ini sudah mulai masuk musim gugur. Ini adalah kali ke dua dia merasakan musim gugur di Istanbul, biasanya dia akan berlama-lama duduk di dukkan galata menikmati senja sambil minum kopi.
“Dimana? Sudah selesai bimbingan?” Ayzel melihat notif pesan masuk yang ternyata dari Alvaro.
“Sedang menikmati aroma musim gugur,” balas Ayzel
“ ...?” Alvaro bingung dengan jawaban Ayzel.
“Berjalan menuju keluar gerbang fakultas. Sambil menikmati daun-daun mulai berubah warna pak, Alvaro” Ayzel memotret pohon-pohon di sekitar jalan fakulasnya, lalu mengirimnya pada Alvaro.
“Oh ... oke,”
“Haah oke? Apanya yang ok,” gumam Ayzel setelah membaca balasan chat dari Alvaro.
Ayzel berhenti sejenak, dia menikmati sumilir angin senja yang mulai berubah menjadi warna jingga. Dia berdiri dan memejamkan mata, lamat-lamat merasakan angin menerpa wajahnya. Seolah menemukan damai dalam setiap angin yang berhembus sore itu,.
“Permisi nona, sampai kapan mau di situ? Saya sudah menunggu dua jam,” Alvaro tiba-tiba sudah berada di tempat Ayzel berdiri saat ini.
“Pak Alvaro?” Ayzel membelalakkan matanya, tak percaya tiba-tiba sudah ada Alvaro di sana tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
“Hmm ... iya saya Alvaro, kamu pikir saya hantu?”
“Anda tidak pulang dari tadi?” Ayzel memastikan maksud Alvaro menunggu dua jam.
“Iya. Kamu kan janji mau makan malam dengan saya,” kekeh Alvaro.
“Tapi gak harus nungguin saya dua jam juga pak,” Ayzel tak habis pikir dengan atasannya tersebut.
“Suka-suka saya, cepat masuk!” titah Alvaro menyuruh Ayzel masuk ke mobilnya.
Ayzel menurut saja permintaan atasannya itu, dia duduk di samping kemudi dan sudah memasang sabuk pengamannya. Begitu juga dengan Alvaro yang sudah siap melajukan mobilnya menyusuri jalanan dengan kecepatan aman. Sayang jika harus melewatkan pemandangan indah malam hari di sana, jadi dia hanya menggunakan kecepatan 40km/jam saja. Mereka juga sudah mampir untuk melakasanakan sholat magrib.
“Pak Alvaro mau makan malam apa? Tapi jangan minta dinner ala hotel bintang lima ya pak, tidak sanggup” ucap Ayzel khawatir kalau atasannya minta traktir ala hotel bintang lima di Istanbul.
“Apartemen saya saja,” Alvaro dengan ringan mengatakan hal tersebut.
“Masak makan malam buat saya diapartemen,” jelas Alvaro saat melihat Ayzel mengerlingkan matanya.
“Hah masak? Kenapa tidak cari makanan yang dekat sini saja? Banyak makanan lumayan lezat juga,” Ayzel sebenarnya sedikit takut.
Meskipun Alvaro adalah atasannya dan Ayzel juga yakin Alvaro tidak akan melakukan hal-hal di luar batasannya. Namun tetap saja Ayzel merasa ragu jika harus keapartemen atasannya tersebut. Ayzel memikirkan berbagai cara agar dia tidak perlu keapartemen Alvaro.
“Makan malam ala hotel bintang lima juga boleh pak,” Ayzel bernegosiasi dengan Alvaro.
“Tidak. Ze,” Alvaro masih bersikukuh bahwa Ayzel yang harus membuatkan dia makan malam.
“Kalau begitu diapartemen saya atau tidak sama sekali,” Ayzel menyerah. Akan lebih baik jika dia memasak diapartemennya sendiri, setidaknya dia lebih merasa aman dan nyaman.
“Oke,” Alvaro putar arah menuju apartemen Ayzel.
“Huff ... pak Alvaro mau di buatkan apa?”
“Apa saja. Selama itu masakan Indonesia,” Alvaro merindukan masakan mendiang mamanya. Semenjak Ayzel membuatkan bubur waktu itu, dia seperti terus ingin merasakan masakan Indonesia.
“Kita ke grocery dulu beli beberapa bahan,” mereka berdua menuju grocery shopping terdekat untuk membeli beberapa bahan untuk makan malam.
Ayzel berpikir harus membuatkan makanan apa untuk Alvaro, dia biasanya hanya asal masak apapun bahan yang ada di kulkasnya untuk makan malam. Tapi kali ini atasannya itu minta dibuatkan sesuatu yang berbau masakan Indonesia. Alvaro mengambil troli untuk tempat barang belanjaan mereka, namun di protes Ayzel.
“Tidak perlu bawa troli sebesar itu pak. Cukup bawa keranjang ini,” Ayzel mengambil keranjang dan meminta Alvaro untuk menaruh troli ke tempatnya kembali.
“Lebih mudah pake troli Ze,” sanggah Alvaro.
