NOVEL INI SUDAH TAMAT.. DENGAN KISAH EPIKNYA YANG MEMBAGONGKAN..
NANTIKAN NOVEL SAYA SELANJUTNYA..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ch 013_Desa Tropos agem #3
Slassh...
Kepala raksha wanita itu menggelinding perlahan, tenggelam dalam genangan darah di antara mayat-mayat warga desa. Guru Vitjendra berdiri diam, menatap pemandangan mengenaskan itu. Matanya menyipit, hatinya dipenuhi oleh rasa hancur dan tanggung jawab yang berat. Dalam pikirannya, ia merenung.
"Kerajaan-kerajaan harus segera mencari cara untuk membuat segel yang lebih kuat. Raksha seperti ini tidak bisa dibiarkan terus berkeliaran. Ancaman mereka semakin tidak terkendali," gumamnya dalam hati.
Guru Vitjendra menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Kapten Nansa dan Nazzares. Dengan nada tegas, ia memberi perintah, "Nansa, segera beri tahu semua prajurit untuk membersihkan tempat ini."
"Baik, Kapten!" sahut Nansa, lalu ia bergegas keluar gua untuk melaksanakan perintah itu.
"Nazzares," Vitjendra menoleh ke muridnya. "Kau telusuri gua ini. Cari apa pun yang mencurigakan. Jika ada sesuatu yang berpotensi menjelaskan kejadian ini, laporkan padaku."
"Baik, Guru," jawab Nazzares singkat, meskipun rasa amarah masih membara dalam dirinya.
Guru Vitjendra menghela napas berat, lalu tanpa ragu ia menghampiri raksha kecil yang tak sadarkan diri. Dengan dingin, ia menghunus pedangnya dan mengakhiri nyawa raksha kecil itu tanpa belas kasih.
Sementara itu, Nazzares mulai menyusuri setiap lorong gelap gua dengan langkah penuh kewaspadaan. Ia memegang erat teknik mistisnya, siap menghadapi apa pun yang muncul. Namun di dalam hatinya, ia terus berharap—sekecil apa pun harapannya—bahwa masih ada warga desa yang selamat dari tragedi ini.
Beberapa waktu berlalu hingga akhirnya Nazzares tiba di sebuah ruangan luas di dalam gua. Matanya segera tertuju pada sebuah batu nisan besar di tengah ruangan. Batu itu memancarkan aura aneh, dengan ukiran pola mistis yang tampak seperti simbol kuno. Ia mengernyit, merasa familiar dengan pola tersebut.
"Bukankah pola ini sama seperti yang aku temukan bersama Guru di hutan?" pikir Nazzares, matanya memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama.
"Apa ini?" gumamnya sambil melangkah lebih dekat. "Apakah ini bukti bahwa ada pihak eksternal yang memanggil para raksha ke dunia ini?"
Perasaan curiga semakin menguat dalam dirinya. Tanpa banyak berpikir, Nazzares mengepalkan tinjunya dan menghancurkan batu nisan itu dalam satu pukulan kuat.
Braakkk!
Batu nisan itu hancur berkeping-keping, menyebar menjadi serpihan kecil di lantai gua. Nazzares menatap puing-puing batu itu dengan penuh amarah. Namun, ia merasa ini belum cukup. Ia masih harus melanjutkan pencariannya.
Dengan langkah yang semakin mantap, ia kembali menyusuri gua, mencari petunjuk lain yang mungkin tersisa.
Nazzares berhenti di salah satu sudut gua yang gelap dan sunyi, lalu memejamkan matanya. Ia mulai memusatkan energi mistisnya untuk mengaktifkan kemampuan observasinya. Dengan konsentrasi penuh, ia memindai setiap sudut gua—ruang demi ruang, lorong demi lorong. Energi mistisnya menyebar seperti gelombang tak kasatmata, menyapu seluruh area di sekitarnya.
Dalam keheningan yang mencekam, ia merasakan sesuatu. Ada kehidupan—lemah, namun masih ada. Ia mendeteksi keberadaan manusia di sebuah ruangan yang tersembunyi di bagian terdalam gua.
Tanpa membuang waktu, Nazzares membuka matanya dan langsung melesat secepat kilat menuju arah yang ia rasakan tadi.
Whoosh!
Sesampainya di ruangan itu, pemandangan yang menyakitkan hati menyambutnya. Seorang wanita muda, seumuran dengannya, tergantung dengan kedua tangan terikat erat di langit-langit. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya compang-camping, dan tatapannya kosong, seolah telah kehilangan semangat untuk hidup. Di sudut lain, seorang anak laki-laki kecil meringkuk di dalam kandang besi yang kecil, tubuhnya menggigil kedinginan.
