"Jika kamu ingin melihat pelangi, kamu harus belajar melihat hujan."
Pernikahan Mario dan Karina sudah berjalan selama delapan tahun, dikaruniai buah hati tentulah hal yang didambakan oleh Mario dan Karina.
Didalam penantian itu, Mario datang dengan membawa seorang anak perempuan bernama Aluna, yang dia adopsi, Karina yang sudah lama mendambakan buah hati menyayangi Aluna dengan setulus hatinya.
Tapi semua harus berubah, saat Karina menyadari ada sikap berbeda dari Mario ke anak angkat mereka, sampai akhirnya Karina mengetahui bahwa Aluna adalah anak haram Mario dengan wanita lain, akankah pernikahan delapan tahun itu kandas karena hubungan gelap Mario dibelakang Karina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Satu
"Nathan ...!"
Sosok pria yang sedang berdiri di tepi pantai itu, dengan mengenakan kaus oblong dan celana pendek, tampak begitu santai. Karina terhenyak. Itu Nathan! Teman sekolahnya yang dulu pernah dekat dengannya. Mereka telah lama tidak bertemu, bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Dalam pikirannya, ia teringat betapa cerianya mereka berdua saat masih duduk di bangku sekolah.
Tanpa dia sadari, langkahnya menuju Nathan seperti tak terelakkan. Makin dekat, semakin dia yakin. Karina menggigit bibirnya untuk menahan rasa harunya. Nathan terkejut saat melihatnya.
“Karina?” seru Nathan, matanya melebar.
“Hey, Nathan! Sudah lama sekali tak ketemu melihatmu!" seru Karina dengan senyuman. Suaranya terdengar gugup.
Mereka berdua saling berpelukan, hangat. Karina merasakan aroma sabun mandi yang familiar dari Nathan, sama seperti yang dia ingat di masa lalu.
Nathan lalu mengajak Karina menuju kafe terdekat, biar obrolan bisa lebih santai. Mereka duduk di sebuah meja kayu dekat pantai, di mana deburan ombak menjadi latar belakang pembicaraan mereka.
“Gimana kabar kamu? Sudah lama benar kita tidak bertemu,” tanya Nathan memulai obrolan, sambil mengamati wajah Karina, seolah ingin menangkap setiap detail perubahan yang terjadi.
“Baik, baik." Karina tampak gugup menjawab pertanyaan Nathan.
"Tak menyangka bisa bertemu di sini. Apa kamu tinggal di kota ini?" tanya Nathan.
"Bukan, aku lagi liburan sebentar. Kamu sendiri?” Karina menjawab dengan nada ceria, meski sebenarnya hatinya bergejolak.
“Wih, wow. Aku di sini untuk urusan bisnis. Kebetulan pasar lagi ramai. Juga butuh sedikit refreshing, kan?” Nathan menjawab dengan senyuman yang menular.
Tak lama kemudian, pesanan sarapan mereka tiba. Karina menikmati pancake yang disajikan di atas piring cantik, sementara Nathan tampak menikmati omelette yang dia pesan. Rasa makanan yang lezat mengalihkan sedikit pikirannya dari kesedihan.
Sambil menyantap sarapan, percakapan mereka kembali mengalir. Dan ketika topik suami Karina muncul, detak jantungnya sedikit berdebar.
“Eh, suami kamu mana? Kenapa tidak ikut?" tanya Nathan, mengingat obrolan mereka di masa lalu.
“Oh, dia ada kerjaan mendadak. Makanya aku pergi sendiri,” jawab Karina menipu, mencoba bersikap santai.
“Oh, gitu ya. Hmm … pasti kesibukannya menyita waktu sekali,” Nathan menatapnya dengan penuh pengertian, tak menyadari kebohongan yang tersembunyi di balik senyuman manis Karina.
Karina mengalihkan tatapannya ke arah laut. Gelombang datang dan pergi, bagaikan kehidupan yang terus bergulir tanpa henti. Dia ingat pertengkaran sebagian beberapa hari lalu dengan Mario, bagaimana dia merasa sangat tak dihargai. Semua kebohongan dan rasa ketidakadilan itu tersimpan rapi di hati, tapi ia tak ingin membagikannya kepada Nathan.
“Kamu masih ingat waktu kita ikut perlombaan basket di SMA? Aku mati-matian berlatih!” Karina mencoba mengalihkan pembicaraan, mengenang masa-masa manis itu.
Nathan tertawa. “Tentu! Kamu hampir menang, tapi kamu malah jatuh dan terpleset! Hahaha, lucu banget!”
Karina tertawa mengingat insiden konyol itu. Rasa nostalgia membawa mereka kembali ke masa-masa itu, saat segalanya tampak lebih mudah dan sederhana. Namun, di satu sisi, rasa sedih itu kembali menghantui Karina. Dia merindukan saat-saat itu. Saat dimana hanya pelajaran saja yang menjadi masalah terberat dan terbesar.
