Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: PINTU KE DUNIA LAIN
Langit pagi di atas kuil sudah berubah warna menjadi kelabu. Matahari yang seharusnya muncul di ufuk timur tampak seperti tertelan awan pekat, menandakan bahwa kegelapan belum sepenuhnya menghilang. Di halaman kuil yang porak-poranda, Arjuna duduk di atas bebatuan yang berserakan, napasnya masih berat setelah pertempuran sengit yang baru saja mereka lewati. Di tangannya, belati bersimbah darah hitam itu kini tampak dingin, kehilangan cahaya merah yang sebelumnya begitu terang.
Vera berdiri tak jauh darinya, memandang langit yang suram dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Tubuhnya gemetar, tidak hanya karena lelah, tetapi juga karena beban kutukan yang kini terasa lebih berat. Mereka mungkin telah mengalahkan bayangan itu untuk sementara waktu, tetapi Vera tahu bahwa ancaman sebenarnya belum dimulai.
"Kita tidak bisa berhenti di sini, Arjuna," kata Vera akhirnya, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Kuil ini hanyalah salah satu dari banyak tempat yang terhubung dengan dunia mereka."
Arjuna mengangkat pandangannya, matanya penuh dengan kelelahan dan kebingungan. "Apa maksudmu, Vera? Dunia mereka? Apa kau bilang masih ada tempat seperti ini... tempat yang lebih berbahaya dari kuil ini?"
Vera berbalik menatapnya. Wajahnya yang biasanya tegas kini tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap tajam. "Ada banyak tempat seperti ini, Arjuna. Kegelapan yang kita lawan bukan hanya berasal dari makhluk itu. Dia adalah penjaga sebuah gerbang, sebuah pintu yang menghubungkan dunia kita dengan dunia lain. Jika kita tidak menghentikan ini sekarang, kegelapan itu akan menguasai segalanya."
Vera berjalan ke arah altar kuil yang kini tertutup puing-puing, dan mulai menggali di antara batu-batu yang runtuh. Tangannya yang luka dan berdarah tidak menghalanginya untuk terus mengorek-ngorek, sampai akhirnya dia menemukan sebuah tablet batu kuno yang penuh dengan ukiran simbol-simbol yang terlihat asing bagi Arjuna.
"Apa itu?" Arjuna bertanya, mencoba bangkit meski tubuhnya terasa remuk.
Vera mengangkat tablet itu, meniup debu yang menutupi permukaannya. Simbol-simbol di tablet itu mulai bersinar samar, seolah merespons kehadiran mereka. "Ini adalah peta, atau lebih tepatnya, sebuah petunjuk. Simbol-simbol ini menunjukkan lokasi gerbang lain yang tersebar di berbagai tempat di dunia kita. Dan kita harus menutupnya sebelum mereka berhasil membukanya."
"Tunggu," Arjuna menggelengkan kepala. "Kau bicara seolah-olah ini adalah perang besar yang melibatkan dunia lain. Bagaimana kita bisa melawan sesuatu yang bahkan tidak bisa kita lihat?"
"Karena kita tidak punya pilihan lain," jawab Vera dengan suara tegas. "Kau mungkin tidak percaya, Arjuna, tapi kau adalah bagian dari ini. Perjanjian yang kita buat adalah kunci untuk menutup gerbang-gerbang itu. Tanpa kau, semuanya akan hancur."
Arjuna menghela napas panjang, merasa beban yang semakin menekan dadanya. Dia ingin menolak, ingin lari, tetapi dia tahu bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi. Kegelapan itu akan terus mengejarnya, di mana pun dia berada.
"Baiklah," katanya akhirnya, meski dengan suara pelan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Malam itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan kuil dan memulai perjalanan ke tempat yang disebutkan dalam tablet batu. Vera mengatakan bahwa lokasi pertama yang harus mereka tuju adalah sebuah desa terpencil di kaki gunung. Desa itu dikenal dengan nama Tirta Amerta, sebuah tempat yang konon dihuni oleh roh-roh penjaga kuno yang pernah melindungi manusia dari kegelapan.