Nazzares mengepalkan tangan, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Penyiksaan apa ini? Apa yang sudah mereka lakukan hingga membuat mereka seperti ini?" gumamnya, suaranya dipenuhi rasa marah sekaligus iba.
Dengan cepat, ia menghampiri wanita muda itu dan melepaskan ikatannya. Wanita itu terjatuh ke pelukannya, tubuhnya lemas dan tak berdaya. Ia mencoba berbicara, tetapi hanya suara lirih yang keluar dari bibirnya. Matanya menatap Nazzares, tetapi tanpa harapan—seolah ia telah menyerah pada hidupnya.
Nazzares merasakan dadanya sesak melihat keadaan wanita itu. "Hei, bertahanlah. Aku akan membawa kalian keluar dari sini. Kalian aman sekarang," ucapnya lembut, mencoba menenangkan.
Setelah memastikan wanita itu aman, ia beralih ke anak kecil yang terkurung dalam kandang besi. Ia menghancurkan gembok kandang dengan mudah menggunakan energinya, lalu mengangkat anak itu keluar. Anak kecil itu hanya memandangnya dengan mata penuh ketakutan, tetapi ia terlalu lemah untuk berkata apa-apa.
Dengan hati-hati, Nazzares menggendong keduanya. Wanita muda itu di bahunya, dan anak kecil itu di pelukannya. Tanpa ragu, ia membawa mereka keluar dari gua secepat mungkin.
"Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Hal terpenting sekarang adalah menyelamatkan mereka," pikir Nazzares, mempercepat langkahnya.
satu hari kemudian..
Semua mayat sudah dibersihkan, dan gua kini dihancurkan sepenuhnya tanpa meninggalkan jejak. Keluarga yang menyaksikan keadaan mengenaskan jasad-jasad orang tercinta mereka tak henti-hentinya menangis, meluapkan duka yang mendalam. Prajurit-prajurit lainnya hanya bisa diam, memberi ruang bagi keluarga untuk berduka.
...___~V~___...
...Pemakaman dan isak tangis...
Tumpukan kayu berjejer rapi di tengah lapangan luas, di sebelah desa yang kini sunyi dalam duka. Para keluarga yang berduka terlihat sangat terpukul, menyaksikan tubuh orang-orang tercinta mereka bercampur dengan kobaran api pemakaman. Asap hitam membumbung tinggi diiringi tangisan pilu yang memecah keheningan sore itu.
Di tengah prosesi pemakaman, di antara prajurit dan warga desa yang memberi penghormatan terakhir, Guru Vitjendra berdiri dengan sikap tenang namun penuh wibawa. Di sampingnya, Nazzares menatap api yang berkobar, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tidak kunjung reda.
"Guru," ucap Nazzares, suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara tangisan di sekitarnya. "Apakah kehidupan seorang Fatalis akan selalu berdarah seperti ini?"
Vitjendra menarik napas dalam, pandangannya tak lepas dari api pemakaman. "Entahlah," jawabnya akhirnya. "Tapi kau sudah memutuskan menjadi seorang Fatalis. Kuatkanlah dirimu, karena mungkin suatu saat, hal yang paling berharga menurutmu akan direnggut tepat di depan kedua matamu."
Nazzares terdiam, mencerna kata-kata gurunya. Dalam benaknya, menjadi seorang Fatalis terasa seperti sebuah kutukan—kekangan takdir yang tidak bisa dilawan atau ditolak. Kekuatan yang dianugerahkan oleh kehendak langit mungkin membuat mereka lebih hebat, tapi kata "Fatalis" bagi Nazzares terasa seperti ejekan kejam dari takdir itu sendiri. Di balik kekuatan itu, tersimpan harga yang harus dibayar dengan darah dan kehilangan.
Dua hari kemudian..
Guru Vitjendra bersama Kapten Nansa duduk dengan tenang di dalam tenda, menunggu momen yang tepat untuk berbicara dengan gadis yang baru saja mereka selamatkan. Aninda, gadis itu, duduk di atas kursi kecil, matanya tampak kosong meski tubuhnya sudah sedikit pulih.
"Aninda," Guru Vitjendra membuka percakapan dengan suara lembut. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah kau sudah merasa lebih baik?"
Aninda mengangguk pelan, masih menggenggam secangkir teh hangat yang diberikan prajurit sebelumnya.
"Baiklah, Aninda. Kami tidak akan memaksamu, tapi bisakah kau ceritakan sedikit saja apa yang terjadi padamu sebelum kami menemukanmu?"