"Ngomong-ngomong kamu liburan sendiri juga nih? Mana istrimu?" tanya Karina.
"Aku belum menikah," jawab Nathan dengan tersenyum.
"Masa sih ...? Kamu masih tampan seperti dulu. Masa tak ada wanita yang tertarik? Atau kamunya yang sangat pemilih?" tanya Karina dengan tersenyum.
Karina masih ingat jika Nathan adalah salah satu idola di sekolah mereka. Banyak teman wanitanya yang iri saat dia dekat dengan pria itu.
"Belum ada yang manarik hatiku."
"Jangan terlalu memilih, nanti keburu kiamat!"
Nathan dan Karina lalu tertawa dengan riang. Sepertinya wanita itu bisa melupakan kesedihannya sejenak.
"Kenapa suami kamu bisa mengizinkan kamu liburan seorang diri tanpa ditemani, ya?" tanya Nathan.
"Kenapa tak bisa?" Karina balik bertanya, bukannya menjawab pertanyaan pria itu.
"Jika aku memiliki istri secantik kamu, tak akan aku biarkan dia pergi sendirian. Aku harus menemani kemana dia pergi," jawab Nathan.
Karina hanya tersenyum. Mario suaminya tak akan takut dia pergi sendirian. Pergi selamanya saja dari hidupnya, tak ditakuti. Itu yang ada dalam pikiran wanita itu.
Karina mengajak Nathan cerita tentang sekolah mereka dulunya. Semua untuk mengalihkan obrolan mengenai dirinya.
Mereka lalu melanjutkan sarapan sambil kembali berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Dari karir, pengalaman liburan, hingga teman-teman lama yang mungkin pernah bersama. Obrolan mereka berjalan santai, penuh tawa dan kehangatan.
Namun, ada juga momen-momen hening ketika tatapan Karina beralih ke laut. Ia tidak bisa menghindar dari pikiran tentang Mario. Rasa sakitnya seakan meluap kembali ketika ia melihat kehampaan yang tetap membebani jiwanya.
Setengah jam berlalu, dan satu porsi sarapan yang lezat sudah habis mereka nikmati. Nathan menggeser meja agar lebih dekat, memperhatikan Karina dengan perhatian.
"Jadi, setelah ini ada rencana apa lagi? Atau mau terus berlibur sendirian?" tanya Nathan.
Karina terdiam sejenak. "Aku ingin mencoba mengeksplor tempat-tempat di sekitar pantai ini, sedikit me-refresh pikiran mungkin. Aku juga ingin pergi ke tempat-tempat sejarah atau sekadar menikmati waktu di sini."
“Kalau begitu, maukah kamu bergabung denganku? Aku juga sudah merencanakan untuk menjelajahi daerah sekitar,” tawar Nathan dengan senyum lebar, yang membuat jantung Karina berdegup cepat.
Dia tidak tahu kenapa, tapi tawaran Nathan terasa menyegarkan. Mungkin ini bisa menjadi pelarian sementara dari rasa sakit yang menggerogoti jiwanya.
"Baiklah, karena kamu yang ajak aku, jadi tentu saja aku mau," jawab Karina, merasa hatinya bergetar.
Mereka berdua bangun dari meja dan melangkah menuju pantai, tertawa dan bercanda. Di sana, mereka mengingat kembali kenangan indah, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Meskipun Karina tahu, ini hanya sementara—tapi untuk saat ini, ia ingin bahagia dan melupakan beban yang menyesak di dada.
“Mari kita mulai petualangan ini, Karina,” Nathan berkata, menatap mata Karina dengan penuh harapan dan semangat.
Karina tidak bisa membantah, sejenak ia merasakan hidup kembali mengalir dalam nadinya. Cinta lama memang bisa menciptakan keajaiban, setidaknya untuk saat ini. Bukan dia ingin membalas sakit hati suaminya dengan jalan berdua, tapi dia hanya ingin melupakan semua kepedihan di hati.
Karina ingat, kejadian dulu saat dia berfoto bersama Raka, mantan kekasihnya saat kuliah, Mario begitu marahnya.
"Apakah Mas Mario akan marah juga saat melihat aku jalan bareng Nathan, seperti dulu saat aku foto bersama Raka?" tanya Karina pada dirinya sendiri.
**
Sementara itu di kantor, saat Mario sedang sibuk dengan laptopnya, tiba-tiba gawainya berdering. Awalnya tak mengacuhkan. Namun, setelah beberapa kali berbunyi, akhirnya pria itu meraih gawainya. Dia lalu melihat siapa yang menghubunginya. Di layar tertera nama "mami Aluna"."
Kamu harus mengatakan kebenaran ini ke Mario , biar bagaimana pun Mario harus tahu kebeneran ini
Dan semoga dgn kabar ini kan mempererat hubungan Karina dan Mario.
laaah lalu anak siapa ayah biologis dari Aluna. Berarti Mario korban dari Zoya