“Memangnya mau belanja bulanan?” kesal Ayzel, kemudian berjalan meninggalkan atasannya di belakang.
“Oke ... grocery selanjutnya kita belanja bulanan bersama,” Alvaro kemudian megikuti Ayzel.
“Ya Tuhan. ada ya CEO modelan pak Alvaro seperti ini,” Ayzel menghela napas, sementara Alvaro tersenyum berjalan di belakangnya.
Ayzel sudah dapat semua bahan yang dia butuhkan, mereka pergi ke kasir untuk membayar hasil belanjaan mereka. Alvaro membantu Ayzel membawa plastik-plastik berisi barang belanjaan.
“Saya beli minum dulu pak,” Alvaro mengangguk dan menunggu Ayzel yang sedang membeli minuman.
“Ayzel,” dari antrian belakang ada seseorang yang memanggil. Tak lain adalah Shahnaz rekan sekantornya.
“Merhaba akşamlar Shahnaz,” Ayzel mengucapakan hai malam shahnaz.
“Sendirian atau sama siapa?” Shahnaz terlihat mencari-cari seseorang di dekat Ayzel.
“Sendiri. Aku duluan Shahnaz,” Ayzel bergegas pergi meninggalkan rekan kerjanya tersebut. Ayzel terlihat mencari-cari atasannya tersebut, dia khawatir jika Shahnaz melihat Alvaro bersamanya.
Tiba-tiba saja ada yang menarik hodie Ayzel dari belakang, saat Ayzel menoleh ternyata Alvaro yang menarik hodienya. Ayzel merasa lega karena Shahnaz tidak melihat dirinya sedang berbelanja dengan atasnnya tersebut, belakangan sudah ada desas desus tentang mereka yang berangkat ke kantor bersama.
“Silahkan masuk pak. Maaf apartemennya kecil,” apartemen Ayzel memang kecil. Namun cukup hangat dan nyaman untuk di tinggali, semua ruangan juga terlihat bersih dan rapi. Ayzel tidak terlalu banyak menaruh barang-barang mengingat apartemennya yang kecil.
“Kamu sudah lama tinggal di sini Ze?” Alvaro melihat sekeliling apartemen Ayzel.
“Satu setengah tahun pak,” Ayzel sedang berada di dapur kecilnya mengeluarkan bahan-bahan yang akan di masaknya.
Alvaro mendekat ke dapur hendak membantu Ayzel yang sedang mencuci sayur, buah juga daging. Dia menggulung lengan bajunya sebatas siku, sekali lagi Ayzel di buat terkejut oleh atasannya. Vibes seorang CEO benar-benar melekat pada Alvaro, rekan kerjanya pasti sudah teriak heboh saat melihat Alvaro yang seperti itu.
“Pak Alvaro sana! Tamu harus duduk diam jadi raja,” titah Ayzel pada atasannya. Alvaro mengurungkan niat membantu Ayzel setelah di minta duduk.
Alvaro duduk di kursi yang menghadap langsung pada dapur Ayzel, itu adalah kursi dan meja serba guna yang biasa di gunakan Ayzel. Satu meja kecil dengan dua kursi serba guna, entah untuk makan, untuk bekerja ataupun belajar.
“Camomile bagus untuk yang punya insomnia,” Ayzel memberikan teh camomile yang dia buat. Dia tahu dari pak Kim bahwa Alvaro sering mengalami insomnia.
“Trimakasih,” Alvaro meminum teh buatan Ayzel sambil memandangi asisten pribadinya yang sedang membuatkan makan malam untuknya.
Sementara Ayzel memasak, Alvaro penasaran dengan beberapa buku yag tersusun rapi di rak yang tidak begitu besar. Dia tertarik dengan satu buku bertuliskan bahasa korea di atas judul yang berbahasa Inggris, kemudian dia mengambilnya dari rak dan membacanya. The world called children sebuah essay karya Kim Soyoung, itulah judul buku yang diambil Alvaro dari rak.
“Pak Alvaro tahu buku itu?” karena Alvaro tinggal lama di korea jadi Ayzel pikir atasannya itu tahu tentang buku itu.
“Saya tidak tahu. Memang tentang apa?” Alvaro bertanya pada Ayzel yang masih sibuk sambil memasak hidangan makan malam mereka.
“Kim Soyoung seorang guru pembimbing yang membaca dan mencermati kehidupan anak-anak di dalam dan di luar kelas. Menurutnya dengan mengamati anak-anak menjadi salah satu cara untuk melihat diri kita sendiri. Bagaimana kita harus menyayangi diri kita untuk menemukan jalan kesembuhan," Ayzel menjelaskan inti buku tersebut.
“Boleh aku pinjam?” Ayzel terkejut namun mengiyakan.
“Buat kamu saja. Ah ... maaf pak,” Ayzel seolah lupa bahwa dia sedang bersama atasannya. Kadang saat bersama Alvaro dia seperti menemukan seorang teman untuk berbagi cerita dan berdiskusi dengan lebih santai.
“Ini di luar kantor jadi kamu boleh memanggil saya dengan santai Ze,” Alvaro menatap Ayzel, namun sebaliknya Ayzel menatap Alvaro dengan bingung.