Aninda menunduk, menggigit bibirnya sejenak. Dengan suara bergetar, ia mulai bercerita, "Kejadiannya begitu cepat, Tuan. Saat aku sadar, aku sudah berada di dalam gua itu. Aku... aku melihat orang-orang dibunuh dengan kejam... satu per satu." Matanya mulai berkaca-kaca. "Wanita, pria, anak-anak... mereka disiksa lalu dibunuh. Aku hanya bisa menunggu giliran... menunggu kapan mereka akan membunuhku juga."
Guru Vitjendra mendengarkan dengan serius, matanya penuh simpati. Saat Aninda selesai bercerita, ia hanya menundukkan kepala, air matanya mengalir tanpa suara.
"Itu... hanya itu yang bisa aku ingat, Tuan Elf," ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang ia tahan.
Guru Vitjendra mendekat perlahan, lalu dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepala Aninda. "Kau sudah cukup kuat, Aninda. Jangan khawatir lagi, kau aman sekarang," katanya dengan penuh keyakinan. Ia mencoba menenangkan gadis itu dengan mengalirkan sedikit energi mistisnya untuk meredakan kegelisahan yang masih tersisa di hatinya.
Kapten Nansa, yang berdiri di dekat pintu tenda, hanya mengangguk pelan, menghormati cara Vitjendra menangani situasi. Tanpa perlu kata-kata tambahan, ia menyadari bahwa gadis kecil ini telah melalui kengerian yang tidak seharusnya dialami oleh siapa pun.
...___~V~___...
...Misi selesai...
Nazzares duduk termenung di atas batu di tepi sungai, ditemani suara aliran air yang menenangkan. Obor-obor memantulkan cahaya hangat di permukaan air. Ia mencoba menikmati momen itu, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian di gua dan pertumpahan darah yang terjadi sebelumnya.
Tiba-tiba suara lembut menyapanya dari belakang.
"Tuan," panggil Aninda dengan hati-hati.
Nazzares menoleh sedikit, memandang gadis itu yang tampak ragu mendekatinya. "Ya? Ada apa?"
Aninda berdiri dengan tangan terlipat di depan tubuhnya. "Aku... hanya ingin mengucapkan terima kasih. Kau telah menyelamatkanku kemarin. Jika tidak ada kau, aku mungkin sudah..." Suaranya terputus, ia tampak kesulitan menyelesaikan kalimatnya.
Nazzares tersenyum tipis. "Tenanglah. Itu sudah menjadi tugasku sebagai seorang fatalis. Kau tak perlu berterima kasih, Aninda. Aku hanya melakukan apa yang benar."
Setelah hening sejenak, Aninda melanjutkan dengan suara pelan. "Tuan, siapa namamu?"
"Aku Nazzares," jawabnya singkat sambil memandang langit yang gelap.
"Tuan Nazzares," panggil Aninda lagi, kali ini dengan sedikit keraguan. "Apakah kau sudah memiliki istri?"
Nazzares terkejut mendengar pertanyaan itu. "Hah? Usiaku baru 12 tahun. Tentu saja belum waktunya bagiku untuk menikah," jawabnya dengan nada setengah tertawa.
Aninda mengangguk, tetapi tatapan serius di wajahnya tak berubah. "Baik, tapi... jika Tuan bersedia, jadikanlah aku istrimu suatu hari nanti," ucapnya dengan senyum yang tulus, meski pipinya memerah malu.
Nazzares membeku sejenak. "Hah?!" serunya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Kenapa, Tuan? Apakah aku salah berbicara?" tanya Aninda polos.
Nazzares menghela napas panjang dan mencoba tersenyum. "Maaf, Aninda. Tapi aku sudah memiliki seseorang di hatiku, dan aku sangat mencintainya," jawabnya dengan lembut, bayangan wajah Kandita melintas di pikirannya. Ia bahkan bisa membayangkan senyum gadis itu yang selalu memberinya semangat.
Aninda terdiam, senyumnya memudar sedikit, tetapi ia tetap berusaha terlihat tegar. "Wanita itu pasti sangat beruntung memiliki laki-laki seperti Tuan," katanya dengan nada pelan.
"Kurasa aku yang beruntung memilikinya," jawab Nazzares sambil tersenyum kecil. "Tapi jangan khawatir, Aninda. Kau juga akan menemukan pria yang terbaik untukmu suatu hari nanti."
Aninda mengangguk pelan. "Terima kasih, Tuan." Ia lalu berpaling dan berjalan pergi perlahan, meninggalkan Nazzares sendiri. Meski hatinya sedikit kecewa, ia tahu bahwa cinta tak bisa dipaksakan.
Tanpa disadari mereka huru vitjendra sedari tadi menguping pembicaraan mereka dibalik pohon. Dan dengan muka dan senyum menyebalkan guru vitjendra terbesit sesuatu dalam pikiranya.
"Hhhee"
Bersambung..