Namun, perjalanan mereka tidak mudah. Jalan setapak yang mereka lewati penuh dengan rintangan—hutan yang lebat dan mencekam, suara-suara aneh yang menggema di kegelapan malam, dan bayangan-bayangan yang terus mengikuti mereka dari kejauhan.
Di tengah perjalanan, Arjuna merasa seperti ada sesuatu yang mengawasinya. Dia tidak bisa melihat apa pun, tetapi dia bisa merasakan kehadiran itu, dingin dan mengancam.
"Vera, kau merasakan ini?" tanyanya, suaranya bergetar.
Vera mengangguk, ekspresinya tegang. "Dia ada di sini. Dia tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja."
Saat itu juga, dari balik pepohonan, muncul makhluk yang tampak seperti bayangan, tetapi dengan bentuk tubuh yang lebih nyata. Mata mereka merah menyala, dan taring-taring tajam mencuat dari mulut mereka yang menganga.
"Mereka adalah pelayan-pelayan kegelapan," Vera berkata sambil mencabut belatinya. "Bersiaplah, Arjuna. Kita harus melawan mereka."
Arjuna meraih belati yang diberikan Vera sebelumnya, tetapi tangannya gemetar. Dia belum pernah bertarung dengan makhluk seperti ini sebelumnya.
"Jangan ragu," Vera memperingatkan, suaranya tegas. "Kita tidak punya waktu untuk takut. Serang mereka sebelum mereka menyerang kita!"
Makhluk-makhluk itu menyerang dengan kecepatan luar biasa, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya sebelum menerjang ke arah mereka. Vera bergerak dengan cekatan, menghindari serangan-serangan itu sambil menyerang balik dengan belatinya.
Arjuna, di sisi lain, merasa kesulitan untuk mengikuti gerakan makhluk-makhluk itu. Salah satu dari mereka melompat ke arahnya, dan Arjuna hanya bisa mengangkat belatinya secara refleks. Namun, cahaya merah dari belati itu memancar dengan kekuatan besar, membuat makhluk itu menjerit sebelum akhirnya menghilang menjadi asap hitam.
"Belatimu adalah senjata yang ampuh, Arjuna," Vera berteriak di tengah pertarungan. "Gunakan itu dengan keyakinan!"
Dengan keberanian yang mulai tumbuh, Arjuna mulai menyerang balik. Dia menebas makhluk-makhluk itu satu per satu, meski tubuhnya penuh luka dan napasnya semakin berat.
Setelah pertarungan yang terasa seperti berjam-jam, hutan itu kembali sunyi. Makhluk-makhluk itu telah hilang, tetapi Arjuna tahu bahwa mereka hanya menunda pertempuran yang lebih besar.
Ketika mereka akhirnya tiba di desa Tirta Amerta, mereka disambut oleh keheningan yang aneh. Desa itu tampak kosong, dengan rumah-rumah yang gelap dan jalan-jalan yang sepi. Tidak ada suara manusia, hanya angin yang berbisik pelan.
"Ada sesuatu yang salah di sini," kata Vera, memegang belatinya dengan erat.
Arjuna mengangguk, matanya memandang sekeliling dengan waspada. "Apa ini tempat yang kita cari?"
Vera mengangguk pelan. "Ya, tapi aku tidak menyangka kondisinya seperti ini. Kita harus berhati-hati."
Ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam desa, mereka mulai melihat tanda-tanda aneh—jejak kaki yang terlihat seperti milik manusia tetapi berlumuran darah, simbol-simbol kuno yang terukir di dinding rumah, dan boneka-boneka jerami yang tergantung di pepohonan.
"Apa yang terjadi di sini?" Arjuna bergumam, merasa bulu kuduknya berdiri.
Vera tidak menjawab. Dia hanya melangkah lebih cepat, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus menemukan altar berikutnya sebelum sesuatu yang buruk terjadi."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara menggema di udara, suara tawa yang dingin dan mengerikan.
"Kalian telah memasuki wilayah kami," suara itu berkata, suaranya terdengar dari segala arah. "Dan kalian tidak akan pernah keluar hidup-hidup."
Arjuna dan Vera saling berpandangan, wajah mereka penuh ketegangan. Mereka tahu bahwa pertempuran berikutnya sudah dekat, dan kali ini, mereka mungkin tidak akan seberuntung sebelumnya.