Ayzel sudah menyelesaikan beberapa hidangan sederhana yang bisa dia buat, dia membuatkan Alvaro ayam saus lada hitam dengan orek tempe dan buncis. Kebetulan dia masih punya stok tempe yang dia beli kemarin di Asian Mart, tak lupa kerupuk dia siapkan untuk Alvaro.
“Semoga sesuai dengan lidah pak Alvaro,” Ayzel mempersilahkan Alvaro untuk mengambil terlebih dahulu.
“Hmm ...” seperti biasanya Alvaro selalu memberikan kode pada Ayzel. Alvaro selalu minta Ayzel untuk mengambilkan makanan untuknya. Tanpa perlu berdebat lagi Ayzel mengambilkannya, agar atasannya bisa segera makan dan pulang.
Mereka menikmati makan sambil sesekali bicara lebih santai, Alvaro merasa dia bisa berbicara dan bertingkah apapun di depan Ayzel. Bahkan banyak tingkah randomnya keluar di saat bersama dengan asistennya tersebut.
Entah karena Ayzel yang mudah untuk membuat nyaman lawan bicaranya, atau karena dia adalah seorang psikolog yang paham bagaimana memperlakukan orang.
“Menurutmu bagaimana dengan perkembangan aplikasi untuk rumah sakit?” Alvaro merasa harus berdiskusi dengan Ayzel. Meskipun dia sudah tidak dalam tim divisi, namun Alvaro tahu dia punya kemampuan diatas rata-rata.
“Sebenarnya sudah cukup bagus, tapi ada hal-hal yang memang harus di kaji ulang. Bukan karena belum layak untuk di luncurkan, melainkan untuk memastikan semuanya benar siap dari segala aspek” Alvaro terpesona dengan jawaban Ayzel yang tidak memihak salah satu divisi.
“Lalu apa yang kamu pikirkan tentang aplikasi kita?” Alvaro semakin penasaran dengan pemikiran Ayzel sehingga membuatnya ingin terus berdiskusi.
“Perusahaan berencana meluncurkan dua aplikasi sekaligus. Perlu di catat ini hanya murni pemikiran saya,” Ayzel sedikit ragu untuk mengatakannya.
“Saya paham. Kamu tidak perlu khawatir,” Alvaro mengerti dengan keresahan Ayzel.
“My mental health app dengan Care clinic tidak boleh di luncurkan dalam waktu yang bersamaan, kita harus memilih salah satunya lebih dulu. Dua aplikasi tersebut harus saling mendukung,” Ayzel menjadi lebih serius membahas tentang aplikasi terbaru mereka.
“Kenapa kamu punya pemikiran seperti itu?” Alvaro semakin menikmati diskusi mereka.
“My mental health bertujuan melacak kondisi yang terjadi pada pasien, sedangan care clinic untuk memantau progres pasien. Kedua aplikasi tersebut harus memenuhi standar HIPAA.”
HIPAA (Health Insurance Protability and Accountability Act) yang merupakan standar privasi dan regulasi medis yang di gunakan di luar negeri.
“Bukankah kita sudah melakukan risetnya Ze?” Alvaro sudah membaca semua riset dan konsep dari dua divisi, jadi dia paham seluk beluk aplikasi yang akan di luncurkan perusahaannya.
“Itu benar. Tapi itu saja belum cukup, kita harus menggabungkan beberapa disiplin ilmu untuk memastikan semua aspek terpenuhi. Ada disiplin ilmu medis, psikologi dan teknologi yang harus di gabungkan, agar kita mendapatkan aplikasi dengan tingkat akurasi 90%.” Alvaro meminum air mineralnya, perkataan Ze membuatnya memikirkan ulang beberapa aspek.
“Jika kamu jadi saya, mana yang akan kamu dahulukan?” Alvaro seolah menemukan pemegang kunci dari rantai yang menjerat pikirannya.
“Saya akan memilih care clinic untuk lebih dulu diluncurkan, tujuan care clinic adalah sebagai pemantau progres selama pasien dalam perawatan maupun setelah perawatan. Secara data dan konsep kita sudah 80% siap untuk di luncurkan, hanya saja” Ayzel menjeda bicaranya.
“Hanya saja apa?” Alvaro penasaran denga ucapan Ayzel.
“Perusahaa harus memastikan keamanan privasi data milik pasien, untuk mencari rekanan perusahaan tersebut sangat perlu sebelum aplikasi di luncurkan. Setidaknya untuk care clinic tidak akan menyita waktu lebih banyak,” Alvaro terkesima dengan pemikiran Ayzel.
Alvaro membantu Ayzel membereskan makan malam mereka, kali ini Ayzel tidak bisa membantah Alvaro yang ikut membereskan meja tempat mereka berdua makan malam.
“Ze?” Alvaro dan Ayzel sudah selesai berbenah, Ayzel pikir atasannya tersebut akan pamit pulang.
“Iya pak Alvaro?”
“Mari menikah dengan saya!” mereka berdua saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
bsk smg bs up lg scptny🙏🏻✌🏻
semoga Thor kembali vit secepatnya🤗